PARBOABAOA, Jakarta - Sebanyak 714 calon pegawai negeri sipil (CPNS) di lingkungan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dilaporkan mengundurkan diri.
Dari jumlah tersebut, 653 orang secara resmi menyatakan pengunduran diri, sementara 61 lainnya dinyatakan gugur karena tidak menyerahkan daftar riwayat hidup sesuai tenggat waktu yang ditetapkan.
Mayoritas dari mereka berasal dari formasi dosen Aparatur Sipil Negara (ASN). Tingginya angka pengunduran diri ini menandakan adanya persoalan dalam pengelolaan SDM di sektor pendidikan tinggi.
Fenomena tersebut menjadi peringatan bagi negara untuk segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan dan mekanisme yang ada, agar tidak terus kehilangan talenta-talenta terbaik di masa depan.
Menurut Kementerian PANRB, penyebab utama dari gelombang pengunduran diri ini adalah ketidaksesuaian lokasi penempatan dengan harapan para pelamar.
Penempatan CPNS dosen yang dinilai jauh dari preferensi awal pelamar dianggap sebagai wujud kebijakan rekrutmen yang tidak manusiawi.
Mereka yang telah melewati proses seleksi panjang terpaksa menerima penempatan yang jauh dari domisili atau rencana hidup mereka.
Skema optimalisasi formasi yang seharusnya menjadi solusi justru berbalik menjadi beban birokratik yang merugikan para pelamar.
Menanggapi hal ini, Menteri PANRB Rini Widyantini menyebut pengunduran diri massal kemungkinan besar terkait penempatan kerja. Namun, ia menyatakan masih perlu dilakukan pengecekan lebih lanjut terhadap jumlah pasti peserta yang mundur.
“Karena memang sebagai calon PNS tentunya kita harus siap ditempatkan di mana saja. Ini yang mungkin masih dilakukan pengecekan karena pengisian daftar riwayat hidup masih berlangsung di seluruh instansi pemerintah,” ujar Rini dalam keterangan yang diterima PARBOABOA, Selasa (15/4/2025).
Dokumen resmi terkait hasil seleksi pasca sanggah serta perpanjangan pengisian daftar riwayat hidup memperkuat dugaan bahwa para peserta yang mundur telah dinyatakan lolos CPNS.
Sekretaris Jenderal Kemendiktisaintek, Togar Mangihut Simatupang, membenarkan adanya pengunduran diri ratusan peserta tersebut. Menurutnya, hal ini berkaitan dengan ekspektasi lokasi penugasan.
Meski tidak dikenakan sanksi formal, peserta yang mundur kemungkinan akan diblokir dari seleksi CPNS di masa mendatang.
“Karena sudah merugikan proses yang menutup ribuan calon lain yang sudah siap sedia ditempatkan di mana saja,” kata Togar.
Ketua Aliansi Dosen ASN Kementerian Pendidikan Tinggi dan Sains Teknologi Seluruh Indonesia (Adaksi), Anggun Gunawan, menilai skema optimalisasi yang tidak transparan sebagai pemicu utama pengunduran diri.
Banyak peserta yang awalnya mendaftar di satu PTN, justru ditempatkan di PTN lain yang jaraknya sangat jauh dari tempat tinggal mereka.
“Kedua, informasi gaji dosen ASN yang kecil juga menjadi faktor pemicu. Saya melihat isu kesejahteraan dosen sudah jadi isu nasional banyak para CPNS kemudian aware dengan gaji dosen yang ternyata kecil,” ujarnya awal April.
Adaksi bersama sejumlah organisasi sipil mendorong agar tunjangan kinerja (tukin) diberikan secara adil kepada seluruh dosen.
Melalui Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2025 yang ditandatangani Presiden Prabowo Subianto, tukin mulai dicairkan bagi 31.066 dosen ASN, meski hanya berlaku mulai Januari 2025. Padahal, hak tukin sejak 2020 hingga 2024 tidak dibayarkan.
Tukin tahun ini hanya menjangkau tiga kategori, yakni dosen PTN satuan kerja (satker), dosen PTN BLU yang belum menerima remunerasi, dan dosen lembaga layanan pendidikan tinggi (LL Dikti).
Oleh karena itu, Adaksi terus memperjuangkan agar sistem tukin menjangkau semua dosen ASN tanpa diskriminasi, serta mendorong adanya kenaikan gaji minimal di atas UMK.
Ancaman Brain Drain
Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Semarang, Edi Subkhan, melihat persoalan ini sebagai gejala kegagalan birokrasi dalam membaca kebutuhan tenaga pendidik.
Menurutnya, dosen masih diperlakukan sekadar sebagai objek distribusi kerja, padahal mereka memegang peranan penting dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi bangsa.
“Para dosen PNS sadar ada haknya yang belum dipenuhi oleh pemerintah, bahkan terlihat diabaikan, dianggap tidak penting, yakni tunjangan kinerja,” ujarnya.
Ia menambahkan, dengan gaji 80 persen yang diterima CPNS di awal masa kerja, sulit membayangkan dosen akan bertahan jika ditempatkan di wilayah terpencil dengan minim dukungan.
Edi menilai rekrutmen dosen ASN seharusnya mempertimbangkan kesesuaian keilmuan, kesejahteraan, dan keterlibatan dalam dialog antara pelamar dan institusi.
“Perlu ditelisik apakah ada yang main mata dan jual beli posisi ASN di kampus tertentu yang akhirnya melempar kandidat lain ke kampus luar Jawa,” tambahnya.
Ubaid Matraji, Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), menganggap fenomena ini sebagai sinyal perlunya sistem rekrutmen CPNS dosen yang lebih manusiawi, transparan, dan responsif.
Tanpa perbaikan, Indonesia berisiko mengalami brain drain ke perguruan tinggi swasta maupun luar negeri.
Menurut Ubaid, skema optimalisasi mungkin dimaksudkan untuk pemerataan, namun tanpa transparansi dan ruang dialog, sistem ini akan terus dipandang tidak adil.
Ia menyarankan agar penempatan di daerah terpencil didukung dengan insentif layak, fasilitas penelitian yang memadai, serta skema pertukaran lokasi yang memungkinkan bagi mereka yang memiliki alasan kuat.
“Sudah saatnya kita memiliki cetak biru manajemen dosen yang menghargai martabat profesi akademisi. Penempatan idealnya berbasis kesesuaian keilmuan, dilengkapi dialog antara pelamar dan institusi,” ujarnya.