PARBOABOA, Jakarta – Para guru di desa terpencil yang telah mengabdikan diri selama bertahun-tahun, kini dapat bernafas lega.
Mereka yang hadir dengan latar belakang pendidikan non-sarjana, kini akan diangkat menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), yakni Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Hal itu diungkapkan oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), Abdullah Azwar Anas, di acara ASN Culture, Jakarta pada Kamis (14/12/2023) lalu.
Seperti diketahui, dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, disyaratkan kualifikasi guru memiliki pendidikan minimal D-IV atau S1 sebelum 2015.
Karena itu, kata dia, Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Permenpan) baru yang akan diterbitkan, sehingga memungkinkan pengangkatan mereka menjadi PPPK.
Azwar juga mengungkap, kebijakan serupa telah diterapkan di Papua, dimana tanpa afirmasi ini, desa-desa di Papua tidak akan memiliki guru SD-SMP.
Ia mengatakan, apabila pemerintah menunggu guru lulusan sarjana, tidak akan ada guru SD-SMP di desa-desa Papua.
Menanggapi rencana pengangkatan guru non-sarjana tersebut, Pengamat Pendidikan, Darmaningtyas, melihat itu sebagai cara instan pemerintah untuk mengatasi masalah kekurangan guru di Indonesia.
“Kalau pemerintah itu kan hanya nyari simplenya, yang penting terpenuhi. Kalau saya melihat itu adalah kebijakan yang mundur, karena orientasinya hanya kebutuhan, bukan kualitas,” ungkapnya kepada PARBOABOA, Jumat (15/12/2023).
Menurutnya, pemerintah seharusnya tetap memperhatikan kualitas guru dengan memberikan akses pendidikan kepada guru daerah.
“Misalnya dalam jangka waktu lima tahun pertama, siapkan guru dari luar daerah. Sembari pemerintah provinsi dan daerah menyiapkan kebutuhan guru di daerah,” ujarnya.
Ia juga mengungkap, banyak guru yang mau ditempatkan di daerah asal regulasi dan pengangkatannya jelas.
“Banyak sebenarnya sarjana yang mau ditempatkan di daerah, asal jelas penempatan dan regulasinya sebagai PNS,” jelasnya.
Lagi pula, langkah pemerintah menetapkan guru non-sarjana menjadi ASN, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen yang mensyaratkan kualifikasi guru minimal D-IV atau S1 sebelum tahun 2015.
“Itu berarti melanggar UU guru dan dosen. Seharusnya dalam UU tersebut, apabila ada guru yang non-sarjana maka ditunggu dulu sampai tahun 2015, apabila tidak bisa memenuhi, maka harus keluar,” ujarnya.
Pasalnya, kualitas pendidikan akan berbeda antara guru sarjana dengan non-sarjana. Guru sarjana, telah terlebih dahulu mengetahui metodologi mengajar bagi anak-anak, dan itu didapatkan di jenjang perguruan tinggi.
“Tentu penguasaan materinya beda, jadi kualitas pendidikan yang dihasilkan berbeda. Kalau mengajar tidak mengenal metodologinya, maka akan susah,” pungkasnya.
Editor: Yohana