PARBOABOA, Jakarta - Sejak pertama kali mencuat pada masa kampanye Pilpres 2014, isu mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo tidak pernah benar-benar padam.
Polemik yang berawal dari unggahan anonim di media sosial itu menjelma menjadi perdebatan nasional selama lebih dari satu dekade, mempertemukan tuntutan transparansi publik dengan hak perlindungan data pribadi.
Hingga Mei 2025, kasus ini berujung pada langkah hukum serius: penetapan Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauzia Tyassuma, Eggi Sudjana, dan Kurnia Tri Royani sebagai tersangka oleh Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran hoaks terkait ijazah Jokowi.
Babak Awal
Isu mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo pertama kali muncul pada 12 April 2014, di tengah masa kampanye Pilpres.
Di media sosial, sejumlah akun anonim menyebarkan foto fotokopi ijazah Fakultas Kehutanan UGM dengan narasi bahwa terdapat “kejanggalan” pada nama dan nomor seri.
Meskipun pihak UGM segera membantah, tuduhan ini menyebar luas, terutama di kalangan kelompok oposisi politik Jokowi.
Menjelang hari pencoblosan, 10 Juli 2014, selebaran yang menuding ijazah Jokowi palsu beredar di Solo dan Jakarta.
Meski isu mereda setelah kemenangan Jokowi, benih ketidakpercayaan telah tertanam. Lima tahun kemudian, pada 15 Oktober 2019, perdebatan ini kembali mencuat di forum daring.
Akun-akun di media sosial mempertanyakan format ijazah dan keaslian skripsi Jokowi. UGM merilis pernyataan resmi bahwa Jokowi adalah alumni sah lulusan 1985, namun klarifikasi itu tak mampu meredam spekulasi yang terus dihembuskan oleh kelompok oposisi.
Dari Medsos ke Ruang Sidang
Memasuki 20 Februari 2023, aktivis Bambang Tri Mulyono menggugat Jokowi secara perdata di PN Solo, menuding ijazah presiden palsu.
Gugatan ini menjadi titik balik yang mengangkat isu lama kembali ke panggung publik. Pada 5 April 2023, Pengadilan Negeri Solo menjatuhkan vonis enam tahun penjara kepada Bambang Tri dan rekannya Gus Nur karena terbukti menyebarkan berita bohong.
Putusan itu menimbulkan debat publik antara kebebasan berpendapat dan batasan hukum terhadap fitnah.
Namun, vonis itu tak menghentikan gelombang baru tudingan serupa. Agustus 2024, video anonim di YouTube bertajuk “Kebenaran Publik” kembali menyoroti keaslian ijazah Jokowi.
Tayangan yang ditonton ratusan ribu kali ini menjadi amunisi baru bagi kelompok yang menamakan diri Tim Pembela Ulama dan Aktivis (TPUA)—yang kemudian berperan besar dalam memanaskan kembali isu ini di ruang publik.
Pada 1 Oktober 2024, nama-nama seperti Roy Suryo, Tifauzia Tyassuma, dan Eggi Sudjana muncul dalam pertemuan tertutup TPUA di Jakarta.
Pertemuan ini membahas rencana “verifikasi publik” terhadap dokumen pendidikan pejabat negara, termasuk ijazah Jokowi. Tak lama berselang, pada 14 Oktober 2024, Roy Suryo dalam sebuah forum kebangsaan menyerukan agar dokumen pejabat negara diperiksa demi transparansi.
Langkah ini segera memicu perdebatan tajam—pendukung Jokowi menilai ini langkah politis, sementara simpatisan TPUA menganggapnya perjuangan moral.
Isu kian liar setelah 20 Oktober 2024, ketika Tifauzia mengunggah desakan verifikasi ilmiah melalui media sosial.
Meme, video, dan analisis liar membanjiri dunia maya. Di tengah situasi itu, UGM kembali menegaskan Jokowi adalah lulusan sah Fakultas Kehutanan angkatan 1985.
Namun, klarifikasi akademik tersebut justru dijawab TPUA dengan tudingan bahwa kampus tidak transparan.
Menjelang akhir tahun, 2 Desember 2024, Kurnia Tri Royani mengunggah video analisis yang menyoroti tanda tangan dan format ijazah Jokowi, ditonton lebih dari setengah juta kali.
Kominfo memperingatkan publik agar tidak menyebarkan konten tidak terverifikasi, sementara relawan pendukung Jokowi melaporkan video tersebut ke polisi. Sejak itu, isu ijazah berubah menjadi ajang perang digital antara dua kubu besar masyarakat.
Klimaks Politik
Tensi meningkat di awal 2025, ketika Roy Suryo pada 10 Januari mengancam melaporkan UGM ke Komnas HAM.
Tak lama kemudian, 25 Februari 2025, Eggi Sudjana menuding polemik ijazah sebagai “puncak KKN era Jokowi,” dan dilaporkan atas ujaran kebencian.
Puncaknya terjadi 5 April 2025, ketika anggota TPUA mendatangi Fakultas Kehutanan UGM untuk meminta akses dokumen ijazah Jokowi.
Pihak kampus menolak dengan dasar Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP). Roy Suryo menyebut penolakan itu sebagai “tindakan mencurigakan”, memicu gelombang komentar dan ejekan publik.
Jokowi yang semula memilih diam akhirnya merespons. 16 April 2025, saat bertemu TPUA di Solo, ia menunjukkan ijazah aslinya kepada wartawan tanpa memperbolehkan dokumentasi, sambil berseloroh, “kok cuma S1 yang dipermasalahkan?”
Momen ini viral di media sosial dan semakin memecah opini publik antara yang menilai Jokowi santai dan pihak yang menudingnya arogan.
Hanya berselang dua minggu, 30 April 2025, Jokowi resmi melaporkan Roy Suryo, Tifauzia Tyassuma, Rismon Sianipar, Eggi Sudjana, dan Kurnia Tri Royani ke Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran hoaks. Laporan tersebut menjadi tonggak hukum yang mengubah arah polemik menjadi proses penyelidikan resmi.
Seiring berjalannya penyidikan, pada 15 Mei 2025, Roy Suryo dan Tifauzia diperiksa intensif di Polda Metro Jaya. Keduanya menjawab lebih dari 20 pertanyaan penyidik. Meski mengklaim dikriminalisasi, polisi menegaskan bahwa proses berjalan sesuai prosedur.
Hingga 22 Mei 2025, kepolisian akhirnya menetapkan Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauzia Tyassuma, Eggi Sudjana, dan Kurnia Tri Royani sebagai tersangka dalam kasus dugaan pencemaran nama baik Presiden Jokowi.
Penetapan dilakukan di Polda Metro Jaya, Jakarta, setelah penyidik menemukan cukup bukti digital berupa unggahan video, postingan media sosial, serta rekaman pernyataan publik.
Sementara itu, para tersangka bersikeras menyebut langkah mereka sebagai bentuk “pembelaan kebenaran,” sedangkan pihak Jokowi menilai tuduhan itu sudah merusak reputasi kepala negara dan melanggar hukum privasi.
Pengamat hukum Yusril Ihza Mahendra menilai tindakan TPUA berpotensi melanggar UU PDP karena mempublikasikan data pribadi tanpa dasar hukum, sedangkan pengamat politik Adi Prayitno menyebut isu ini sebagai bentuk politisasi yang dimanfaatkan untuk melemahkan posisi politik Jokowi menjelang masa transisi pemerintahan.
