PARBOABOA, Jakarta - Minimnya upah guru, khususnya yang berstatus honorer sudah menjadi problem jamak dan serius di tanah air.
Padahal guru secara umum berperan penting dalam membentuk karakter dan mencerahkan masa depan generasi muda.
Bahkan situasi ini, seringkali menciptakan kesenjangan kesejahteraan yang cukup besar dibandingkan dengan guru pegawai negeri sipil (PNS).
Gaji guru honorer yang rendah ini tidak hanya berdampak pada kehidupan mereka secara personal, tetapi juga berpotensi mempengaruhi kualitas pendidikan.
Tentu saja, kondisi ini menuntut perhatian dan upaya konkret dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun masyarakat, untuk memperbaiki nasib para guru honorer.
Secuil cerita tentang rendahnya gaji guru sempat viral di media sosial belum lama ini.
Melalui sebuah video, terlihat sejumlah ibu guru honorer dari pelosok Timur (NTT), tanpa ragu dan malu men-spill jumlah gaji yang mereka terima setiap bulannya.
Yani, seorang guru dalam video itu, mengungkapkan bahwa ia hanya menerima gaji sebesar Rp 250.000 per bulan. Hal yang sama juga diakui oleh rekan-rekannya.
Kondisi ini ternyata tidak saja menimpa para guru di NTT, tetapi merata diseluruh Indonesia.
Hal ini terkonfirmasi dari hasil survei yang dilakukan oleh Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) dan Dompet Dhuafa.
Survei kesejahteraan guru di Indonesia ini dilaksanakan dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, pada pekan pertama bulan Mei 2024 lalu.
Survei yang dilaksanakan secara daring ini, melibatkan 403 responden (guru) di 25 provinsi yang terdiri dari 291 responden dari Pulau Jawa dan 112 dari luar Jawa.
Adapun rincian responden meliputi 123 guru PNS, 118 guru tetap yayasan, 117 guru honorer atau kontrak, dan 45 guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
Berdasarkan survei tersebut, diketahui terdapat 74,3% guru honorer atau kontrak memiliki penghasilan di bawah Rp2 juta per bulan.
Dari jumlah tersebut, ada 20,5% guru masih menerima gaji di bawah Rp500 ribu per bulan.
Selain itu, terdapat 26,4% guru honorer yang mendapatkan upah sebesar Rp500 ribu hingga Rp1 juta per bulan.
Sementara sebanyak 10,2% guru menerima gaji antara Rp1 juta hingga Rp1,5 juta per bulan.
Sisa 17% lainnya mendapatkan penghasilan sebesar Rp1,5 juta hingga Rp2 juta per bulan.
Survei dari IDEAS juga menunjukkan bahwa 12,8% responden menerima gaji antara Rp2 juta hingga Rp3 juta per bulan.
Ada juga 7,6% guru yang dibayar antara Rp3 juta hingga Rp4 juta per bulan.
Lalu sebanyak 4,2% guru honorer memperoleh upah sebesar Rp4 juta hingga Rp5 juta per bulan.
Artinya, hanya 0,8% guru yang menerima gaji lebih dari Rp5 juta per bulan.
Peneliti dari IDEAS, Muhammad Anwar menyatakan, sebagian besar responden atau 74,3% mendapatkan upah yang sama atau bahkan lebih rendah dari Upah Minimum Kabupaten-Kota (UMK) terkecil di Indonesia, yaitu di Kabupaten Banjarnegara sebesar Rp2,03 juta.
Hal ini menurut dia menunjukkan, bahkan di daerah dengan biaya hidup terendah sekalipun, guru, terutama guru honorer, masih harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Bertahan dan Berhutang
Temuan lain kata Anwar, menunjukkan bahwa dengan jumlah tanggungan rata-rata tiga orang anggota keluarga, 89% guru merasa penghasilan dari mengajar tidak mencukupi atau bahkan kurang untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Hanya ada 11% yang merasa penghasilannya cukup dan masih ada sisanya.
Atas alasan ini, kemudian banyak guru terpaksa mencari pekerjaan sampingan selain mengajar untuk menutupi kebutuhan hidup.
Meskipun demikian, masih banyak diantara mereka juga masih merasa pendapatannya belum memadai.
Berdasarkan survei, 55,8% guru memiliki pekerjaan tambahan di luar profesi mereka.
Walau begitu, penghasilan dari pekerjaan sampingan ini juga tidak signifikan, mayoritas hanya memperoleh kurang dari Rp 500 ribu perbulannya.
Adapun jenis pekerjaan sampingan yang dilakukan oleh para guru meliputi mengajar privat atau bimbingan belajar (39,1%), berdagang (29,3%), bertani (12,8%).
Ada juga yang bekerja sebagai buruh (4,4%), menjadi konten kreator (4%), dan driver ojek online (3,1%).
Bahkan, karena pendapatan yang belum mencukupi, sebagian besar guru akhirnya berhutang.
Saat ini, tercatat ada 79,8% guru yang memiliki utang.
Anwar merinci, guru yang berhutang kepada bank/BPR mencapai 52,6%, kepada keluarga atau kerabat 19,3%, koperasi simpan pinjam 13,7%, teman atau tetangga 8,7%, dan pinjaman online 5,2%.
Bahkan, 56,5% responden mengakui pernah menjual atau menggadaikan barang berharga seperti perhiasan, kendaraan, BPKB, emas kawin, sertifikat rumah/tanah, atau SK PNS mereka.
Meskipun kondisi keuangan mereka memprihatinkan, 93,5% guru tetap ingin mengabdi sebagai pendidik.
Sementara, CEO GREAT Edunesia Dompet Dhuafa, Asep Hendriana, menekankan bahwa pemerintah pusat dan daerah harus terus memperhatikan kesejahteraan guru.
Asep juga menilai pentingnya kehadiran lembaga pendamping untuk membantu pelatihan dan pengembangan profesional guru.
Sebab menurut Asep, berdasarkan data yang dikantongi lembaganya, rendahnya tingkat kesejahteraan tidak pernah mengurangi semangat guru untuk mengajar hingga usia lanjut.
“Karena bagi mereka mengajar adalah sebuah panggilan hidup," tutur Asep.
Aturan Gaji
Saat ini, belum ada regulasi yang secara spesifik mengatur besaran gaji guru honorer yang berlaku secara nasional di Indonesia.
Kondisi ini berbeda dengan gaji guru PNS yang memiliki keseragaman di seluruh negeri, gaji guru honorer cenderung bervariasi di setiap daerah atau sekolah.
Meskipun demikian, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 83/PMK.02/2022 telah menetapkan rentang honorarium untuk berbagai jenis jasa atau pekerjaan, termasuk guru non-PNS.
Kategori honorarium pengajar dibagi menjadi dua jenis: pengajar honorer yang berasal dari luar satuan kerja penyelenggara dan pengajar honorer yang berasal dari dalam satuan kerja penyelenggara.
Besaran gaji pengajar honorer yang berasal dari luar satuan kerja penyelenggara ditetapkan sebesar Rp300.000.
Sementara itu, pengajar honorer yang berasal dari dalam satuan kerja penyelenggara mendapatkan Rp200.000.
Selain itu, Peraturan Menteri Keuangan tersebut juga mengatur kisaran honorarium untuk guru yang memiliki tugas tambahan, dengan rincian sebagai berikut,
- Pembuat bahan ujian: Rp150.000 – Rp190.000 per pelajaran.
- Pengawas ujian: Rp240.000 – Rp270.000
- Pemeriksa hasil ujian: Rp5.000 – Rp7.500 per siswa
Penetapan gaji guru juga diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat atau daerah (guru PNS) diberikan gaji sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sementara itu, guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat (guru di sekolah swasta) memperoleh gaji berdasarkan perjanjian atau kesepakatan kerja bersama.
Oleh karena itu, perbedaan gaji antara guru honorer di sekolah negeri dan swasta, terutama yang bekerja di sekolah swasta, seringkali cukup signifikan.
Menurut undang-undang tersebut, pemerintah pusat dan/atau daerah juga seharusnya memberikan subsidi tunjangan fungsional kepada guru swasta sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Sedangkan berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, gaji yang diterima oleh guru swasta tidak boleh lebih rendah dari upah minimum yang ditetapkan di daerah masing-masing.
Dengan kata lain, gaji mereka harus mengikuti ketentuan dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Namun demikian, Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) Satriwan Salim berpendapat bahwa penerapan aturan ini tidak selalu dapat dipastikan sepenuhnya.
Hal ini disebabkan oleh perbedaan hubungan antara guru dan yayasan dibandingkan dengan hubungan antara buruh dan perusahaan.
Selain itu, yayasan pendidikan sering kali menggunakan Undang-undang Guru dan Dosen dalam hubungannya dengan para guru, yang mana mereka lebih mengandalkan kesepakatan antara guru honorer dan pihak yayasan untuk menetapkan honorarium.