Gugat Pensiun DPR: Beban Pajak Membengkak, Kinerja Tak Sejalan

Suasan Rapat di Gedung DPR RI (Foto: Dok. ANTARA)

PARBOABOA, Jakarta - Tekanan publik terhadap kesejahteraan anggota DPR RI kembali memuncak.

Setelah protes soal tunjangan rumah beberapa waktu lalu, kini giliran uang pensiun seumur hidup bagi wakil rakyat menjadi sorotan.

Gugatan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK) membuka kembali perdebatan lama tentang keadilan, kinerja, dan tanggung jawab sosial pejabat negara di tengah jurang kesejahteraan yang makin lebar.

Dua warga negara, Psikolog Lita Linggayani dan Advokat Syamsul Jahidin, resmi menggugat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 tentang Hak Keuangan dan Administrasi Pimpinan serta Anggota Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara ke Mahkamah Konstitusi.

Gugatan yang terdaftar pada 30 September itu menyoal pasal-pasal yang menjadi dasar pemberian uang pensiun kepada anggota DPR RI.

Dalam perkara bernomor 176/PUU-XXIII/2025 tersebut, keduanya menilai pemberian hak pensiun bagi anggota dewan bertentangan dengan prinsip keadilan sebagaimana dijamin Pasal 28D Ayat 1 UUD 1945.

Bagi mereka, tunjangan pensiun yang diterima pejabat legislatif hanya dengan masa kerja lima tahun, sangat timpang dibandingkan dengan para pekerja negeri maupun swasta yang harus bekerja puluhan tahun untuk mendapatkan hak serupa.

Lita yang juga akademisi dan pembayar pajak menegaskan ketidakrelaannya uang rakyat digunakan untuk membayar pensiun seumur hidup bagi pejabat publik yang bahkan bisa diwariskan.

Sementara Syamsul menyoroti ketimpangan mencolok antara kesejahteraan anggota DPR dan para guru honorer yang hidup dalam keterbatasan.

“Kehidupan sosial masyarakat belum membaik, tapi anggota DPR sejahtera,” ujarnya dalam gugatan.

Pajak Rakyat untuk Pensiun DPR

Dari hasil perhitungan para pemohon, beban fiskal akibat pembayaran pensiun bagi mantan anggota DPR sejak 1980 hingga kini mencapai sekitar Rp226 miliar.

Berdasarkan data, setidaknya ada 5.175 anggota DPR dari sembilan periode yang menikmati manfaat pensiun tersebut.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 bersama PP Nomor 75 Tahun 2000 mengatur besaran pensiun mulai dari 6 hingga 75 persen dari gaji pokok.

Dengan begitu, seorang anggota DPR yang menjabat dua periode bisa menerima hingga Rp3,6 juta per bulan, sedangkan yang hanya menjabat enam bulan tetap mendapat sekitar Rp400 ribu.

Selain itu, ada pula jaminan hari tua sebesar Rp15 juta tanpa syarat ketat.

Kedua pemohon menilai hal ini sebagai bentuk ketidakadilan nyata. Di satu sisi, anggota DPR kerap absen sidang, tertangkap kamera bermain ponsel, atau tidur di ruang rapat.

Namun, di sisi lain, mereka tetap menerima fasilitas mewah dan jaminan hidup setelah masa jabatan berakhir. “Kerugian nyata timbul karena pajak kami digunakan untuk manfaat yang tidak tepat sasaran,” tegas keduanya.

Respon Ketua DPR

Menanggapi gugatan tersebut, Ketua DPR RI Puan Maharani pada Kamis (2/10) menegaskan bahwa seluruh fasilitas dan tunjangan yang diterima DPR telah diatur dalam regulasi resmi.

Menurutnya, setiap perubahan harus melalui mekanisme hukum yang berlaku.

“Kami menghargai aspirasi masyarakat, tetapi semuanya ada aturannya. Kita harus melihat ketentuan hukum yang menyeluruh, tidak bisa hanya menyoroti satu lembaga,” ujar Puan.

Pernyataan itu menjadi sinyal bahwa perubahan sistem pensiun DPR tidak akan mudah, mengingat aturan tersebut sudah melekat puluhan tahun dalam sistem birokrasi negara.

Merujuk PP Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok anggota DPR sebenarnya tak terlalu besar: Ketua DPR menerima Rp5,04 juta per bulan, wakil ketua Rp4,62 juta, dan anggota Rp4,2 juta.

Namun jumlah itu membengkak drastis ketika ditambah berbagai tunjangan: mulai dari tunjangan istri dan anak, tunjangan jabatan, PPh, hingga uang sidang dan tunjangan komunikasi intensif.

Selain itu, mereka juga mendapat biaya perjalanan, tunjangan beras per jiwa, bantuan listrik dan telepon hingga Rp16 juta, serta fasilitas rumah jabatan yang perawatannya dibiayai negara.

Meski tunjangan perumahan sempat dibatalkan karena protes publik, jika seluruh fasilitas tersebut dijumlahkan, total pendapatan anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp100 juta per bulan.

Kenyataan ini semakin menajamkan perdebatan publik: bagaimana mungkin pejabat yang telah mendapat berbagai fasilitas besar masih berhak menikmati pensiun seumur hidup?

Revisi dan Kritik Kinerja DPR

Peneliti Formappi, Lucius Karus, menilai peluang MK mengabulkan gugatan ini justru terbuka, karena UU Nomor 12 Tahun 1980 sudah terlalu lama tidak diperbarui.

Menurutnya, struktur kesejahteraan anggota DPR sudah berubah drastis sejak era Orde Baru, sementara regulasinya masih bermental lama.

Lucius menilai paradoks tunjangan pensiun semakin nyata ketika melihat kinerja legislatif yang rendah. Hingga 2025, DPR baru menyelesaikan empat dari 52 RUU Prioritas.

Ia menyebut kondisi ini ironis: produktivitas rendah, tetapi penghargaan finansial tinggi.

“Dana pensiun semestinya diberikan bagi pejabat yang benar-benar mengabdi, bukan bagi yang minim prestasi,” tegasnya.

Lebih jauh, ia menyoroti ketiadaan batas usia bagi anggota DPR. Menurutnya, jika jabatan wakil rakyat bisa diemban tanpa batas umur selama terpilih kembali, maka konsep pensiun menjadi tidak relevan.

“Bagaimana mungkin seseorang yang bisa menjabat seumur hidup masih perlu pensiun?” ujarnya sinis.

Senada itu, Peneliti Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Bernard Allvitro, turut mendukung penghapusan dana pensiun DPR.

Ia menilai langkah itu dapat mengurangi beban APBN di tengah upaya efisiensi besar-besaran pemerintah, terutama untuk program strategis seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas Presiden Prabowo Subianto.

“Dana pensiun DPR sebaiknya dialihkan untuk memperkuat perlindungan sosial, pendidikan, dan kesehatan rakyat,” ujarnya.

Bernard menegaskan, kebijakan penghapusan pensiun DPR bukan hanya soal keuangan, tetapi juga soal moral dan keadilan sosial — sebuah pesan bahwa jabatan publik bukan ladang keuntungan, melainkan amanah untuk melayani rakyat.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS