Siantar Zoo: Konservasi Sunyi di Tengah Kota

Buaya muara, salah-satu spesies buaya terganas di dunia dan satwa dilindungi yang ada di Siantar Zoo (Foto: PARBOABOA/Novriani)

Tulisan-1

PARBOABOA, Pematangsiantar -- Di jantung kota Pematangsiantar, Sumatera Utara, terbentang sebuah ruang hijau yang menyimpan bisik sejarah sekaligus denting perubahan zaman: Taman Hewan Pematangsiantar, atau yang lebih akrab disebut masyarakat sebagai Siantar Zoo. Siapa sangka, tempat wisata yang kini ramai dikunjungi ini dulu hanya bermula dari dua ekor satwa di tengah semak belukar tak bernama?

Kebun binatang ini pertama kali dihadirkan oleh dr. Conrad pada 1936. Koleksinya sangat terbatas kala itu: seekor kura-kura dan seekor buaya. Selebihnya hanya hewan jinak seperti bebek dan angsa yang menambah riuh suara di antara pepohonan. Tak ada harimau, gajah, apalagi orangutan seperti sekarang. Tak ada pula papan informasi, gerbang megah, atau kandang permanen. Wujudnya lebih menyerupai halaman rimbun dengan satwa kecil, dirawat seadanya oleh segelintir pekerja.

“Dulu waktu pertama kali kami masuk, kondisinya sangat sederhana. Banyak semak belukar, fasilitas terbengkalai, dan satwanya pun sangat sedikit,” kenang Dwi Cahya, staf senior yang sudah lama bergabung.

Tahun 1996 menjadi titik balik. Saat itu, taman yang hanya berupa kebun kecil dengan kandang kawat sederhana resmi diambil alih oleh seorang putra daerah sekaligus tokoh pecinta satwa, Rahmad Shah. Di bawah pengelolaannya, ruang yang sempat terabaikan itu perlahan bertransformasi.

Pengambilalihan ini tidak terjadi begitu saja. Ada proses panjang bersama Pemerintah Kota (Pemko) Pematangsiantar. Lahan tempat Siantar Zoo berdiri tetap menjadi milik Pemko, sementara Rahmad Shah dan yayasannya memperoleh hak kelola, bukan hak milik. Skemanya berupa setoran bagi hasil dengan nominal tetap yang disepakati setiap tahun—bukan berdasarkan persentase pendapatan—dan langsung masuk ke kas daerah.

Segala fasilitas yang berdiri di atas lahan—mulai dari kandang, jalan, kantor, hingga wahana bermain—dibangun dan dirawat oleh pengelola. Perluasan atau renovasi baru dapat dilakukan dengan sepengetahuan Pemko, mengingat lahan tetap milik pemerintah. Jika ada fasilitas umum yang rusak atau terancam bencana, misalnya lorong air (wandelpad), saluran, atau akses jalan, pengelola dapat mengajukan bantuan ke Pemko.

Hak kelola ini berlaku 30 tahun dan dapat diperpanjang. Di sisi lain, Pemko memberi dukungan non-finansial, misalnya menyediakan ruang untuk acara budaya atau promosi pariwisata daerah. Sementara itu, seluruh biaya operasional—pakan satwa, perawatan kesehatan, perbaikan kandang, gaji pegawai, hingga program edukasi pengunjung—ditopang oleh pemasukan dari tiket, penjualan suvenir, kantin, dan wahana bermain yang disewakan.

Namun, semua itu bergantung pada satu hal: pengunjung. Maka, guncangan besar pun terjadi saat pandemi Covid-19 melanda dunia pada 2019–2020. Gerbang Siantar Zoo sepi, kursi-kursi kosong, dan suara riuh pengunjung mendadak hilang.

Pandemi Covid

Saat pandemi melanda, pintu gerbang Siantar Zoo tertutup rapat. Tak ada tiket terjual, tak ada pengunjung yang datang. Otomatis pemasukan berhenti total. Namun, satwa harus tetap diberi makan setiap hari, dan para pegawai pun mesti tetap menerima gaji.

 

bayangan dua primata

Bayangan dua primata berayun di antara jeruji besi Siantar Zoo (Foto: PARBOABOA/ Novriani)

Di tengah situasi nyaris lumpuh itu, secercah harapan datang dari Perhimpunan Kebun Binatang dan Satwa Indonesia (PKBSI) serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat. PKBSI sendiri diketuai oleh Rahmad Shah, sehingga bantuan segera mengalir. Tak hanya untuk Siantar Zoo, tetapi juga bagi kebun binatang lain di Indonesia, berupa pakan darurat, pendampingan medis, hingga kebutuhan pokok untuk para petugas yang tetap berjaga meski gerbang tertutup.

“Tanpa PKBSI waktu itu, mungkin Siantar Zoo sudah kolaps. Pak Rahmad turun langsung, menghubungi pemerintah pusat. Kami sangat terbantu,” ujar Dwi Cahya.

Dia masih mengingat betul mencekamnya suasana kala itu. Tak ada tiket terjual, kantin tutup, anak-anak tak lagi bermain sambil belajar. Sementara di balik kandang, hewan-hewan tetap lapar dan harus diberi makan. Meski donatur tetap belum ada, dukungan moral dan material dari jejaring sosial serta komunitas pecinta satwa menjadi tulang punggung yang menjaga Siantar Zoo tetap bertahan.

Selepas pandemi, perlahan kandang-kandang dibangun lebih layak, koleksi satwa bertambah, dan lahan diperluas. Satu demi satu mamalia besar hadir: beruang madu, tapir, orangutan Kalimantan, hingga harimau Sumatra. Dua yang terakhir kini menjadi ikon kebanggaan Siantar Zoo.

Perubahan itu bukan hanya soal fisik, melainkan juga semangat. Para petugas dirangkul, pelatihan diberikan, dan pendekatan konservasi mulai ditegaskan. Konservasi di sini tidak sekadar menyelamatkan satwa, melainkan juga merestorasi habitat, menjaga insting liar, dan mendidik publik. Siantar Zoo kini menerima spesies baru melalui program tukar-menukar satwa, penyelamatan dari warga, hingga kerja sama dengan lembaga konservasi.

Langkah Rahmad Shah bukan hanya sekadar pengambilalihan administratif. Ia membangun paradigma baru: mengubah kebun binatang dari sekadar tempat hiburan murah meriah menjadi ruang konservasi yang hidup dan berkelanjutan. Kini, Siantar Zoo bukan hanya tempat rekreasi, melainkan juga pusat edukasi, riset, dan konservasi satwa terancam punah.

Sebagai kebun binatang dengan kebijakan konservasi dan penangkaran satwa yang terbilang sukses, Siantar Zoo kini memiliki koleksi paling lengkap di Pulau Sumatera. Beberapa jenis satwanya bahkan tidak ditemukan di kebun binatang lain di luar Jawa.

Saat ini, jumlah keseluruhan satwa di sana mencapai 800-an ekor dari 200 spesies. Koleksi itu meliputi 201 mamalia dari 51 spesies, 455 burung dari 113 spesies, serta 59 reptil dari 19 spesies. Di antara mereka, terdapat singa Afrika, harimau putih Benggala, unta, kuda nil, beruang madu, hingga burung nuri asal Papua—sebuah keragaman yang menjadikan Siantar Zoo sebagai salah satu kebun binatang paling berwarna di Indonesia.

Saat pandemi melanda, pintu gerbang Siantar Zoo tertutup rapat. Tak ada tiket terjual, pemasukan pun lenyap seketika. Padahal, satwa tetap harus diberi makan saban hari, dan para pegawai pun mesti digaji.

Dalam situasi nyaris lumpuh itu, secercah harapan datang dari Perhimpunan Kebun Binatang dan Satwa Indonesia (PKBSI) serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat. PKBSI, yang diketuai langsung oleh Rahmad Shah, segera menyalurkan bantuan. Tak hanya untuk Siantar Zoo, tetapi juga untuk berbagai kebun binatang lain di Indonesia, dalam bentuk pakan darurat, pendampingan medis, hingga kebutuhan pokok bagi para petugas yang tetap berjaga meski gerbang tertutup.

“Tanpa PKBSI waktu itu, mungkin Siantar Zoo sudah kolaps. Pak Rahmad turun langsung, menghubungi pemerintah pusat. Kami sangat terbantu,” tutur Dwi Cahya, mengingat betul suasana mencekam kala itu. Tak ada tiket terjual, kantin tutup, anak-anak tak lagi bermain sambil belajar. Sementara di balik kandang, hewan-hewan tetap menunggu makanannya. Meski belum ada donatur tetap, dukungan moral dan material dari jejaring sosial serta komunitas pecinta satwa menjadi penopang utama yang menjaga Siantar Zoo tetap berdiri.

Wajah Baru

Selepas pandemi, kebun binatang ini bangkit dengan wajah baru. Kandang-kandang dibangun lebih layak, koleksi satwa bertambah, dan lahan diperluas. Satu per satu mamalia besar hadir: beruang madu, tapir, orangutan Kalimantan, hingga harimau Sumatra—dua yang terakhir kini menjadi ikon kebanggaan Siantar Zoo.

Berkat kontribusi nyata itu, taman yang dulu sempat terabaikan kini tumbuh menjadi salah satu kebun binatang paling hidup di Sumatera Utara.

 

konservasi tidak bersuara

Di sinilah konservasi tidak selalu bersuara, tapi tetap berlangsung setiap hari (Foto:PARBOABOA/Novriani)

Perubahan bukan hanya soal fisik, tapi juga soal semangat. Petugas dirangkul, pelatihan diberikan, dan pendekatan konservasi ditegaskan. Konservasi di sini tak hanya menyelamatkan, tetapi juga merestorasi habitat, merawat insting liar, sekaligus mendidik publik. Siantar Zoo mulai menerima satwa melalui program tukar-menukar, penyelamatan dari warga, hingga kerja sama dengan lembaga konservasi.

Langkah Rahmad Shah jelas lebih dari sekadar pengambilalihan administratif. Ia membangun paradigma baru: mengubah kebun binatang dari hiburan murah meriah menjadi ruang konservasi yang hidup dan berkelanjutan. Kini, Siantar Zoo bukan hanya tempat rekreasi, tetapi juga pusat edukasi, riset, dan konservasi satwa terancam punah.

Sebagai kebun binatang dengan kebijakan konservasi yang berhasil, Siantar Zoo kini memiliki koleksi satwa paling lengkap di Sumatera. Beberapa jenis bahkan tidak dimiliki kebun binatang lain di luar Pulau Jawa. Saat ini, terdapat sekitar 800 ekor satwa dari 200 spesies: 201 mamalia dari 51 spesies, 455 burung dari 113 spesies, dan 59 reptil dari 19 spesies. Koleksi ini termasuk singa Afrika, harimau putih Benggala, unta, kuda nil, beruang madu, hingga burung nuri Papua.

Sebagian besar satwa di Siantar Zoo berasal dari tukar-menukar dengan kebun binatang lain, terutama di Indonesia. Dari Surabaya Zoo dan kebun binatang luar negeri, misalnya, datang singa Afrika dan zebra. Ada juga sumbangan dari warga, serta titipan satwa langka dari Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), seperti induk dan anak orangutan Sumatra.

“Kalau ada warga menyerahkan hewan peliharaan yang bukan satwa dilindungi, kami bisa langsung terima setelah dicek kondisinya. Tapi kalau satwanya dilindungi, seperti elang atau owa, kami harus koordinasi dulu dengan BKSDA,” jelas Dwi Cahya.

Siantar Zoo juga menjalin kerja sama dengan R-Zoo & Park, yang juga dikelola Rahmad Shah. Beberapa satwa tertentu—terutama yang butuh lahan luas, kondisi semi-liar, atau tidak cocok dengan habitat di pusat kota—dipindahkan ke R-Zoo & Park di Desa Bengabing, Kecamatan Pegajahan, Kabupaten Serdang Bedagai. Di sana, staf, keeper, dokter, dan pengelola saling bertukar kunjungan untuk studi kasus dan pelatihan teknis.

Kolaborasi antara Siantar Zoo dan R-Zoo & Park menjadi bagian dari strategi konservasi terpadu yang digagas Rahmad Shah—sebuah upaya menyatukan rekreasi, pendidikan, dan pelestarian ke dalam satu visi besar: menjaga kehidupan satwa untuk generasi mendatang.

Adapun satwa dilindungi yang kini dikonservasi di Siantar Zoo antara lain beruang madu, buaya muara, harimau Sumatra, tapir, orangutan Kalimantan, kakatua jambul kuning, owa, dan bangau mahkota.

Konservasi

Siantar Zoo merupakan salah satu dari sedikit kebun binatang swasta di Indonesia yang benar-benar aktif menjalankan konservasi. Mereka merawat satwa langka dan dilindungi dengan prinsip swadaya, sepenuhnya dikelola pihak swasta melalui PT Pematangsiantar Zoo, tanpa bergantung pada anggaran negara.

 

satwa semakin bertambah

Sejak pengalihan, koleksi satwa semakin bertambah. Salah satunya adalah ular (Foto:PARBOABOA/Novriani)

Inilah yang membedakannya dari kebun binatang lain seperti Taman Margasatwa Ragunan, Kebun Binatang Surabaya (KBS), atau Bandung Zoo, yang dikelola pemerintah atau BUMD dengan sokongan regulasi dan dana yang relatif stabil.

Peran konservasi di Siantar Zoo dijalankan dengan pendekatan sosial-edukatif, bukan pusat rehabilitasi. Mereka tidak seperti Center for Orangutan Protection (COP) atau Wildlife Rescue Center (WRC) Jogja yang rutin melepasliarkan satwa kembali ke alam. Sebaliknya, Siantar Zoo lebih menjadi rumah penampungan sementara atau permanen bagi satwa hasil sitaan dari BBKSDA maupun yang diserahkan warga.

Jika di tempat lain kebun binatang sebatas fungsi rekreasi, di Siantar Zoo sisi edukasi lebih ditonjolkan. Konsep edutainment—edukasi plus hiburan—diterapkan agar masyarakat bisa mengenal lebih dekat satwa-satwa dilindungi, tanpa menjadikannya sekadar tontonan pasif.

Siantar Zoo juga membuka ruang luas bagi generasi muda untuk belajar langsung. Mahasiswa, khususnya dari jurusan kedokteran hewan, rutin magang di sini, seperti dari Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Selama 20 hari kerja, mereka benar-benar diturunkan ke lapangan: bersentuhan langsung dengan satwa, membantu keeper, memahami rutinitas perawatan, hingga ikut mengamati kesehatan hewan bersama dokter.

Selain magang, penelitian akademik juga dilakukan. Dosen dan mahasiswa Universitas Riau (UNRI), misalnya, pernah meneliti perilaku beruang madu dalam dua kondisi berbeda: siang dan malam. Hasilnya tidak hanya memperkaya pengetahuan, tetapi juga menjadi masukan praktis bagi pengelola untuk memperbaiki desain kandang dan rutinitas harian satwa.

Lebih membanggakan lagi, pada tahun 2024 Siantar Zoo menerima peserta magang dari luar negeri. Sebuah tanda bahwa kebun binatang ini mulai diperhitungkan, bukan hanya di level lokal, tetapi juga internasional.

Kapibara

Berlokasi di jantung Kota Pematangsiantar, dengan luas hanya sekitar 4,5 hektare, Siantar Zoo terus berusaha menjadi rumah yang layak bagi ratusan satwa. Namun, pertanyaan penting pun muncul: apakah lahan yang terbatas ini cukup untuk menjamin kenyamanan dan kesejahteraan hewan?

Keterbatasan ruang memang menjadi tantangan besar. Tak semua kandang bisa diperluas, dan tak semua spesies bisa ditambahkan tanpa perhitungan matang.

 

konservasi beruang madu

Beruang madu salah-satu hewan langka yang dikonservasi di Siantar Zoo (Foto: PARBOABOA/Novriani)

Salah satu kasus nyata adalah kelebihan populasi merak. Burung yang terkenal akan ekor indahnya ini berkembang biak dengan cepat. Alih-alih dikurung lebih ketat, manajemen memilih pendekatan berbeda: melepas sebagian merak ke area terbuka dalam taman, tetap di bawah pengawasan.

“Ini bukan sekadar pelepasan. Kami pastikan burung-burung itu tetap aman, tidak agresif, dan justru menambah daya tarik bagi pengunjung. Selama tidak mengganggu satwa lain dan tidak membahayakan pengunjung, kami anggap ini sebagai bentuk rekreasi alami dalam lingkungan terkendali,” jelas Dwi.

Selain mengelola populasi, penambahan satwa baru juga direncanakan. Dalam waktu dekat, kapibara—hewan pengerat terbesar di dunia—akan menjadi penghuni baru Siantar Zoo. Sebelum kedatangannya, manajemen sudah mengadakan koordinasi lintas divisi: menentukan lokasi kandang, mengevaluasi karakteristik satwa, dan menyiapkan teknis pengelolaan.

Proses ini ditangani tim gabungan: koordinator lapangan memastikan jalur akses memadai, dokter hewan menganalisis aspek kesehatan dan habitat, administrasi satwa mencatat data populasi, sementara koordinator satwa menjaga keseimbangan antarspesies dan ruang.

Semua bergerak dengan satu visi: Siantar Zoo bukan hanya memelihara satwa, tetapi juga menjaga kepercayaan publik bahwa hewan-hewan itu aman, sehat, dan sejahtera di sana. (Bersambung)

Penulis: Novriani Tambunan [Liputan ini Tugas Akhir di Sekolah Jurnalisme Parboaboa (SJP) Pematangsiantar, Batch 2. SJP merupakan buah kerja sama Parboaboa.com dengan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia.]

Editor: P. Hasudungan Sirait

Editor: Hasudungan Sirait
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS