PARBOABOA-Sebanyak 98 kota se-Indonesia jadi objek kajian SETARA Institute. Demi menguji Indeks Kota Toleran. Walhasil, hadir laporan Indeks Kota Toleran disingkat IKT pada 2022, Kamis 6 April kemarin.
Hasil laporan IKT 2022, untuk mempromosikan praktik-praktik toleransi terbaik kota-kota di Indonesia. Total 98 kota se-Indonesia 4 kota dieliminir merupakan kota-kota administrasi di DKI Jakarta digabungkan menjadi 1 DKI Jakarta.
SETARA Institute memerinci total 94 kota objek kajian penelitian terdata 10 kota skor toleransi tertinggi bersama skor akhir penilaiannya. Singkawang skor akhir 6,583, Salatiga skor akhir 6,417, Bekasi skor akhir 6,080, Surakarta skor akhir 5,883, Kediri skor akhir 5,850, Sukabumi skor akhir 5,810, Semarang skor akhir 5,783, Manado skor akhir 5,767, Kupang skor akhir 5,687, dan Magelang skor akhir 5,670.
Sedangkan 10 kota toleransi rendah adalah Prabumulih skor akhir 4,510, Lhokseumawe skor akhir 4,493, Pariaman skor akhir 4,450, Medan skor akhir 4,420, Banda Aceh skor akhir 4,393, Mataram skor akhir 4,387, Sabang skor akhir 4,257, Padang skor akhir 4,060, Depok skor akhir 3,610, dan Cilegon skor akhir 3,227.
Maka, sebanyak 94 kota se-Indonesia keluar hasil IKT 2022 oleh penelitian SETARA Institute. Validitas data hasil scoring, studi SETARA Institute melakukan tiga teknik sekaligus.
Pertama triangulasi sumber, kedua hasil self-assessment pemerintah-pemerintah kota melalui kuesioner yang disebarkan, serta ketiga Experts meeting series atau pertemuan serial para ahli untuk mengonfirmasi data sementara hasil score.
Halili Hasan berpandangan, bahwa laporan IKT 2022 SETARA Institute juga mewanti-wanti masyarakat memasuki musim politik beberapa bulan mendatang.
Sebab, bila merujuk takaran kebhinekaan di Indonesia kata multikulturalisme di Indonesia. Masyarakat mestinya memiliki tingkat resiliensi sosial tinggi.
Resiliensi adalah kemampuan individu dalam mengatasi, melalui, dan kembali pada kondisi semula setelah mengalami beragam kesulitan.
“Sehingga ketika aktor politik datang ke mereka, mereka dengan mudah menyalakan alarm critical thinking,” ungkap Peneliti SETARA Institute itu, Senin 10 April 2023 kepada Parboaboa.
“Bahwa ini ancaman sosial. Jadi mestinya dengan tata kebhinekaan seperti Indonesia. Masyarakat kita tidak dengan mudah digunakan oleh elit. Untuk mewujudkan kepentingan-kepentingan elektoral mereka,” tambahnya lagi.
Tak ayal, mereka para elit politik datang ke masyarakat untuk mendapatkan suara sebesar-besarnya. Biar memenangkan hajatan elektoral.
Bagi masyarakat fenomena semacam itu. Semisal, penggunaan identitas-identitas keagamaan. Kemudian memenangkan kontestasi elektoral tentu melahirkan residu politik panjang di masyarakat.
“Masyarakat akhirnya mengalami polarisasi. Masyarakat terbelah karena politik elektoral yang terbentuk di dalam. Sehingga untuk menguatkan tata kebhinekaan. Masyarakat memang harus memiliki ketahanan sosial untuk tidak mudah dimanfaatkan,” ungkap Halili.
“Untuk kepentingan jangka pendek dan menengah dari kontestan elektoral. Partai politik atau berkaitan dengan suara-suara kelompok mayoritas,” tambahnya.
Laporan IKT 2022 adalah laporan keenam SETARA Institute. Sebelumnya, sejak pertama kali diterbitkan pada 2015. Kemudian berlanjut pada Laporan IKT 2017, 2018, 2020, 2021.
Studi menetapkan 4 variabel dengan 8 indikator sebagai alat ukur. Yaitu: Regulasi Pemerintah Kota (Indikator 1: Rencana pembangunan dalam bentuk RPJMD dan produk hukum pendukung lainnya dan indikator 2: Kebijakan diskriminatif).
Tindakan Pemerintah (Indikator 3: Pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi dan indikator 4: Tindakan nyata terkait peristiwa). Regulasi Sosial (Indikator 5: Peristiwa intoleransi dan indikator 6: Dinamika masyarakat sipil terkait peristiwa intoleransi).
Demografi Agama (Indikator 7: Heterogenitas keagamaan penduduk dan indikator 8: Inklusi sosial keagamaan).
Kombinasi pembobotan tersebut menghasilkan persentase akhir pengukuran sebagai berikut: Rencana Pembangunan (10%), Kebijakan Diskriminatif (20%), Peristiwa Intoleransi (20%), Dinamika Masyarakat Sipil (10%), Pernyataan Publik Pemerintah Kota (10%), Tindakan Nyata Pemerintah Kota (15%), Heterogenitas agama (5%), dan Inklusi sosial keagamaan (10%).
“Kalau kita kembalikan data-data terutama dalam satu setengah dekade terakhir. Atau kalau konkritnya kita mau sandingkan dengan empat periode kepresidenan. Dua periode SBY dan jelang dua periode Jokowi," ungkap Halili Hasan.
"Memang kalau kita lihat data pelanggaran intoleransi ini mengalami penurunan dibandingkan dengan periode sebelumnya memang terjadi penurunan,” tambahnya lagi.
Meski begitu, faktor-faktor memicu terjadinya pelanggaran toleransi itu masih saja ada di Indonesia. Beberapa persoalan akut misalnya berkaitan dengan Ahmadiyah.
Peristiwa intoleransi berkaitan kelompok-kelompok minoritas keagamaan.
“Hal itu masih saja terjadi dan mereka menjadi korban dari berbagai peristiwa intoleransi di Indonesia,” ungkap Halili Hasan menjelaskan.
“Jadi meskipun data menunjukkan bahwa terjadi penurunan, peristiwa dan tindakan, faktor-faktor ini masih saja ada. Sehingga jika ini tidak diatasi, persoalan intoleransi di Indonesia akan terus terjadi,” tambahnya lagi.
Reporter: Reka Kajaksana