PARBOABOA, Jakarta - Kebijakan pemerintah meningkatkan campuran bioetanol hingga 10 persen pada bahan bakar minyak (BBM) disebut sebagai langkah strategis menuju kemandirian energi dan pengurangan emisi karbon.
Namun, di balik ambisi energi hijau itu, terdapat ancaman besar terhadap keberlanjutan hutan Indonesia akibat potensi ekspansi lahan tebu dan singkong sebagai bahan baku utama bioetanol.
Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) berencana melipatgandakan kadar bioetanol dalam BBM menjadi 10 persen, terutama di SPBU Pertamina.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan, kebijakan ini merupakan bentuk nyata transisi menuju energi bersih sekaligus upaya menekan ketergantungan impor minyak mentah yang selama ini membebani keuangan negara.
Bahlil mengungkapkan, sekitar 60 persen kebutuhan BBM nasional masih dipenuhi melalui impor.
Dari total kebutuhan 40–42 juta ton per tahun, hanya 14–15 juta ton yang dapat diproduksi dalam negeri.
“Dengan pencampuran 10 persen bioetanol, kita bisa menghemat sekitar 4,2 juta ton impor minyak mentah per tahun,” ujarnya dalam acara detikSore on Location: Indonesia Langgas Energi di Anjungan Sarinah, Jakarta.
Langkah ini, kata Bahlil, juga menjadi bagian dari upaya menghadirkan energi yang lebih ramah lingkungan untuk generasi muda yang semakin sadar terhadap isu keberlanjutan.
Kebijakan bahan bakar dengan kadar etanol 10 persen atau E10 bukan hal baru di tingkat global.
Beberapa negara seperti Amerika Serikat bahkan telah lebih dahulu menerapkan standar ini. Di kawasan Asia Tenggara, Thailand sudah melangkah lebih jauh dengan penggunaan E20 untuk pasokan BBM nasional.
Namun, di Indonesia, implementasi E10 memunculkan dinamika di sektor hilir. Sejumlah operator SPBU swasta seperti BP-AKR dan Vivo enggan menyalurkan BBM bercampur etanol, dengan alasan kualitas bahan bakar dan preferensi konsumen.
Menanggapi hal tersebut, Bahlil menegaskan bahwa kebijakan ini tidak akan surut, sebab praktik serupa telah terbukti aman dan efektif di banyak negara lain.
Keberlanjutan Bioetanol
Pertanyaan penting kemudian muncul: seberapa “hijau” sebenarnya bioetanol? Penelitian yang dilakukan oleh Nur Ayu Fatimah dan tim dari Institut Pertanian Bogor (IPB) pada 2025 memberikan gambaran menarik.
Dalam studi berjudul Life Cycle Assessment and Emission Mass Balance of Cassava-Based Bioethanol, mereka membandingkan emisi kendaraan berbahan bakar bensin dan bioetanol dari singkong.
Hasilnya menunjukkan bahwa pembakaran bioetanol menghasilkan emisi CO₂ yang lebih rendah, yakni 910,08 g/jam dibandingkan bensin yang mencapai 1.392,64 g/jam.
Selain itu, bioetanol tidak menghasilkan emisi sulfur (SO₂), menjadikannya lebih ramah terhadap atmosfer.
Namun, di sisi lain, konsumsi bahan bakar bioetanol sedikit lebih tinggi, yakni 0,678 liter per jam dibandingkan bensin 0,667 liter.
Peneliti menilai bahwa dari perspektif emisi kendaraan, bioetanol memang lebih bersih. Tetapi mereka mengingatkan bahwa keberlanjutan energi ini tidak bisa hanya diukur dari hasil pembakaran, melainkan juga dari bagaimana bahan bakarnya diproduksi.
Bayang-Bayang Deforestasi
Kritik tajam datang dari kalangan pegiat lingkungan. Juru Kampanye Forest Watch Indonesia, Anggi Putra Prayoga, mengingatkan bahwa produksi bioetanol dalam skala besar berpotensi menimbulkan deforestasi masif akibat kebutuhan lahan untuk menanam tebu dan singkong.
Menurut Anggi, lonjakan permintaan bahan bakar nabati sejalan dengan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN), yang menargetkan biomassa, biogas, dan biofuel menjadi pilar bauran energi nasional hingga 2060.
“Masalahnya, lahan kosong untuk penanaman tebu hampir tidak ada. Artinya, perluasan lahan baru akan menekan kawasan hutan,” ujarnya kepada media. Senin (13/10/2025).
Salah satu kawasan yang menjadi sorotan adalah Merauke, Papua Selatan, yang sejak era Presiden Joko Widodo telah direncanakan sebagai pusat produksi tebu nasional.
Proyek swasembada gula dan bioetanol di wilayah ini mencakup pembukaan lahan seluas 633.763 hektare, dengan potensi ekspansi besar di masa pemerintahan berikutnya.
Presiden Jokowi sempat menegaskan bahwa wilayah Merauke memiliki kondisi ideal untuk pertanian skala besar.
“Lahan datar, air melimpah, dan cocok untuk padi, jagung, serta tebu. Ini peluang besar menjadikan Merauke lumbung pangan dan energi nasional,” ujarnya pada Juli 2024.
Namun, rencana tersebut kini semakin ambisius di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang menargetkan pembukaan lahan mencapai 3 juta hektare dalam 5–7 tahun ke depan, dengan 1 juta hektare di antaranya khusus untuk kebun tebu.
Dari satu sisi, kebijakan bioetanol E10 mencerminkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan mewujudkan energi berkelanjutan.
Namun di sisi lain, langkah ini berpotensi menciptakan paradoks ekologis baru: energi hijau yang dibangun di atas penggundulan hutan.
Jika perluasan lahan untuk bahan baku bioetanol tidak diatur dengan ketat dan berbasis prinsip keberlanjutan, maka dampak lingkungan yang ditimbulkan bisa lebih besar daripada manfaat energi bersih yang dihasilkan.