PARBOABOA, Jakarta - Rencana TNI Angkatan Darat untuk merekrut 24.000 prajurit tamtama pada tahun 2025 menimbulkan perdebatan luas di kalangan publik.
Di satu sisi, rencana ini disebut sebagai respons terhadap meningkatnya semangat nasionalisme generasi muda serta upaya untuk memperkuat pertahanan wilayah.
Namun di sisi lain, kebijakan ini juga dikhawatirkan berpotensi menyimpang dari mandat konstitusional TNI dan menodai semangat reformasi militer pasca-1998.
Brigjen TNI Wahyu Yudhayana, Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat, menegaskan bahwa lonjakan rekrutmen tersebut bukan keputusan yang tiba-tiba.
Ia menyebutkan bahwa jumlah pendaftar calon tamtama TNI AD tahun 2025 mencapai 107.365 orang, dengan 38.835 calon tervalidasi.
“Animo pemuda Indonesia terus meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun,” ungkap Wahyu dalam pernyataannya di Jakarta, Rabu (04/6/2025).
Bahkan, lanjut Wahyu, "dalam lima tahun terakhir, realisasi rekrutmen selalu melebihi target, dengan pencapaian tertinggi pada 2023 sebesar 114,4 persen."
Menurutnya, rekrutmen ini bukan hanya mencerminkan semangat patriotisme generasi muda, tetapi juga sejalan dengan Doktrin Pertahanan Negara 2023 yang menekankan sistem pertahanan mandiri, kuat, dan berbasis kewilayahan.
Dalam kerangka ini, TNI AD tengah mengembangkan struktur organisasi yang lebih adaptif dan responsif terhadap potensi ancaman di setiap wilayah Indonesia.
Salah satu bentuk implementasinya adalah pembentukan Batalyon Teritorial Pembangunan yang dirancang hadir di seluruh 514 kabupaten/kota.
Setiap batalyon disebut berdiri di atas lahan seluas 30 hektare dan dilengkapi kompi-kompi yang diarahkan untuk menjawab langsung kebutuhan masyarakat.
Penyimpangan Tugas
Di balik semangat nasionalisme dan penguatan wilayah, muncul kritik tajam dari berbagai elemen masyarakat sipil, khususnya Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan.
Koalisi yang terdiri dari berbagai elemen masyarakat sipil ini memandang kebijakan tersebut sebagai bentuk penyimpangan dari tugas utama TNI sebagai alat pertahanan negara.
Rekrutmen prajurit untuk tugas-tugas non-tempur seperti pertanian, perkebunan, peternakan, hingga pelayanan kesehatan dinilai keluar dari kerangka tugas militer sebagaimana ditetapkan dalam konstitusi dan Undang-Undang TNI.
"Dalam konteks global yang menuntut profesionalisme militer dan kesiapan menghadapi perang modern yang kompleks, langkah ini dianggap sebagai kemunduran," ungkap koalisi dalam keterangan, Selasa (10/6/2025).
Lebih lanjut, mereka juga menilai bahwa penugasan prajurit untuk urusan sipil tidak hanya melemahkan fokus TNI terhadap fungsi pertahanan, tetapi juga membuka kembali ruang kaburnya batas antara militer dan sipil yang coba ditegakkan pasca reformasi.
“Perekrutan dan pelibatan TNI bukan untuk menjadi pasukan tempur, melainkan untuk urusan seperti pertanian, perkebunan, peternakan, maupun pelayanan kesehatan adalah bentuk kegagalan untuk menjaga batas demarkasi yang tegas antara urusan sipil dan militer,” ujar koalisi.
Mereka menyoroti pentingnya menjaga profesionalisme dan integritas militer agar tidak kembali ke pola lama di mana militer terlalu dalam mencampuri kehidupan sipil.
Selain soal mandat konstitusional, pertanyaan juga muncul mengenai efektivitas dan dampak jangka panjang dari Batalyon Teritorial Pembangunan.
Dengan lahan seluas 30 hektare untuk setiap batalyon dan beban kerja di luar ranah militer, arah dan fungsi satuan ini perlu diperjelas agar tidak menjadi beban struktural baru dalam tubuh TNI.
Koalisi mengharapkan perhatian serius dari Presiden dan DPR selaku badan legislatif untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas kebijakan rekrutmen ini.
Pengawasan dari lembaga legislatif menjadi penting untuk memastikan bahwa TNI tidak tergelincir ke dalam peran-peran yang bukan menjadi tugas utamanya.
Sebaliknya, TNI diminta untuk tetap berada di jalur reformasi menuju militer yang profesional, modern, serta patuh terhadap hukum dan konstitusi.
Tanpa itu, risiko politisasi militer dan tergerusnya batas sipil-militer akan terus membayangi, dan upaya membangun pertahanan negara bisa berubah menjadi kompromi terhadap prinsip-prinsip demokrasi dan supremasi sipil.