Fluktuasi Harga Cabai Berdampak Pada Banyak Sektor

Seorang Petani Cabai, Sumardi Damanik, asal Kecamatan Silimakuta (Foto: PARBOABOA/Jeff Gultom)

PARBOABOA, Simalungun – Perubahan harga tanaman pangan memberikan dampak signifikan bagi pelaku usaha kuliner di Simalungun serta ibu rumah tangga.

Harga cabai, misalnya, berdasarkan data dari Badan Pangan Nasional, menunjukkan tren kenaikan di berbagai provinsi di Indonesia.

Di Kalimantan Selatan, harga terendah mencapai Rp 29.970 per kg, sementara di beberapa daerah seperti NTT, Maluku, dan Papua mengalami peningkatan, dengan Papua sebagai provinsi dengan harga tertinggi mencapai Rp 150.000 per kg.

Sedangkan, di Provinsi Sumatera Utara, harga rata-rata cabai menurut data Badan Pangan Nasional adalah Rp 31.140 per kg, sementara di Kabupaten Simalungun harganya sekitar Rp 30.000 per kg.

Namun, petani di Kecamatan Purba dan Silimakuta menjual cabai merah keriting dengan harga Rp 18.000 hingga Rp 20.000 per kg, jauh di bawah harga pasar.

Sumardi Damanik (52), petani cabai di Desa Purba Tongah, Kecamatan Purba, mengaku saat ini dia fokus pada penanaman cabai.

Sumardi mengungkapkan bahwa harga jual cabai yang tidak sebanding dengan biaya pupuk dan insektisida menjadi kendala utama.

"Harga cabai per kilo Rp 20.000 jika dijual langsung ke pasar, tapi ke tengkulak hanya Rp 18.000. Jadi, lebih untung menjual langsung ke pasar," ujarnya kepada Parboaboa, Kamis (02/08/2024).

Selain itu, musim kemarau panjang menjadi tantangan besar lainnya yang sedang dihadapi petani.

Musim kemarau yang panjang, jelasnya, dapat mengakibatkan pucuk tanaman mati karena kekurangan air.

Kemarau panjang, jelasnya, bisa menyebabkan pucuk tanaman mati karena kekurangan air, dan pemulihannya memakan waktu berbulan-bulan.

Karena itu, dia pun memutuskan untuk melakukan pemetikan dua kali dalam seminggu untuk mencegah buah cabe keriput dan layu.

Sebaliknya, di musim penghujan, panen cukup dilakukan sekali seminggu.

"Kalau di musim kemarau, satu kali dalam seminggu pemetikan itu tanaman cabai sudah keriput dan layu, jadi tidak laku di pasar," ujar Sumardi.

Akibat panen dua kali dalam seminggu selama musim kemarau, ungkapnya, ukuran dan berat cabai tidak maksimal dibandingkan dengan panen di musim hujan.

Musim kemarau panjang juga menimbulkan tantangan serius lainnya seperti permasalahan hama tungau dan menurunnya kualitas tanah.

Ia menjelaskan, penyiraman di musim kemarau dengan sistem irigasi permukaan bisa menyebabkan tanah menggumpal dan keras.

Sehingga, Sumardi memilih untuk menunggu hujan dan membiarkan rumput tumbuh di antara tanaman cabai untuk menjaga kelembaban tanah.

“Pernah mencoba metode seperti itu, tapi tidak berhasil. Tanaman lebih baik menunggu hujan,” katanya.

Sementara itu, Marlina Sihombing (45), seorang ibu rumah tangga dan petani dari Saribudolok, merasakan dampak penurunan harga cabai yang ia tanam.

Harga cabai yang turun drastis membuat daya beli menurun.

“Kami terpaksa lebih selektif dalam berbelanja dan sering kali harus menunda beberapa kebutuhan penting," ungkap Marlina kepada Parboaboa, Kamis (02/08/2024).

Penurunan harga ini, berpengaruh pada pendapatan juga berimbas pada kemampuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari di pasar.

"Kami sangat berharap harga cabai dan tanaman pangan lainnya bisa stabil agar kami tidak terus-menerus berjuang untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari. Stabilitas harga akan sangat membantu meringankan beban ekonomi kami," tambahnya.

Di sisi lain, Rifki (28), pemilik rumah makan di Saribudolok, turut merasakan dampak langsung dari ketidakstabilan harga tanaman pangan terhadap bisnisnya.

Saat harga tanaman pangan naik, kata Rifki, biaya yang dikeluarkan lebih besar untuk membeli bahan masakan. Akibatnya, ia harus rela kehilangan margin keuntungan.

"Saat harga bahan pokok naik, kita harus mengeluarkan uang lebih banyak untuk mendapatkan bahan masakan yang sama, ini jelas merugikan," ujarnya kepada Parboaboa, Kamis (02/08/2024).

Namun, saat harga tanaman pangan menurun, jumlah pengunjung di rumah makan ikut merosot.

Ini karena para petani, yang menjadi mayoritas pengunjung, juga merasakan dampak dari turunnya harga hasil panen mereka.

Berhadapan dengan situasi ini, Rifki memilih untuk mempertahankan harga jual menu di rumah makannya tetap sama.

Rifki menegaskan, lebih memilih harga pangan yang stabil, “karena kepastian harga tersebut membantu kita merencanakan pengeluaran dan pemasukan dengan lebih baik," tambahnya.

Menurut Rifki, stabilitas harga memungkinkannya untuk mengelola stok bahan masakan dan menetapkan harga menu dengan lebih konsisten.

Hal ini, jelasnya, dapat membantu mempertahankan loyalitas pelanggan dan kestabilan bisnis.

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS