Menelusuri Sejarah Kampung Arab yang Jadi Lokasi Kawin Kontrak

Salah satu sisi Kampung Arab yang menjadi tempat kawin kontrak (Foto: akumassa.org)

PARBOABOA, Jakarta - Kampung Arab mulai dikenal luas oleh masyarakat pada tahun 1980-an karena menjadi objek wisata bagi banyak turis Timur Tengah.

Lokasinya terletak di Desa Tugu Selatan dan Tugu Utara, Kecamatan Cipanas, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat. 

Cipanas memiliki luas wilayah mencapai 58,03 km² dan populasi sebanyak 91.405 jiwa. Kota ini berada di ketinggian 1.050 mdpl dengan curah hujan rata-rata mencapai 3.500 mm per tahun.

Sementara Kabupaten Cianjur sendiri secara geografis terletak pada koordinat 106°42' Bujur Timur (BT) dan 6°21' hingga 6°25' Lintang Selatan (LS). 

Posisi geografis ini menciptakan iklim yang sejuk dan cocok untuk pengembangan sektor pertanian, khususnya di kawasan Cipanas yang terkenal karena keindahan alam dan udara yang segar.

Keberadaan Kampung Arab dipicu oleh kedatangan orang-orang Timur Tengah seperti Arab Saudi, Bahrain, Qatar, dan Kuwait yang mendirikan warung dari kaleng drum. 

Seiring berjalannya waktu, mereka membawa keluarga dan kerabat mereka ke Puncak, sehingga menjadikannya salah satu destinasi favorit bagi wisatawan Timur Tengah. 

Tak hanya menawarkan pemandangan alam, wilayah puncak juga dipenuhi villa, hotel, restoran, hingga jasa pelayanan khusus yang ditujukan bagi mereka. 

Jasa-jasa yang tersedia di antaranya adalah pemandu wisata, sopir taksi dan ojek, koki, penyedia villa, hingga keamanan. 

Para penyedia jasa umumnya merupakan penduduk lokal yang berafiliasi dengan Komunitas Penggerak Pariwisata (Kompepar). 

Masyarakat setempat juga sering menggunakan istilah-istilah asing untuk menyebut profesi mereka, demi kesan lebih modern dan keren.

Seiring bertambahnya jumlah wisatawan Timur Tengah, fenomena kawin kontrak  pun mulai bermunculan sejak tahun 1987. 

Kawin kontrak yang juga dikenal dengan istilah nikah mut'ah, merupakan perkawinan sementara antara pria Timur Tengah dan wanita lokal. 

Istilah ini mengacu pada pernikahan dengan jangka waktu tertentu, di mana setelah jangka waktu tersebut berakhir, ikatan pernikahan otomatis berakhir. 

Awalnya, praktik tersebut melibatkan gadis-gadis lokal yang didorong oleh keluarganya karena alasan ekonomi. 

Namun, hingga kini, praktik tersebut lebih sering melibatkan pekerja seks komersial yang menawarkan diri kepada turis.

Meskipun sempat marak pada tahun 2007-2008, kawin kontrak mulai mendapat kecaman pada tahun 2010 sehingga membuatnya semakin tertutup. 

Beberapa oknum masih terlibat dalam jejaring kawin kontrak, meski berusaha menutupi keberadaannya demi menjaga citra wisatawan Timur Tengah dan Puncak sebagai destinasi wisata. 

Fenomena ini dianggap menyimpang karena melanggar norma-norma masyarakat, terutama mengingat mayoritas penduduk Puncak adalah beragama Islam.

Faisal Hamdani (2008) dalam buku berjudul Nikah Mut'ah Analisis Perbandingan Hukum Antara Sunni & Syiah menjelaskan bahwa mut'ah merupakan akad pernikahan dalam jangka waktu tertentu. 

Durasi pernikahan bisa ditentukan sesuai kesepakatan, seperti satu atau dua hari, sebulan, atau dua bulan, dan setelah itu hubungan pernikahan mereka dianggap selesai.

Model pernikahan demikian tidak diperbolehkan secara agama dan hukum. Dalam perspektif hukum, praktik kawin kontrak bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. 

Instrumen hukum ini menyatakan bahwa pernikahan harus dilaksanakan dengan tujuan yang sah dan bersifat permanen, tanpa batasan waktu tertentu. 

Dalam kasus kawin kontrak, hal sebaliknya justru terjadi sehingga jelas melanggar prinsip-prinsip dasar pernikahan yang sah dan menjadikan status hukum pernikahan tersebut menjadi tidak jelas.

UU Perkawinan menggarisbawahi pentingnya pencatatan pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA) guna melindungi hak-hak kedua belah pihak, serta memastikan status hukum bagi anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut. 

Namun, dalam praktik kawin kontrak, karena tidak adanya pencatatan resmi, anak-anak yang dilahirkan berpotensi menghadapi masalah hukum status kewarganegaraan, hak waris, dan perlindungan hukum lainnya.

Tidak hanya dari sisi hukum, kontrak kawin juga melanggar ajaran agama Islam sebagaimana disinggung Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cianjur, KH Abdul Rauf.

Mengacu pada fatwa MUI yang telah dikeluarkan sejak 25 Oktober 1977 silam, Rauf menyatakan bahwa praktik ini tidak sesuai dengan tujuan syariat dalam akad nikah. 

Ia menekankan bahwa pernikahan seharusnya berlangsung tanpa batas waktu dan ditujukan untuk membangun keluarga yang sejahtera serta melahirkan keturunan yang sah. 

“Pernikahan harus berlangsung tanpa batasan waktu, sesuai dengan ketentuan agama,” tegas Rauf dalam wawancara dengan PARBOABOA pada Selasa (25/09/2024) lalu.

Dengan dua dasar dasar tersebut, kawin kontrak sesungguhnya bersifat menyimpang karena tindakan yang dilakukan tidak sesuai dengan norma sosial yang berlaku. 

Fenomena ini serempak menimbulkan dilema antara manfaat ekonomi yang dirasakan oleh masyarakat sekitar dan dampaknya terhadap norma sosial yang berlaku.

Beberapa Tanggapan

Praktik kawin kontrak sesungguhnya tidak hanya terjadi di Cipanas, tetapi juga di beberapa daerah lain seperti Cianjur, Sukabumi, dan Garut.

Aktivis perempuan dan anak, Lidya Indayani Umar, menyoroti bahwa aspek geografis juga membuka celah bagi praktik tak berkemanusiaan tersebut. 

Jalur Puncak yang menawarkan pemandangan indah dan berada di lokasi strategis antara Jakarta dan Bandung, menjadi daya tarik tersendiri bagi para wisatawan.

Mengutip laporan PARBOABOA pada Jumat (04/10/2024), para turis umumnya menyebut wilayah Puncak dengan istilah "Jabal al-Jannah" atau gunung surga.

“Di sana ada keramaian, menikmati keindahan, dan menjadi objek wisata. Dari situ, muncullah penawaran seperti kontrak kawin,” ungkap Lidya kepada PARBOABOA belum lama ini.

Ia mengisahkan bahwa selama mengadvokasi kasus kawin kontrak sejak 1999, dirinya sering bertemu dan mendengar cerita miris dari para korban. 

Mereka sebenarnya ingin keluar dari lingkaran tersebut, namun sulit karena ancaman dan biaya yang harus mereka keluarkan untuk para mucikari.

"Kebanyakan dari mereka yang masih remaja dan umumnya belum memahami sepenuhnya apakah tindakan tersebut benar atau salah." 

Lidya setuju, kawin kontrak adalah modus perdagangan orang  yang terselubung. Korban sering kali tidak menyadari niat buruk di balik praktik tersebut.

“Yang disebut perdagangan orang itu dapat dipindahkan dari satu tangan ke tangan yang lain,” jelasnya.

Praktik tersebut, lanjut Lidya, sangat menjamin martabat perempuan sebagai manusia. Sebab, para korban berpotensi mengalami kekerasan fisik dan seksual.

"Itu menurut saya sangat mengerikan. Awalnya, mereka dijual dan dibawa ke suatu tempat," katanya.

Kanit V Sat Reskrim Polres Cianjur, Ipda Amur Yuda Sakti menyebut, kawin kontrak hanyalah kedok yang menutupi aktivitas perdagangan manusia ( human trafficking ) di daerah Puncak.

Soal perdagangan orang, negara Indonesia memiliki instrumen hukum berupa Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang (UU TPPO) Nomor 21 Tahun 2007. 

UU ini mendefinisikan perdagangan orang sebagai tindakan yang mencakup konservasi, penyimpanan, penampungan, atau pengiriman seseorang melalui cara-cara ilegal, termasuk kekerasan, penipuan, atau penyekapan. 

Tujuan utamanya adalah eksploitasi. UU yang sama menyebut, pelaku yang terjerat dapat dipidana penjara antara 3 hingga 15 tahun, tergantung beratnya kejahatan.

Polres Cianjur telah menetapkan tiga kecamatan, yakni Cipanas, Pacet, dan Sukaresmi, sebagai zona merah untuk praktik kawin kontrak. 

Namun, pencegahannya tidak mudah karena transaksi dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Lokasi seperti Warung Kaleng di Puncak kerap menjadi tempat di balik perundingan kontrak kawin jahat.

Fenomena maraknya kawin kontrak menjadi pengingat alarm bagi pemerintah Kabupaten Bogor untuk menyusun sebuah instrumen hukum yang tegas guna mencegah tindakan serupa.

Sebab, praktik kawin kontrak sebagai bentuk eksploitasi manusia, tidak hanya menjamin martabat perempuan tetapi juga melanggar hak-hak asasi manusia (HAM).

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS