PARBOABOA Jakarta – Belum lama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menetapkan Sekjen Mahkamah Konstitusi Prof Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi menggantikan hakim sekaligus Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Aswanto (29/09/2022) lalu.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto mengatakan alasan mengganti Aswanto sebagai Hakim Konstitusi karena kinerjanya dianggap mengecewakan karena dinilai kerap membatalkan undang-undang produk parlemen.
Pembangkangan
Baru-baru ini DPR mengesahkan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi terbaru sebagai inisiator terbitnya UU No.7 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU No.24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam undang-undang ini berisikan tentang aturan yang menghapus periodesasi masa jabatan hakim konstitusi dan mengubahnya menjadi ketentuan pemberhentian dengan hormat hakim konstitusi dari jabatan pada usia 70 tahun.
Sebagaimana Pasal 87 huruf b UU 7/2020 yang menyebutkan: Hakim konstitusi yang sedang menjabat pada saat Undang-Undang ini diundangkan dianggap memenuhi syarat menurut Undang-Undang ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 (tujuh puluh) tahun selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.
Prinsip Independensi
Pada setiap negara pasti memiliki konstitusi konsep rule of law secara tersirat maupun tersurat. Dan di dalam konsep rule of law terdapat dua aspek penting dari konsep rule of law. Pertama, hukum harus dapat mengatur masyarakat dan masyarakat taat pada hukum. Kedua, hukum harus memiliki kapasitas untuk dapat dipatuhi (good laws).
Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Dalam pasal ini jelas menggambarkan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan tentu menjunjung tinggi hukum sebagaimana konsep rule of law.
Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu lembaga peradilan Indonesia tentu tidak lepas akan amanah yang diberikan oleh konstitusi tersebut. Hakim harus benar-benar objektif dalam memeriksa dan memutuskan.
Dikarenakan hakim merasa sebagai pekerja yang ditunjuk oleh parlemen kemudian putusan yang dihasilkan harus sesuai dengan kehendak parlemen sebagai yang menunjuk. Hal yang demikian justru tidak menggambarkan independensi dari hakim sebagai representatif lembaga peradilan. Hal tersebut pula melanggar konstitusi.
Sementara itu hubungan antara DPR dan hakim konstitusi dianalogikan layaknya perusahaan yang mempekerjakan seseorang untuk kepentingan perusahaan adalah sebuah analogi yang sesat. Terlebih dikatakan bahwa DPR sebagai owner merasa kecewa dengan hakim konstitusi yang dalam kinerjanya justru kerap membatalkan undang-undang sebagai suatu produk yang dibuat oleh DPR.
Oleh karena itu, tindakan pergantian hakim konstitusi yang dilakukan DPR terhadap Hakim konstitusi Aswanto tidak sesuai dengan hukum yang berlaku. Bahkan dapat dikatakan bahwa DPR telah membangkang dari sebuah aturan yang notabene di buat oleh DPR itu sendiri.