PARBOABOA, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah memberikan langkah tegas kepada perusahaan pinjaman online (pinjol) resmi.
Dalam upaya untuk melindungi nasabah dari praktik peragakan yang tidak etis, OJK telah secara resmi melarang pinjol resmi untuk menagih utang dengan menggunakan ancaman dan kekerasan.
Hal ini sesesuai dengan aturan Peraturan OJK (POJK) Nomor 10 Tahun 2022 tentang Layanan Pendanaan Bersama Berbasis Teknologi Informasi (LPBBTI).
Dalam keterangan resminya, OJK tetap mempersilahkan platform pinjol untuk menagih utang kepada para debiturnya.
Namun demikian, OJK menekankan agar penagihan utang yang dijalankan oleh pihak kolektor harus mematuhi etika yang berlaku dalam masyarakat serta mengikuti ketentuan hukum yang berlaku.
Platform pinjol diwajibkan untuk memonitor penagihan utang tanpa melibatkan ancaman, kekerasan, atau tindakan yang dapat merendahkan martabat debitur.
Selain itu, penagih utang harus menghindari memberikan tekanan fisik maupun verbal saat melakukan penagihan.
Menurut OJK, sebelum melakukan penagihan para perusahaan penagih (debt collector) juga memiliki opsi untuk mengirimkan surat peringatan sesuai dengan batas waktu yang telah disepakati dalam kontrak pinjaman antara pemberi pinjaman dan peminjam.
Dalam surat peringatan tersebut, terdapat beberapa informasi yang harus disertakan, di antaranya jumlah hari keterlambatan pembayaran, total pendanaan yang belum dilunasi, bunga yang harus dibayar, dan denda yang terutang.
Kasus Teror Pinjaman Online
Kasus teror terkait pinjol semakin meresahkan masyarakat. Kabar terbaru, beredar berita seorang yang mengakhiri hidupnya akibat teror penagih utang pinjol dari platform AdaKami.
Kasus ini pertama kali menjadi perhatian publik ketika seseorang memberikan kesaksian di Instagram mengenai anggota keluarganya yang meninggal akibat teror dari penagih utang pinjol.
Terduga korban telah mengakhiri hidupnya pada Mei 2023, tetapi kasus ini baru diungkap oleh keluarganya belakangan karena rasa malu terhadap kejadian tersebut.
Terungkap bahwa terduga korban memiliki hutang sebesar Rp9,4 juta, tetapi diminta untuk mengembalikan sekitar Rp18 - Rp19 juta karena biaya administrasi yang tinggi.
Setelah itu, terduga korban terus menerima teror bahkan di tempat kerjanya, yang akhirnya menyebabkan dia dipecat. Situasi semakin buruk dan membuatnya mengakhiri hidupnya.
Setelah pemecatan, terduga korban terus mendapatkan pesanan makanan fiktif dan dihadapi oleh beberapa pengemudi yang datang berkali-kali dalam sehari.
Meskipun keluarga korban telah menginformasikan kepada penagih utang bahwa korban telah meninggal, pesanan makanan fiktif terus berdatangan tanpa henti.
Editor: Wenti Ayu