Pam Swakarsa Kembali Jadi Polemik: Surat Instruksi Ormas Tuai Sorotan Publik

Ilustrasi Suasana 1998 (Foto: IG/@kilasbalik)

PARBOABOA, Jakarta - Beredarnya surat instruksi yang mengajak organisasi kemasyarakatan (ormas) untuk melaksanakan pengamanan masyarakat swakarsa (Pam Swakarsa) memicu kontroversi publik.

Meski TNI menegaskan sifatnya hanya sebatas imbauan, bayang-bayang sejarah kelam 1998 kembali membayang, memunculkan kritik dari berbagai pihak, termasuk politisi hingga aktivis HAM.

Isu Pam Swakarsa kembali mencuat ke ruang publik setelah beredarnya sebuah surat edaran bernomor INST-201/PP/GM FKPPI/A.4/IX/2025, tertanggal 1 September 2025.

Surat itu ditujukan kepada pengurus pusat Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI-Polri (GM FKPPI), serta diteruskan hingga ke tingkat cabang, daerah, dan rayon di seluruh Indonesia.

Dalam dokumen yang ditandatangani Ketua Umum PP GM FKPPI, Dwi Rianta Soerbakti, disebutkan adanya instruksi untuk melaksanakan Pam Swakarsa bersama TNI.

Hal ini dipandang sebagai bentuk pengabdian nyata organisasi yang memang merupakan binaan resmi TNI dan Polri.

Dalam surat tersebut, para pengurus daerah diminta berkoordinasi dengan jajaran TNI di wilayah masing-masing.

Instruksi lainnya adalah menggerakkan kader GM FKPPI dengan semangat militansi dan disiplin, sembari menyusun laporan detail mengenai jumlah personel, bentuk kegiatan, hingga dokumentasi pelaksanaan.

Narasi yang tercantum di dalamnya bahkan menegaskan, langkah ini merupakan wujud tanggung jawab anak biologis TNI-Polri yang mewarisi loyalitas dan militansi.

Kabar mengenai instruksi ini cepat menyebar di media sosial dan menimbulkan beragam respon.

Publik sontak teringat kembali pada pengalaman sejarah Pam Swakarsa yang pernah dikerahkan untuk menghadapi gejolak politik tahun 1998.

Beberapa warganet bahkan menyindir kebijakan tersebut sebagai upaya menghidupkan kembali bayang-bayang Orde Baru.

“Here we go again after 27 years. The revival of Pamswakarsa,” tulis salah seorang pengguna media sosial.

Klarifikasi TNI

Merespons keresahan publik, TNI melalui Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen TNI (Mar) Freddy Ardianzah, memberikan klarifikasi. Freddy membenarkan adanya edaran tersebut, namun menegaskan sifatnya bukan instruksi kaku, melainkan imbauan atau ajakan agar ormas turut berperan menjaga keamanan lingkungan.

“TNI melalui Aster Panglima TNI mengajak organisasi kemasyarakatan, termasuk GM FKPPI, untuk ambil bagian dalam pengamanan swakarsa,” ujarnya pada Rabu (3/9/2025).

Freddy menambahkan, kehadiran GM FKPPI dalam kegiatan pengamanan swakarsa bukanlah untuk menggantikan peran aparat resmi.

Menurutnya, langkah ini dimaksudkan sebagai bentuk kolaborasi antara masyarakat dengan aparat demi menjaga kondusivitas wilayah.

Ia mencontohkan peran yang bisa dilakukan ormas, seperti mengimbau masyarakat, mendukung ketertiban, melaksanakan ronda, hingga memperkuat solidaritas sosial.

Freddy menekankan semua bentuk keterlibatan tetap berada dalam koridor hukum serta koordinasi bersama TNI, Polri, dan aparat setempat.

Meski begitu, polemik mengenai Pam Swakarsa bukanlah hal baru. Sejumlah pihak langsung mengingatkan bahwa mekanisme serupa pernah diterapkan ketika menghadapi pandemi COVID-19.

Kala itu, Polri sempat memberlakukan Pam Swakarsa, namun kebijakan tersebut menuai kritik dari kalangan masyarakat sipil, termasuk KontraS, yang menilai langkah itu berpotensi mengembalikan praktik represif ala Orde Baru.

Politisi PKS, Mardani Ali Sera, turut melontarkan kritik keras. Menurutnya, rencana menghidupkan kembali Pam Swakarsa berisiko mengorek luka lama bangsa, terutama karena pasukan sipil ini erat kaitannya dengan tragedi pelanggaran HAM berat Semanggi I dan II.

Ia juga mempertanyakan relevansi kebijakan tersebut dalam konteks Indonesia saat ini.

“Tidak ada urgensi untuk membentuk Pam Swakarsa, karena Indonesia tidak sedang dalam situasi konflik,” tegasnya.

Mardani menambahkan, sebelum berbicara soal pengamanan swakarsa, pemerintah dan aparat seharusnya lebih dulu mengembalikan kepercayaan publik dengan menghadirkan kepolisian yang humanis.

Sejarah Pam Swakarsa

Kelompok sipil ini pertama kali dibentuk menjelang Sidang Istimewa MPR 1998 untuk menghalau gelombang demonstrasi mahasiswa.

Saat itu, Panglima ABRI Jenderal Wiranto menyatakan keberadaan Pam Swakarsa diperlukan untuk menjaga stabilitas politik.

Namun, kenyataan di lapangan justru memperlihatkan bentrokan keras antara pasukan sipil ini dengan mahasiswa.

Ribuan anggota Pam Swakarsa ditempatkan di kawasan Senayan, bahkan bermarkas di sejumlah masjid sekitar lokasi sidang.

Kesaksian sejumlah anggota menunjukkan betapa rekrutmen pasukan ini berlangsung serampangan.

Ada yang mengaku hanya dijanjikan uang saku Rp10 ribu per hari, ada pula yang direkrut tanpa tahu siapa yang memerintahkan.

Dalam praktiknya, Pam Swakarsa berulang kali berhadapan dengan mahasiswa, hingga puncaknya terjadi tragedi Semanggi I pada 12 November 1998, yang menewaskan sejumlah mahasiswa.

Meski akhirnya dibubarkan usai Sidang Istimewa MPR 1998, nama Pam Swakarsa terus membayangi sejarah politik Indonesia.

Kontroversinya semakin mengemuka setelah muncul gugatan hukum yang dilayangkan Kivlan Zen terhadap Wiranto terkait dana pembentukan pasukan tersebut.

Bahkan, Kivlan mengklaim harus menutup kekurangan biaya dengan uang pribadinya, dan kemudian menuntut ganti rugi hingga Rp1 triliun.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS