PARBOABOA, Jakarta – Akhir-akhir ini, media sosial diramaikan oleh peningkatan angka bunuh diri di kalangan mahasiswa di berbagai kampus di Indonesia.
Menurut data yang dihimpun PARBOABOA, dalam tiga tahun terakhir, mulai dari 2021 hingga 2023, telah tercatat sebanyak 26 kasus bunuh diri mahasiswa.
Angka ini terdiri dari sembilan kasus pada tahun 2021, sembilan kasus pada tahun 2022, dan delapan kasus hingga Oktober 2023.
Bahkan, pada pertengahan Oktober 2023 saja, sudah ada tiga kasus bunuh diri mahasiswa. Kasus-kasus ini melibatkan mahasiswa dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Universitas Negeri Semarang (UNNES), dan seorang mahasiswi di Kupang.
Perkembangan ini memunculkan kekhawatiran, terutama mengingat data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengungkapkan bahwa angka bunuh diri di Indonesia telah mencapai 1,6-1,9 persen per 100.000 penduduk, dengan perkiraan peningkatan setiap tahunnya.
Menurut Putri Lanka, seorang Psikolog Klinis sekaligus Dosen di Universitas Pancasila, peningkatan ini terjadi karena mahasiswa seringkali menghadapi berbagai masalah, termasuk finansial, konflik keluarga, kekerasan, akademik, dan bahkan masalah percintaan.
Ketika menghadapi masalah-masalah tersebut, seseorang dapat merasa takut dan terisolasi, sehingga seringkali tidak mampu berpikir secara rasional dan mengambil langkah yang drastis sebagai solusi.
“Dalam kondisi labil, apabila mahasiswa salah mengakses informasi, mereka justru menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak tepat seperti mengonsumsi narkoba, self harm, bahkan sampai bunuh diri,” ungkap Putri kepada PARBOABOA pada Jumat (13/10/2023).
Masalah kesehatan mental juga menjadi topik yang semakin sering dibicarakan di media sosial. Putri menganggap bahwa keterbukaan ini membantu meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu kesehatan mental.
Namun, pada saat yang sama, peningkatan informasi ini juga membuat banyak orang kesulitan membedakan antara informasi yang benar dan hoaks.
Untuk itu, Putri menegaskan pentingnya penyediaan layanan konseling di lingkungan kampus, mengingat banyaknya mahasiswa yang kesulitan mendapatkan akses ke psikolog karena kendala finansial dan masalah lainnya.
“Layanan konseling di kampus menjadi krusial diadakan, sebab mahasiswa sering kebingungan mengakses layanan kesehatan mental karena keterbatasan finansial dan sarana lainnya,” tuturnya.
Selain itu, dibutuhkan pengawasan dari orang tua, dosen, dan teman-teman, serta membangun hubungan yang baik antar sesama agar memudahkan komunikasi saat ada masalah.
Pasalnya, mahasiswa masih memiliki kemampuan yang terbatas dalam mengatasi berbagai permasalahan hidup. Sehingga membutuhkan bantuan orang lain dalam mengurai masalah yang terjadi.
Putri melanjutkan, mahasiswa juga perlu mengembangkan keterampilan interpersonal seperti berpikir kritis, mengatur emosi, beradaptasi secara sosial, menyelesaikan masalah, dan mengambil keputusan dengan bijak.
Hal ini dilakukan untuk menghindari faktor-faktor pemicu seperti overthinking, stres, dan terlalu terjebak dalam tren sosial media.
Terakhir, mahasiswa perlu merawat diri secara fisik dan mental. Putri menekankan bahwa mahasiswa seringkali memiliki keterbatasan dalam mengatasi berbagai permasalahan hidup, sehingga bantuan dari orang lain sangat penting dalam mengatasi masalah yang muncul.