PARBOABOA, Pematangsiantar - Di tengah upaya perbaikan kualitas sumber daya manusia, Albiner Siagaan, Rektor IAKN (Institut Agama Kristen Negeri) Tarutung, mengungkapkan keprihatinannya perihal pentingnya perbaikan gizi yang sering kali terabaikan.
Ia menyampaikan hal ini dalam sesi pembelajaran di ruang kelas Sekolah Jurnalisme Parboaboa pada Jumat (25/4/2025). Dalam kesempatan itu, ia membawakan materi 'Meninggikan Mutu SDM Indonesia melalui Perbaikan Gizi dan Pembenahan Sistem Pendidikan.'
Menurut lelaki energik yang rajin bermedos itu, persoalan gizi sering kali dianggap remeh oleh pejabat, karena dampaknya yang tidak langsung terlihat. Sementara itu, proyek fisik yang tampak langsung oleh mata lebih diutamakan dalam pembangunan.
"Perhatian media terhadap isu gizi juga minim. Sepanjang hidup saya, hanya sekali saya diwawancarai seorang jurnalis tentang gizi," ujarnya pada peserta.
Padahal, lanjutnya, gizi adalah fondasi utama bagi kesehatan dan perkembangan bangsa, namun sering terpinggirkan dari pemberitaan yang mestinya mampu membentuk kesadaran publik.
Pagi itu, suasana ruang kelas terasa santai. Albiner tidak sekadar berbicara, tetapi mengajak peserta berpikir bersama. Pertanyaan demi pertanyaan dilontarkannya untuk membangun komunikasi dua arah. Setiap kalimat yang dikeluarkannya bermakna.
"Gizi yang baik memiliki peran penting dalam mengoptimalkan potensi kecerdasan yang diwariskan kepada kita. Ketika tubuh terpenuhi gizi yang tepat, otak dapat berfungsi maksimal," terangnya.
Guru besar gizi di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara (USU) ini menegaskan, tubuh yang sehat dengan gizi cukup menjadi fondasi utama perkembangan otak. Tanpa itu, pertumbuhan fisik terhambat dan perkembangan kognitif melambat. Anak yang kurang gizi cenderung sulit berkonsentrasi, cepat lelah, dan kesulitan memahami pelajaran.
Dampak kekurangan gizi itu tak berhenti pada satu generasi. Pasangan suami istri yang sama kekurangan gizi berisiko melahirkan anak-anak dengan kondisi serupa—membentuk lingkaran masalah. Generasi yang lahir dari situasi ini berpotensi mengalami keterbatasan intelektual yang terus berulang.
Sehingga bagi Albiner, membenahi sistem pendidikan tak cukup dengan perbaikan kurikulum, metode belajar, dan fasilitas. Hasilnya tidak akan maksimal tanpa disertai perbaikan gizi. Dengan tubuh dan otak yang berkembang optimal, anak-anak akan lebih siap menyerap ilmu.
"Dan upaya memperbaiki gizi jangan sekadar sosialisasi atau kampanye, tetapi benar-benar menghadirkan makanan sehat di meja mereka," ujarnya pada Parboaboa, Jumat (25/4/2025).
Membangun manusia bukan sekadar mendirikan sekolah atau menyusun kurikulum. Bagi Albiner, semua bermula dari perhatian paling dasar, yaitu memastikan setiap anak tumbuh dengan tubuh kuat dan pikiran yang lapang.
Namun dalam upaya membangun kehidupan bangsa, ia juga melihat ada ancaman sunyi yang kerap tak disadari dan perlahan menggerogoti masa depan sejak dini: kelaparan tersembunyi.
Kelaparan Tersembunyi
Albiner menuturkan, perubahan pola makan anak-anak masa kini memperlihatkan gejala yang tidak boleh diabaikan. Di tengah limpahan pilihan makanan—banyak dari mereka lebih memilih yang manis, pedas, dan penuh lemak.
"Permen, camilan olahan, dan minuman manis memang menggoda lidah, tetapi di balik rasa itu tersembunyi bahaya yang perlahan menggerogoti kesehatan," ujarnya.
Ia menjelaskan, meski tubuh anak-anak terlihat subur, banyak dari mereka sesungguhnya mengalami kekurangan gizi penting. Tubuh yang tampak gemuk menipu mata, sebab di dalamnya tidak cukup tersimpan zat yang dibutuhkan untuk bertumbuh dan belajar.
Kekosongan ini, katanya, mencakup kurangnya asupan zat besi, kalsium, dan lemak baik—yang semuanya berperan dalam membangun kekuatan tubuh, ketajaman pikiran, dan ketahanan terhadap penyakit.
Jika dibiarkan, pola ini akan menciptakan generasi rapuh. Anak-anak mungkin tampak aktif, namun daya tahan tubuh mereka lemah, perkembangan otaknya melambat, dan potensi kesehatannya menurun jauh sebelum dewasa.
Albiner menegaskan, pemerintah tak bisa hanya mengandalkan imbauan moral. Diperlukan kebijakan nyata yang mengatur batas kandungan gula, garam, dan lemak pada makanan anak-anak. Agar industri tidak leluasa membanjiri pasar dengan produk yang membahayakan.
Tanpa perubahan ini, kelaparan tersembunyi akan terus menggerogoti dalam diam. Tidak terlihat di permukaan, tetapi menghancurkan fondasi bangsa sedikit demi sedikit—dimulai dari anak-anak yang seharusnya menjadi harapan masa depan.
Langkah pemerintah dalam membatasi konsumsi makanan tidak sehat harap segera dilakukan. Sebab, terdapat tantangan lain yang tak kalah serius: lingkaran setan antara perbaikan gizi dan ekonomi.
Lingkaran Setan: Gizi dan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi sering diyakini sebagai kunci memperbaiki kualitas hidup, termasuk memperbaiki gizi masyarakat. Namun kenyataannya, kekurangan gizi justru menghambat pertumbuhan ekonomi itu sendiri.
Anak-anak yang mengalami gizi buruk tumbuh dengan kemampuan fisik dan kognitif yang lemah—membuat produktivitas generasi berikutnya menurun. Akibatnya, ekonomi sulit berkembang. Ketika ekonomi stagnan, perbaikan gizi semakin jauh dari jangkauan, dan lingkaran ini terus berulang.
"Jadi timbul pertanyaan, untuk memutus lingkaran ini, manakah yang harus lebih didahulukan: pertumbuhan ekonomi atau perbaikan gizi?" ujarnya.
Albiner menjelaskan bahwa Bank Dunia, melalui penelitian, telah menjawab pertanyaan tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa lingkaran setan ini hanya bisa diputus dengan mendahulukan perbaikan gizi.
Gizi yang cukup sejak awal kehidupan membentuk individu sehat, cerdas, dan produktif. Sehingga terbangun pondasi kuat bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Negara-negara yang berhasil mengatasi stunting membuktikan bahwa pembangunan ekonomi berkelanjutan hanya bisa tercapai melalui investasi gizi.
Perbaikan gizi bukanlah hasil dari kemajuan ekonomi, melainkan kunci untuk mencapainya. Tanpa tubuh sehat dan pikiran optimal, masa depan yang adil dan makmur sulit terwujud. Memperbaiki gizi sebagai langkah memutus siklus kemiskinan antar generasi dan membuka peluang masa depan yang lebih baik.
Memprioritaskan gizi adalah investasi yang membentuk fondasi kemajuan bangsa. Tanpa gizi yang baik, pencapaian ekonomi akan tetap terhambat. Ini adalah jalan menuju masa depan yang lebih seimbang, di mana setiap individu dapat berkembang sesuai potensinya. Bangsa pun dapat mencapai kesejahteraan berkelanjutan.
"Sebenarnya, alam telah menyediakan segala kebutuhan gizi yang kita perlukan. Beragam tanaman, buah-buahan, umbi, biji-bijian, dan sumber protein alami tersedia melimpah di sekitar kita," tutur Albiner.
Jika sumber daya dikelola sistematis melalui pertanian berkelanjutan dan konsumsi bijak, kekurangan gizi bisa dihindari. Masalah bukan pada ketersediaan alam, melainkan pada cara mengelola, mendistribusikan, dan memanfaatkan sumber daya untuk kebutuhan sehari-hari.
Mengingat media masih kurang memberitakan pentingnya perbaikan gizi, Albiner menekankan perlunya para peserta memperbanyak membaca buku. Dengan demikian, mereka dapat memperkaya wawasan, termasuk isu pentingnya perbaikan gizi.
Memahami Kompleksitas Masalah Gizi
Materi yang disampaikan Albiner menjadi bahan renungan bagi salah satu peserta, Indah (20), mahasiswi UIN Sulthan Thaha Saifuddin, Jambi. Ia mulai menyadari betapa rumitnya persoalan yang muncul ketika perbaikan gizi diabaikan.
"Ternyata cara mencegah tingginya jumlah stunting atau kurang gizi di suatu negara itu dengan makan bergizi dan mengakhiri angka kemiskinan," katanya kepada Parboaboa, Sabtu (26/4/2025).
Selain itu, ia juga memahami pentingnya memastikan akses kesehatan, ketersediaan air bersih, sanitasi layak, hingga pendidikan yang merata.
Setelah mengikuti materi, pandangan Indah tentang makanan pun berubah. Ternyata makanan bukan sekadar mengenyangkan, tetapi juga menentukan perkembangan intelektual manusia. Makanan bergizi bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan yang mendasar.
Hal serupa dirasakan Michael Josua Robert Sijabat (22), mahasiswa Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Ia mengaku mendapatkan banyak pelajaran baru perihal pentingnya menjaga gizi.
"Ternyata semua orang perlu memiliki gizi yang baik, terutama untuk menjaga serta meningkatkan kualitas kesehatan," ujarnya kepada Parboaboa, Sabtu (26/4/2025).
Ia menyadari bagaimana ketidakpedulian terhadap gizi dapat memperumit berbagai persoalan. Sehingga Michael merasa perlu terus memperdalam pemahaman tentang pentingnya menjaga kesehatan sebagai bagian dari upaya membangun masa depan yang lebih baik.
Editor: Rin Hindrayati