Gugatan Penghapusan Uang Pensiun DPR Menguat, Publik Pertanyakan Keadilan dan Beban APBN

Gedung DPR RI yang terletak di Jl. Jend. Gatot Subroto, Senayan, Jakarta Pusat (Foto: Dok. Parlementaria)

PARBOABOA, Jakarta - Gelombang ketidakpuasan publik terhadap fasilitas dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menyeruak ke permukaan. 

Setelah polemik mengenai tunjangan rumah dinas yang dianggap berlebihan, kini giliran dana pensiun anggota DPR yang menjadi sorotan tajam masyarakat.

Kebijakan yang dinilai tidak adil itu bahkan berujung pada langkah hukum. Dua warga negara, psikolog Lita Linggayani dan advokat Syamsul Jahidin, resmi menggugat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 ke Mahkamah Konstitusi (MK). 

Mereka menilai, aturan tentang hak keuangan dan administrasi pejabat tinggi negara tersebut memberi keistimewaan berlebihan kepada mantan anggota DPR dibandingkan pekerja pada umumnya.

Gugatan yang terdaftar dengan nomor perkara 176/PUU-XXIII/2025 itu menyoal pasal-pasal yang menjadi dasar hukum pemberian uang pensiun bagi anggota DPR. 

Menurut para pemohon, ketentuan itu bertentangan dengan prinsip keadilan dan kesetaraan yang dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945. 

Para wakil rakyat bisa memperoleh pensiun seumur hidup hanya setelah menjabat lima tahun, sedangkan pegawai negeri maupun pekerja swasta harus mengabdi puluhan tahun untuk mendapatkan hak hari tua.

Lita menegaskan keberatannya karena pajak rakyat digunakan untuk membiayai tunjangan pensiun yang tidak proporsional. Ia menilai, kebijakan itu mencederai rasa keadilan sosial. 

Sementara Syamsul menyoroti ketimpangan antara anggota DPR yang hidup makmur dengan guru honorer yang bekerja tanpa jaminan pensiun. Baginya, alokasi APBN untuk dana pensiun DPR hanya memperlebar jurang sosial ekonomi di masyarakat.

Dalam permohonannya, para penggugat memperkirakan total 5.175 anggota DPR dari sembilan periode sejak 1980 telah menikmati uang pensiun. 

Dengan mengacu pada PP Nomor 75 Tahun 2000 serta ketentuan dalam UU 12/1980, mereka memperkirakan total dana pensiun yang telah dibayarkan negara mencapai sekitar Rp226 miliar.

Besaran pensiun sendiri bervariasi, di mana pejabat DPR dua periode dapat menerima sekitar Rp3,6 juta per bulan, satu periode Rp2,9 juta, dan masa jabatan kurang dari enam bulan sekitar Rp400 ribu. 

Selain itu, setiap pensiunan DPR juga memperoleh Jaminan Hari Tua hingga Rp15 juta, tanpa syarat ketat sebagaimana berlaku bagi pekerja lain. Para penggugat menilai hal ini menunjukkan ketidakadilan fiskal yang nyata.

Mereka juga menyoroti kinerja DPR yang kerap dipertanyakan publik, mulai dari rendahnya kehadiran rapat, perilaku bermain gawai hingga tertidur dalam sidang.

Kebiasaan-kebiasaan ini menjadi catatan buruk yang berbanding terbalik dengan fasilitas dan tunjangan besar yang diterima.

Tanggapan DPR

Ketua DPR RI Puan Maharani tak tinggal diam. Ia menyatakan bahwa seluruh fasilitas dan tunjangan yang diterima anggota dewan sudah sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. 

Menurutnya, setiap perubahan terkait hal itu harus melalui mekanisme resmi yang diatur dalam undang-undang. Ia menegaskan, pihaknya "menghargai aspirasi publik, tetapi harus berdasarkan aturan yang ada.”

Mengacu pada PP Nomor 75 Tahun 2000, gaji pokok anggota DPR bervariasi tergantung jabatannya di mana Ketua DPR menerima Rp5,04 juta per bulan, Wakil Ketua Rp4,62 juta, dan anggota Rp4,2 juta. 

Di luar gaji pokok, anggota DPR juga memperoleh beragam tunjangan seperti tunjangan istri, anak, jabatan, pajak, kehormatan, komunikasi intensif, dan tunjangan beras.

Selain itu, tersedia juga biaya perjalanan dinas hingga Rp500 ribu per hari, bantuan listrik dan telepon senilai Rp16,47 juta, serta tunjangan perumahan yang nilainya sempat mencapai puluhan juta rupiah sebelum akhirnya dibatalkan setelah menuai protes publik. 

Jika seluruh fasilitas itu dijumlahkan, pendapatan bulanan seorang anggota DPR bisa mencapai lebih dari Rp100 juta dalam sebulan.

Praktik Pemborosan

Lucius Karus, peneliti dari Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menilai, pemberian tunjangan pensiun ini tidak lagi relevan dan justru menjadi beban bagi keuangan negara.

Menurut Lucius, dari sisi regulasi, aturan mengenai dana pensiun anggota DPR sebenarnya tidak bermasalah karena memiliki dasar hukum yang kuat. 

“Saya kira sih kalau dari soal regulasi, ya dana pensiun ini nggak ada soal. DPR justru memegang aturan ini sebagai senjata,” ujarnya melalui pesan tertulis kepada PARBOABOA, Senin (6/10/2025).

Namun, ia menegaskan bahwa persoalannya bukan pada keberadaan aturan itu, melainkan pada relevansinya di masa kini. 

Alumnus STF Driyarkara itu menyebut, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1980 yang menjadi dasar pemberian uang pensiun bagi anggota DPR sudah tidak sesuai dengan kondisi sosial dan politik saat ini. 

“Yang jadi soal itu justru karena aturan itu dianggap tidak relevan lagi. Penggugat ke MK merasa tak sudi uang pajaknya digunakan untuk membayar uang pensiun anggota DPR,” tambahnya.

Lucius lantas menilai, langkah gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diajukan dua warga negara terhadap beleid tersebut sangat masuk akal. 

“Alasan yang disampaikan oleh penggugat uang pensiun anggota DPR nampak masuk akal. Dan saya kira keluhan seperti itu juga sudah sering digunakan banyak kalangan selama ini,” jelasnya.

Ia menguraikan bahwa tunjangan pensiun bagi anggota DPR yang berhenti secara terhormat secara otomatis menjadi beban bagi anggaran negara. Dengan jumlah anggota baru dan inkumben yang hampir seimbang di setiap periode, potensi pensiunan terus bertambah.

Lebih lanjut, ia menyoroti ketidaksesuaian antara konsep pensiun dan usia para penerima manfaat di DPR yang selama ini terjadi. 

“Masalahnya, pensiunan anggota DPR ini tak selalu dalam rentang usia pensiun umumnya. Mereka bisa jadi berusia sangat muda jika hanya menjabat satu periode sebagai anggota DPR dan usia saat terpilih sangat muda,” kata Lucius.

Ia mencontohkan, seseorang bisa terpilih menjadi anggota DPR pada usia 21 tahun, kemudian gagal di pemilu berikutnya pada usia 26 atau 27 tahun, namun tetap menerima uang pensiun. 

“Karena tidak terpilih lagi, anggota DPR usia muda seperti itu sudah menerima pensiun pada usia yang sangat produktif. Ia bisa saja punya perusahaan saat tidak lagi terpilih. Maka uang pensiun itu justru mengalir ke orang berduit dan sangat produktif."

Kondisi tersebut, menurut Lucius, menjadikan dana pensiun bagi anggota DPR sebagai bentuk pemborosan anggaran negara. 

“Itu kan artinya dana pensiun bagi anggota DPR ini jadi sebuah praktik pemborosan anggaran. Di samping itu penerima dana pensiun juga tak sesuai kriteria pensiun yang merujuk pada usia di mana seseorang tak mampu lagi bekerja produktif,” tuturnya.

Selain dari sisi aturan dan logika, Lucius juga mempertanyakan aspek kepantasan. Menurutnya, tidak layak jika lembaga dengan performa rendah justru mendapat apresiasi berupa pensiun seumur hidup. 

“Publik merasa apresiasi melalui dana pensiun ini tak layak diberikan jika melihat performa DPR selalu buruk setiap periodenya. Bagaimana bisa lembaga yang dalam hal kinerja selalu tidak maksimal justru diapresiasi dengan pensiun seumur hidup?” ucapnya.

Ia menegaskan, akar masalah dari tunjangan pensiun DPR adalah soal keadilan dan moralitas publik. “Ada soal keadilan yang dinilai tak relevan dalam hal tunjangan pensiun anggota DPR ini,” tutup Lucius.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS