Fenomena Kotak Kosong dan Krisis Demokrasi Lokal di Pilkada 2024

Ilustrasi pelaksanaan Pilkada 2024. (PARBOABOA/Bina Karos)

PARBOABOA, Jakarta - Pilkada 2024 seharusnya menjadi kesempatan bagi rakyat untuk memilih pemimpin dari banyak calon. 

Tapi kenyataannya, pilihan semakin terbatas. Di 41 daerah, pemilih hanya akan melihat satu nama calon kepala daerah di surat suara.

Fenomena melawan kotak kosong ini bukan tanpa sebab. Inisiasi pembentukan KIM Plus merupakan salah satu pemicunya.

Koalisi yang terdiri dari partai-partai politik besar, dengan basis kekuatan yang kuat di tingkat nasional maupun daerah, telah berhasil memonopoli ruang politik di banyak tempat.

Alhasil, partai kecil dan calon independen semakin tak berdaya. Demokrasi yang seharusnya dirayakan dengan keberagaman pilihan, jadinya justru terasa seperti jalan buntu.

Sebenarnya, pilkada melawan kotak kosong bukan baru terjadi kali ini. 

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat, fenomena itu terjadi sejak tahun 2015, dimana ada 3 daerah dengan calon tunggal.

Angka ini kemudian naik menjadi 3 kali lipat di tahun 2017, yaitu 9 daerah melawan kotak kosong, 16 daerah di tahun 2018 dan 25 daerah di tahun 2020.

Dibandingkan 2020, tahun ini meningkat hampir dua kali lipat, dari 25 menjadi 41 daerah, atau naik lebih dari 70 persen.

"41 daerah tersebut terdiri dari 31 provinsi, 35 kabupaten, dan juga 5 kota," kata Peneliti Perludem, Haykal dalam sebuah diskusi daring, Minggu (8/9/2024).

Anehnya, kata Haykal, meskipun ada putusan MK Nomor (60/PUU -XXII/2024) yang mempermudah pencalonan, tapi tak kunjung mengubah dukungan koalisi.

"Calon tunggal bukannya turun malah meningkat," kata Haykal.

Mahkamah Konstitusi (MK) sebelumnya mengabulkan sebagian permohonan Partai Buruh dan Partai Gelora terkait ambang batas pencalonan kepala daerah. 

MK memutuskan ambang batas pencalonan dari partai politik tidak lagi 25 persen suara atau 20 persen kursi DPRD, tetapi disamakan dengan syarat jalur independen sesuai Pasal 41 dan 42 UU Pilkada.

Putusan ini tidak mengubah peta kontestasi untuk membendung kotak kosong, kecuali di beberapa daerah termasuk di DKI Jakarta.

Saat ini, 41 daerah dipastikan mengikuti pilkada lawan kotak kosong. Beberapa daerah itu antara lain, Provinsi Papua Barat, Kabupaten Aceh Utara dan Kabupaten Aceh Taming.

Kemudian di Provinsi Sumut ada Kabupaten Tapanuli Tengah, Asahan, Pakpak Bharat, Serdang Berdagai, Labuhanbatu Utara dan Nias Utara.

Di Provinsi Sumatra Selatan: Kabupaten Ogan Gilir dan Empat Lawang, Dharmasyara di Sumatra Barat dan Batanghari di Provinsi Jambi.

Kemudian Kabupaten Bengkulu Utra, Lampung Barat, Lampung Timur dan Tulang Bawang Barat. Di Kepulauan Bangka Belitung ada Kabupaten Bangka, Bangka Selatan dan Kota Pangkal Pinang.

Kabupaten Bintan di Kepulauan Riau, Ciamis di Jawa Barat, Banyumas, Sukoharjo dan Brebes di Jawa Tengah dan Trenggalek, Ngawi, Gresik, Kota Pasuruan dan Kota Surabaya di Jawa Timur.

Kabupaten Bengkayang di Kalimantan Barat, Tanah Bumbu dan Balangan di Kalimantan Selatan, Kota Samarinda di Kalimantan Timur, dan Malinau serta Kota Tarakan di Kalimantan Utara.

Lalu ada Kabupaten Maros di Sulawesi Selatan, Muna Barat di Sulawesi Tenggara, Pasangkayu di Sulawesi Barat, serta Manokwari dan Kaiman di Papua Barat.

Lemahnya Kaderisasi Parpol

Fenomena kotak kosong dalam pilkada dinilai sebagai bentuk kegagalan partai politik dalam mengkaderisasi kader-kadernya.

Pengamat politik dari Universitas Brawijaya, Wawan Sobari menjelaskan, ketika kaderisasi melemah, banyak kader kehilangan ruang untuk memperkenalkan diri kepada masyarakat.

Jika kondisi ini berlanjut, regenerasi tokoh politik bisa melambat. Padahal melalui kaderisasi yang baik, kata dia, mesin parti bisa membuat kadernya bisa disukai banyak masyarakat.

Itu penting, tegas Wawan, "karena pilkada kita ini memilih figur, bukan partai."

Pakar Hukum Tata Negara, Feri Amsari, juga melihat fenomena yang sama. 

Menurutnya, partai politik belum siap dan tidak matang dalam menyiapkan kader-kadernya untuk tampil di hadapan publik. 

Kata dia, ini menunjukkan bahwa partai lebih dikuasai oleh kepentingan segelintir orang dengan dana besar yang mengendalikan proses pemilihan, daripada berfokus pada menciptakan tokoh-tokoh yang dapat mewakili rakyat. 

Dengan lemahnya proses kaderisasi ini, calon yang muncul sering kali bukan hasil dari kaderisasi yang sehat, melainkan hasil dari permainan uang.

"Ini bukan upaya partai untuk memunculkan tokoh tetapi upaya partai dikendalikan oleh orang yang memiliki dana untuk menentukan siapa yang menang," tegasnya.

Ia menambahkan, kotak kosong dalam pilkada bisa juga dilihat sebagai upaya tidak sehat dari parpol untuk mengendalikan proses demokrasi di tingkat lokal.

Seyogianya, demokrasi yang sehat menyediakan pilihan bagi masyarakat, namun dengan calon tunggal, kompetisi dalam pemilihan menjadi hilang.

"Hampr tidak ada lagi kompetisi sebagai dasar demokrasi berpemilu, Katanya.

Ia melanjutkan, kondisi ini sangat merugikan masyarakat. Sebab dengan adanya kotak kosong, warga tidak memiliki banyak pilihan dalam memilih calon pemimpin yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan mereka. 

Feri berkata, kalau hal ini terus dibiarkan, akan mengurangi makna dari pemilukada sebagai proses demokrasi yang bebas dan terbuka.

Pilihan Ideologis-Politis

Dalam keterangan lain, Direktur Eksekutif Trias Politika Strategis, Agung Baskoro berpandangan, kotak kosong pada pilkada perlu diapresiasi.

Menurutnya, kotak kosong bukan sekadar mengakomodasi pilihan yang selama ini terjadi dalam bentuk suara tidak sah, tetapi juga merupakan pilihan ideologis-politis dari seorang warga negara yang punya hak untuk memilih.

"Sehingga cara negara menghadirkan kotak kosong ini patut diapresiasi," tegasnya.

Sementara itu, Pakar Kepemiluan, Titi Aggriani menyampaikan opsi kotak kosong justru bisa meningkatkan partisipasi pemilih.

Ini malah menjadi menarik, kata dia, karena memberikan ruang bagi ekspresi politik yang berbeda, terutama mereka aspirasinya tidak terwakili oleh pasangan calon yang ada dalam surat suara.

Titi merujuk pada contoh penerapan opsi "NOTA" (None of the Above/tidak memilih semuanya) di Kolombia setelah tahun 1991. Setelah opsi tersebut dihadirkan, tingkat partisipasi pemilih di negara itu meningkat.

"Itu bisa menaikkan hak pilih, karena orang merasa penting ke tempat pemungutan suara untuk memperlihatkan ekspresi politiknya," ujar Titi.

Sebbagai informasi, UU Pilkada hanya mengakomodasi keberadaan kotak kosong apabila dalam satu daerah hanya ada satu pasangan calon atau calon tunggal. 

Sempat sejumlah advokat mengajukan uji materi agar aturan itu diberlakukan untuk semua pilkada (tidak hanya daerah dengan calon tunggal), tetapi ditolak oleh MK.

Sementara itu, hasil kesimpulan sementara Rapat Dengar Pendapat (RDP) KPU RI bersama Komisi II DPR RI, Rabu, (11/9/2024) menyepakati, jika kotak kosong menang di suatu wilayah, akan diselenggarakan pilkada ulang tahun 2025.

Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Doli Kurnia menyampaikan hal ini berpedoman pada Pasal 54D Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Nantinya, kata dia, KPU RI hingga Bawaslu akan menindaklanjuti hal itu sesuai dengan PKPU Nomor 10 Tahun 2024. Adapun ketetapan pelaksanaan Pilkada ulang, tambahnya, akan dibahas kembali oleh pemerintah dan DPR pada 27 September mendatang.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS