Novel Kambing dan Hujan: Cinta Menyatukan Dua Sudut Pandang Islam

Novel Kambing dan Hujan (Foto: Instagram/@dereizen)

PARBOABOA, Jakarta - Perbedaan pemahaman dan keyakinan dalam kehidupan sosial tidak jarang mendorong terjadinya konflik di masyarakat, terlebih lagi perihal agama. 

Namun, hal itu juga bisa terjadi sekalipun dalam satu agama yang sama, karena perbedaan aliran. Padahal, agama sangat melarang hal itu terjadi. 

Dalam sebuah Jurnal, Fauziyah (2017), dijelaskan bahwa agama apapun tidak mengajarkan konflik atau kekerasan di dalamnya.

Tetapi, ketika teks ajaran agama memasuki ranah interpretasi, muncul berbagai penafsiran. Oleh karena itu, masalah utamanya bukan terletak pada ajaran agamanya, melainkan pada bagaimana ajaran tersebut diinterpretasikan.

Masih dalam penelitian yang sama, salah satu persoalan yang masih dihadapi umat beragama di Indonesia adalah konflik berlatar belakang agama. 

Fenomena ini sebenarnya melahirkan paradoks dalam agama sendiri. Islam sebagai salah satu agama yang tersebar di penjuru dunia pun menghadapi hal yang sama. 

Pendekatan awal Islam yang berdampingan dengan kebudayaan lokal Indonesia membuatnya lebih mudah diterima oleh masyarakat. Pendekatan kultural ini berusaha mensinergikan antara ajaran Islam dan budaya lokal sehingga menghasilkan Islam sinkretis, Sutiyono (2010). 

Hal itu membuat kehidupan beragama Islam menjadi beragam dan memiliki orientasi yang berbeda-beda sehingga terbentuklah organisasi masyarakat (ormas) agama.

Mahfud Ikhwan, seorang penulis kelahiran 1980, mengupas isu tersebut dalam novel berjudul Kambing dan Hujan

Memang cukup membingungkan jika hanya menebak dari judulnya saja, bahkan cover buku yang unik pada edisi pertama sekilas seperti poster iklan susu kemasan, membuat orang penasaran saat pertama kali melihatnya.

Melalui novel ini, Mahfud membawa pembaca melihat sekat dalam hubungan antar tokoh dengan kisah romansa dan polemik antara dua keyakinan ormas dalam menjalani agama. 

Cerita dimulai dengan kisah cinta yang terhalang antara Miftahul Abrar (Mif) dan Nurul Fauzia (Zia), di mana latar belakang keluarga mereka yang tidak merestui hubungan tersebut membuat pembaca semakin penasaran.

Uniknya kedua tokoh ini tinggal di desa yang sama yaitu desa Centong, tetapi lokasi saja yang berbeda. Mif di Centong Utara dan Zia di Centong Selatan. Tidak hanya itu, keluarga mereka juga menganut ormas yang berbeda. 

Ayah Miftah, Is atau Pak Kandar adalah tokoh masjid utara (Muhammadiyah), berpegang pada prinsip ajaran agama Islam yang benar dan berusaha “membenahi” Islam. 

Sementara, ayah Fauzia seorang tokoh masjid selatan (Nahdlatul Ulama atau NU) bernama Moek atau Pak Fauzan, teguh akan ajaran Islam tradisional.

Realita Kehidupan Beragama

Indonesia sebagai negara pluralisme memiliki beragam budaya, suku, bahasa, adat-istiadat, tata krama dan agama, yang memperkaya kehidupan bangsa. 

Keberagaman itupun memunculkan ormas-ormas yang berfokus pada bidangnya masing-masing, termasuk agama. 

Namun tidak sedikit yang memicu konflik imbas perbedaan prinsip dan latar belakang lingkungan. Perbedaan itu umumnya terjadi karena cara ibadah. 

Dalam sebuah studi, Hendri (2019), disebutkan ada konflik antara dua ormas Islam besar, NU dan Muhammadiyah yang ada di Desa Bragung, Kecamatan Guluk-Guluk, kabupaten Sumenep. Konflik terjadi akibat perbedaan paham dan praktik keagamaan dan saling  klaim kebenaran, seperti tahlilan dan ziarah kubur. 

Lebih lanjut, meskipun jarang masyarakat pengikut Muhammadiyah yang mengkritik tahlilan dan ziarah kubur, akan tetapi ketidakikutsertaan masyarakat penganut Muhammadiyah dalam kegiatan itu menyebabkan warga pengikut NU kadang merasa sinis dengan mereka yang dianggap telah menyalahi adat dan tradisi yang sudah lama ada di Desa Bragung.

Melansir dari berbagai berbagai sumber, perbedaan NU dan Muhammadiyah terletak pada tradisi yang berlaku (NU: tahlilan, ziarah kubur, dan yasinan), teknik perhitungan tanggal dengan rukyah atau hilal, jumlah rakaat shalat tarawih, dan amalan ibadah lainnya. Salah satunya NU membaca doa Qunut saat shalat subuh, sedangkan Muhammadiyah tidak. 

Hal-hal tersebut tergambar dalam adegan saat Cak Ali, guru ngaji Is, yang membawa pembaharuan Islam di desa Centong. Cak Ali sholat tidak menggunakan Ushalli, lalu saat sholat shubuh ia tidak membaca Do’a Qunut. Cak Ali juga menentang adanya acara Tahlilan, Ziarah, dan Yasinan karena menurutnya itu bid’ah

Namun, gerakan ini ditentang sebagian masyarakat yang tetap memegang prinsip agama tradisional. 

Ketakutan masyarakat lanjut usia akan perubahan itu pun mendorong Moek yang berada di pesantren untuk pulang dan mengimbangi gerakan Cak Ali yang merisaukan. 

Lambat laun persahabatan Is dan Moek pun merenggang, terlebih lagi usai Moek menikahi perempuan yang dicintai Is, Hidajatun.

Setelah sekian lama perdebatan tokoh Is dan Moek, Mahfud menamatkan novel ini dengan pertemuan indah antara kedua tokoh dan masing-masing anaknya. 

Mulanya saling diam, Is dan Moek lalu bercakap dan saling menanyakan kabar hingga keduanya menyetujui pernikahan anak mereka. Kehadiran Mif dan Zia lah yang menjadi obat persahabatan ayah keduanya.

Sisi Lain Novel Kambing dan Hujan

Dibalik kisah yang begitu lekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia, novel Kambing dan Hujan berhasil menyabet penghargaan menjadi pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) 2014 versi Mojok dalam kategori Karya Sastra Terbaik 2015 versi Jakartabeat, dan buku Terbaik 2015 versi Mojok.

Pembawaan Mahfudz yang netral seakan “menyihir” pembaca untuk memahami pembahasan rumit yang dikemas apik dalam novel ini. 

Perbedaan yang digambarkan juga tidak serta merta menghakimi dua kubu ormas, rasa persaudaraan sesama umat Islam yang menguatkan mereka. 

Selain itu, pesan yang ada pun disampaikan dengan sederhana namun bermakna, sarat akan nilai toleransi dalam memandang pemahaman ormas lain. 

Seorang ahli Sosiologi, Prof. Imam Suprayogo menyampaikan keberadaan ormas sangat penting untuk membangun dinamika, saling memperkuat, dan agar mendorong umat untuk terus berlomba-lomba dalam kebaikan.

Hal itu menyatakan bahwa, jalan keluar suatu perbedaan yang ada bukanlah permusuhan. Tapi, kekuatan cintalah yang seharusnya menjadi obat penawar perbedaan itu sebagaimana hubungan antar tokoh dalam novel.

Penulis: Hildha Nur Aini

Editor: Rista
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS