Tambang Nikel di Raja Ampat: Antara Legalitas Kontrak Lama vs Ancaman Ekologis

Panorama wisata Raja Ampat yang kini tercemar karena proyek pertambangan nikel. (Foto: dok. Pesona Indonesia)

PARBOABOA, Jakarta - Pulau Gag, bagian dari Kabupaten Raja Ampat di Papua Barat Daya, menjadi sorotan tajam setelah aktivitas pertambangan nikel kembali menggema di kawasan yang termasuk dalam zona hutan lindung. 

PT GAG Nikel, anak perusahaan PT Aneka Tambang (Antam), menjadi salah satu dari 13 perusahaan yang diperbolehkan melanjutkan kegiatan tambangnya berdasarkan kontrak karya lama yang telah disahkan sejak era Orde Baru.

Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq menjelaskan bahwa pengecualian terhadap larangan eksploitasi hutan lindung bagi perusahaan-perusahaan tersebut bersumber dari Kontrak Karya Generasi VII.

Kontrak tersebut diketahui sudah mendapat tanda tangan dari Presiden Soeharto sejak 19 Januari 1998. Ketentuan ini diperkuat oleh UU Nomor 19 Tahun 2004 yang mengesahkan Perppu Nomor 1 Tahun 2004 tentang Kehutanan.

“PT GN (GAG Nikel) ini merupakan salah satu dari 13 perusahaan yang diperbolehkan untuk melanjutkan kontrak karya pertambangan di kawasan hutan lindung sampai izin mereka berakhir,” ujar Hanif dalam media briefing di Jakarta, Minggu (08/6/2025).

Saat ini, PT GAG Nikel mengantongi izin usaha pertambangan (IUP) seluas 6.030 hektare dengan bukaan tambang sebesar 187,87 hektare. 

Menteri Hanif menegaskan perusahaan tersebut telah melengkapi seluruh perizinan yang dibutuhkan, mulai dari IUP, persetujuan lingkungan, hingga izin pinjam pakai kawasan hutan. 

Ia menyebut aktivitas perusahaan ini relatif memenuhi kaidah lingkungan.

“Memang kelihatannya pelaksanaan kegiatan tambang nikel di PT GN ini relatif memenuhi kaidah-kaidah tata lingkungan. Artinya, bahwa tingkat pencemaran (di Raja Ampat) yang nampak itu hampir tidak terlalu serius,” ucapnya.

Namun, meski perizinan legal dan kondisi tambang terlihat tertib, posisi tambang di pulau kecil tetap memunculkan kekhawatiran. 

Dua putusan hukum penting, yakni Putusan Mahkamah Agung Nomor 57P/HUM/2022 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-XXI/2023, mempertegas larangan pertambangan di pulau-pulau kecil tanpa syarat.

“Putusan MA itu menganggap pelaksanaan pelarangan kegiatan penambangan di pulau kecil ini dilakukan tanpa syarat. Jadi, tidak boleh dilakukan kegiatan penambangan di pulau-pulau kecil,” tegas Hanif.

Sementara itu, penyegelan tambang nikel oleh Kementerian Lingkungan Hidup terhadap sejumlah perusahaan lain di Raja Ampat membuka fakta-fakta pelanggaran yang mengancam ekosistem kawasan pesisir dan pulau kecil. 

Dari lima perusahaan yang memiliki IUP, empat di antaranya yakni PT GAG Nikel, PT Anugerah Surya Pratama (ASP), PT Kawei Sejahtera Mining (KSM), dan PT Mulia Raymond Perkasa (MRP) telah menjalankan aktivitas di lapangan.

Pelanggaran paling mencolok ditemukan pada PT ASP yang menambang di Pulau Manuran seluas 1.173 hektare, dengan area bukaan tambang mencapai 109,23 hektare. 

“Agak serius ini kondisi lingkungannya untuk Pulau Manuran (akibat) kegiatan penambangan nikel yang dilakukan,” kata Hanif. 

Ia juga mengungkap bahwa dokumen AMDAL perusahaan ini masih dipertanyakan, sementara terjadi insiden jebolnya settling pond yang mencemari pantai.

Tak hanya PT ASP, PT KSM yang menambang di Pulau Kawe juga ditemukan membuka lahan tambahan seluas lima hektare di luar izin penggunaan kawasan hutan. 

Sementara PT MRP yang beroperasi di Pulau Manyaifun dan Pulau Batang Pele melakukan eksplorasi tanpa dokumen pinjam pakai kawasan hutan dan tanpa persetujuan lingkungan.

“Sebagai yurisprudensi hukumnya bahwa ini berada di pulau-pulau kecil dengan segala potensinya, kita perlu tinjau kembali persetujuan lingkungannya,” jelas Hanif.

Menanggapi kondisi tersebut, pemerintah melakukan penyegelan sementara di beberapa lokasi serta melakukan uji laboratorium, analisis ahli, dan kajian atas potensi kerugian ekologis yang ditimbulkan. 

Jenis sanksi hukum yang akan dikenakan masih dikaji, mencakup kemungkinan administratif, perdata, atau pidana.

Meski PT GAG Nikel dianggap lebih tertib dari sisi legalitas dan teknis lingkungan, Hanif menegaskan bahwa tidak tertutup kemungkinan dilakukan evaluasi ulang terhadap izin-izinnya. 

Hal ini dibuat mengingat lokasi operasinya tetap berada di pulau kecil yang dilindungi hukum.

Ia menyatakan bahwa koordinasi dengan Kementerian ESDM, Kementerian Kehutanan, serta Kementerian Kelautan dan Perikanan akan dilakukan untuk menentukan langkah hukum dan kebijakan selanjutnya. 

“Jadi, tidak kemudian kita langsung ambil langkah,” tutupnya.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS