Aksi Kamisan ke-876: Mengenang 21 Tahun Kematian Munir

Aksi Kamisan ke-876 Digelar, Mengenang 21 Tahun Munir: “Indonesia Darurat Kekerasan dan Ketidakadilan”.(Foto: Dok. Kompas)

PARBOABOA Jakarta - Di depan Istana Merdeka, Jakarta, Kamis (4/9/2025), ribuan orang kembali berkumpul dalam Aksi Kamisan ke-876.

Aksi ini digelar untuk mengenang 21 tahun kematian aktivis HAM Munir Said Thalib, sekaligus menegaskan bahwa luka lama akibat pelanggaran HAM di Indonesia masih terus menganga tanpa kepastian keadilan.

Aksi Kamisan yang rutin digelar setiap hari Kamis sejak 2007 itu kali ini membawa tema besar: “Mengenang 21 Tahun Pembunuhan Munir: Indonesia Darurat Kekerasan dan Ketidakadilan.”

Sejak pukul 15.00 WIB, massa mulai memadati kawasan Monas, tepatnya di Jalan Medan Merdeka Barat.

Mereka datang dengan mengenakan pakaian serba hitam, simbol duka sekaligus perlawanan terhadap impunitas yang masih membayangi kasus-kasus pelanggaran HAM di Tanah Air.

Suasana semakin pekat dengan kehadiran spanduk dan selebaran yang mereka bawa. Di antara yang paling mencolok, terbentang spanduk bertuliskan “Reset Indonesia” dan “Indonesia Darurat Kekerasan” di pembatas jalan berwarna oranye.

Selain itu, flyer yang dibagikan memuat seruan keras seperti “Tuntutan Rakyat 17+8” dan “Keadilan Untuk Munir.”

Semua pesan itu menegaskan bahwa Aksi Kamisan bukan sekadar ritual mingguan, melainkan suara rakyat yang menolak dilupakan.

Hingga pukul 16.20 WIB, massa terus berdatangan meski cuaca Jakarta begitu terik. Payung hitam, simbol khas Aksi Kamisan, kembali terlihat mengembang di antara kerumunan.

Payung itu bukan hanya pelindung dari panas, tetapi juga lambang perlawanan diam yang telah diwariskan selama hampir dua dekade.

Aksi kali ini juga diwarnai orasi dari berbagai elemen. Perwakilan keluarga korban, aktivis, hingga mahasiswa bergantian menyampaikan suara mereka.

Salah seorang orator dengan lantang menyebut, “Sudah 21 tahun sejak Munir dibunuh, tetapi negara masih gagal memberikan keadilan. Kita tidak hanya mengenang, kita menuntut pertanggungjawaban!”

Seruan itu mengingatkan kembali pada kasus Munir yang dibunuh dengan racun arsenik dalam penerbangan Garuda Indonesia rute Jakarta–Amsterdam pada 7 September 2004.

Meski beberapa orang sempat diproses hukum, dalang utama pembunuhan hingga kini tak pernah terungkap.

Tak hanya orasi, sejumlah peserta juga membacakan puisi. Kata-kata yang menggugah itu menyayat kesadaran bahwa pelanggaran HAM di Indonesia masih jauh dari kata selesai.

Munir, yang dikenal sebagai pembela gigih korban penculikan aktivis 1998 dan pelanggaran HAM di Aceh, Papua, hingga Timor Timur, menjadi simbol keberanian melawan kejahatan negara.

Kematian tragisnya hingga kini menjadi noda hitam dalam sejarah bangsa.

Aksi berlangsung tertib dan damai. Aparat kepolisian menjaga ketat kawasan sekitar Monas, namun tidak terjadi pembubaran paksa ataupun gesekan.

Kehadiran aparat kali ini lebih sebagai pengawal, sementara para peserta aksi tetap memegang teguh tradisi Kamisan: diam, damai, tapi lantang dalam makna.

Aksi Kamisan ke-876 bukan sekadar memperingati 21 tahun kepergian Munir, melainkan juga penanda bahwa perjuangan mencari keadilan untuk semua korban pelanggaran HAM di Indonesia masih jauh dari selesai.

Setiap Kamis, payung-payung hitam itu kembali terbuka, menjadi pengingat bagi bangsa ini bahwa tanpa keadilan, luka sejarah tak akan pernah benar-benar sembuh.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS