PARBOABOA, Jakarta - Pakar Kebijakan Publik dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengingatkan akan bahaya malware pegasus, jika sistem itu benar-benar masuk ke Indonesia.
Pegasus merupakan alat canggih yang mempunyai kemampuan infiltrasi ke perangkat elektronik berbasis internet milik target tanpa terdeteksi. Setelah masuk, malware pegasus akan menguasai perangkat dan semua akun media sosial target. Pegasus juga mampu menyedot semua data perangkat dan akun media sosial target, mengaktivasi kamera dan mikrofon serta GPS target.
"Pertama, bahaya bagi kebebasan warga negara, bahaya bagi kehidupan berpolitik, serta bagi kalangan bisnis dan investasi," katanya dalam keterangan tertulis yang dikutip Parboaboa, Jumat (16/6/2023).
Berdasarkan paparan dalam Organized Crime and Corruption Reporting Project dan Forbidden Stories, lanjut Achmad Hidayat, terungkap adanya upaya memata-matai aktivis, jurnalis hingga politikus termasuk di Indonesia.
"Dan perangkat yang digunakan salah satunya adalah pegasus sebagai perangkat lunak produksi perusahaan intelijen asal Israel, NSO Group Technologies," ungkap CEO Narasi Institute ini.
Bahkan, lanjut Achmad, NSO Group Technologies Israel pernah mengirim pegasus ke entitas bisnis di Indonesia yaitu PT Mandala Wangi Kreasindo melalui Bandara Soekarno Hatta, 15 September 2020.
"Pengiriman tersebut berasal dari Q Cyber Technologies (NSO Group) yang dibungkus produk elektronik Dell, mulus masuk ke Indonesia tanpa ada halangan sama sekali," ungkap dia.
Dugaan Pegasus Diimpor Pihak Swasta
Pakar Kebijakan Publik, Achmad Nur Hidayat menjelaskan, peneliti Citizen Lab bahkan menduga keberadaan pegasus di Indonesia sudah nyata, seperti pengadaan peralatan khusus intelijen dan keamanan.
"Pengadaan peralatan khusus intelijen dan keamanan zero-click intrusion system di Kepolisian Daerah Metropolitan Jakarta Raya senilai Rp99,1 miliar pada 2017," tambahnya.
Meski begitu, Kepolisian membantah telah membeli dan menggunakan perangkat pegasus, sebagaimana disampaikan Kepala Divisi Teknologi, Informasi, dan Komunikasi Polri, Irjen Slamet Uliandi sembari menyebut polisi hanya menggunakan alat sadap bermetode zero-Click bukan pegasus.
"Tapi, jika ada APH (aparat penegak hukum) yang menggunakan malware pegasus ini, juga bisa dinilai tidak aman, karena DPR dan Pemerintah belum pernah menyepakati bagaimana aturan main penggunaan alat canggih ini," ungkapnya.
Achmad juga mempertanyakan lembaga swasta yaitu PT Mandala Wangi Kreasindo yang membeli pegasus tanpa terendus perangkat pemerintah dan DPR. Apalagi, lanjutnya, perusahaan tersebut terindikasi terafiliasi dengan istri seorang menteri di Kabinet Joko Widodo.
"Ada indikasi pembeli alat canggih tersebut bukan institusi negara namun perusahaan yang telah berganti-ganti kepemilikan," ungkapnya.
DPR Perlu Panggil PT Mandala Wangi Kreasindo Hingga APH
Achmad Nur Hidayat juga meminta DPR untuk menginvestigasi terkait pembelian malware pegasus oleh PT Mandala Wangi Kreasindo, karena jika alat canggih itu digunakan kalangan swasta, maka semua rahasia percakapan dapat disalahgunakan.
"Termasuk percakapan aktivis, politisi, dan pelaku bisnis. Isu pegasus adalah isu kebijakan publik sehingga DPR tidak perlu takut dengan siapapun untuk membela publik," katanya.
Tidak hanya itu, DPR juga perlu memanggil PT Mandala Wangi Kreasindo, Polisi dan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menjelaskan keberadaan pegasus di Indonesia dan masuknya alat-alat canggih untuk penyadapan yang memerlukan SOP dan pengawasan dari lembaga yudikatif.
"Karena jika ternyata benar sudah disalahgunakan maka harus ada sanksi kepada pihak yang menyalahgunakan, terutama di tahun politik saat ini," jelas dia.
"Bila keberadaan pegasus disalahgunakan bisa jadi akan menguntungkan pemiliknya untuk memperkaya diri atau menggunakan dengan seleranya, merusak demokrasi, iklim bisnis dan kebebasan warga negara," imbuh Achmad Nur Hidayat.