PARBOABOA, Jakarta - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mengingatkan masyarakat untuk waspada terhadap penyebaran paham radikal yang kini merambah ruang digital, termasuk melalui game online.
Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi BNPT, Mayor Jenderal TNI Sudaryanto, mengungkapkan bahwa kelompok berpaham radikal mulai menyasar anak-anak muda dengan strategi yang sistematis.
Menurutnya, permainan daring seperti Roblox kerap menjadi pintu masuk awal. Melalui interaksi di dalam permainan, anak-anak bisa diajak berkomunikasi dengan orang asing yang kemudian menggiring mereka ke grup tertentu di platform seperti WhatsApp atau Telegram.
Di dalam grup-grup tersebut, mulai disebarkan ajaran intoleransi dan ideologi radikal yang mengancam nilai kebangsaan.
Sudaryanto menegaskan pentingnya pengawasan orang tua, terutama ibu, terhadap aktivitas anak di dunia digital. Banyak orang tua yang tidak menyadari bahwa perlahan anaknya bisa terpapar paham berbahaya melalui permainan yang tampak tidak berbahaya.
“Pengawasan keluarga menjadi kunci. Dari rumahlah nilai kebangsaan dan moderasi beragama pertama kali ditanamkan,” ujarnya dalam siaran pers Dialog Kebangsaan Bersama Ormas dan Tokoh Perempuan di Asrama Haji Padang, Sumatera Barat (8/10/2025).
Ia menjelaskan, meskipun Indonesia belum mengalami serangan terorisme besar dalam beberapa tahun terakhir, ancaman penyebaran paham radikal tetap nyata dan tidak bisa diabaikan.
Karena itu, peran keluarga, terutama kaum ibu, menjadi sangat penting sebagai benteng pertama dalam mencegah penyebaran ideologi kekerasan.
Sudaryanto juga menekankan bahwa perempuan memiliki posisi strategis dalam menjaga ketahanan keluarga. Dari tangan mereka, nilai toleransi, rasa hormat terhadap perbedaan, serta semangat cinta damai dapat diwariskan kepada anak-anak.
Ia mengapresiasi kehadiran para tokoh perempuan dan aktivis masyarakat dalam kegiatan tersebut, karena diyakininya mereka mampu menjadi agen perubahan di lingkungannya.
“Kami percaya para ibu adalah jembatan yang dapat menyalurkan pesan-pesan damai dan toleransi. Mari bersama menjaga Sumatera Barat tetap damai, toleran, dan sejahtera,” ungkap Sudaryanto.
Ia juga menambahkan bahwa BNPT tidak bisa bekerja sendiri dalam menghadapi tantangan ini. Diperlukan kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, dan tokoh agama agar narasi perdamaian dapat terus diperkuat.
Dialog Kebangsaan di Padang itu sendiri merupakan hasil kerja sama antara BNPT dan Komisi XIII DPR RI, yang dihadiri sekitar 200 peserta dari berbagai organisasi perempuan.
Kegiatan ini menghadirkan empat narasumber, yaitu Direktur Pencegahan BNPT Prof. Irfan Idris, Ketua PW Aisyiyah Sumbar Syur’aini M.Pd., dosen UIN Imam Bonjol Ka’bati, dan mantan narapidana terorisme Devi Rusli.
Dalam kesempatan yang sama, anggota Komisi XIII DPR RI, Shadiq Pasadigoe, mengajak seluruh lapisan masyarakat, khususnya kaum perempuan, untuk memperkuat peran keluarga dalam mencegah penyebaran paham intoleran dan radikal.
Ia menilai kegiatan seperti Dialog Kebangsaan ini sangat relevan di tengah maraknya penyebaran ideologi kekerasan melalui media sosial dan ruang digital.
Shadiq menyampaikan bahwa BNPT mencatat capaian penting pada 2023 dengan nihilnya serangan teror di Indonesia (zero attack terrorism).
Namun, ia mengingatkan masyarakat agar tidak terlena karena pola ancaman kini semakin halus dan menyusup melalui dunia maya.
“Ancaman sekarang tidak lagi muncul di jalanan, tapi di layar gawai anak-anak kita,” katanya.
Ia juga menilai Dialog Kebangsaan perlu terus digelar di berbagai daerah agar nilai-nilai Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan semangat toleransi semakin mengakar kuat, khususnya di kalangan generasi muda.
Menurutnya, pendekatan humanis dan edukatif yang dijalankan BNPT jauh lebih efektif dibanding langkah-langkah represif.
“Memberdayakan keluarga dan mengedukasi masyarakat akan memberi dampak yang lebih mendalam dibanding sekadar tindakan pemaksaan. Saya berharap kegiatan seperti ini tidak berhenti di Padang, tapi menjadi gerakan nasional yang berkelanjutan,” ujarnya.
Melalui kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan lembaga pendidikan, BNPT bersama DPR berharap lahir generasi muda yang melek digital, berpikiran terbuka, dan berjiwa toleran.
Sudaryanto menutup dialog dengan pesan bahwa menjaga moderasi beragama bukan sekadar tugas lembaga, tetapi panggilan moral setiap keluarga Indonesia.
Roblox Jadi Pintu Masuk
Sebelumnya, BNPT juga mengungkap bahwa kelompok simpatisan teroris mulai memanfaatkan ruang permainan daring untuk menyebarkan ideologi ekstrem, dengan anak-anak dan remaja sebagai target utama.
Kepala BNPT, Komjen Pol Eddy Hartono, dalam keterangan pada Selasa (30/9/2025) lalu, menjelaskan bahwa pola ini telah teridentifikasi di berbagai daerah di Indonesia.
Menurutnya, sedikitnya 13 anak diketahui berinteraksi melalui gim daring Roblox yang kemudian menjadi pintu masuk bagi jaringan radikal.
Interaksi yang awalnya hanya berupa permainan, perlahan bergeser ke platform komunikasi tertutup seperti Telegram dan WhatsApp, tempat proses indoktrinasi berlangsung intens dan sulit dipantau.
Eddy menyebut pola semacam ini sebagai bentuk rekrutmen generasi baru. Anak-anak tidak lagi hanya terpapar lewat media sosial, tetapi juga melalui permainan daring yang mereka mainkan setiap hari.
Ia menilai, situasi ini menuntut kewaspadaan tinggi dari semua pihak karena dunia digital kini telah menjadi ruang perekrutan ideologi ekstrem.
Lebih lanjut, Eddy menuturkan fenomena serupa juga terjadi di negara lain. Ia mencontohkan kasus di Singapura pada tahun 2024, ketika seorang remaja berusia 16 tahun ditangkap karena menciptakan simulasi zona militer Afghanistan di Roblox.
Gim tersebut sempat menarik banyak pengikut sebelum diubah menjadi grup tertutup untuk penyebaran ideologi radikal.
Di Amerika Serikat dan Jerman, permainan daring juga digunakan untuk menyebarkan narasi kebencian dan ideologi supremasi, bahkan yang mengandung unsur propaganda Nazi.
BNPT menilai, pola ini sejalan dengan peringatan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahwa ancaman terorisme global kini semakin dinamis dan adaptif.
Meskipun pengaruh jaringan besar seperti Al-Qaeda dan ISIS di Asia Tenggara menurun, faktor lokal seperti ketimpangan sosial, konflik politik, dan ketidakadilan masih menjadi bahan bakar yang memicu radikalisasi.
Eddy juga mengingatkan bahwa penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam pembuatan konten propaganda memperburuk situasi.
Menurutnya, konten buatan AI sering kali tampak autentik dan sulit dibedakan dari sumber asli. Jika dikonsumsi berulang-ulang, informasi semacam itu dapat menanamkan keyakinan yang keliru, terutama bagi pengguna muda yang belum memiliki kemampuan berpikir kritis yang matang.
Untuk itu, BNPT mendorong kerja sama lintas kementerian dan lembaga guna memperkuat literasi digital, memperketat pengawasan dunia maya, serta memberikan perlindungan khusus bagi anak-anak dan remaja.
Eddy menegaskan pentingnya peran orang tua dalam mengawasi aktivitas daring anak-anaknya agar tidak terjerumus dalam paparan ideologi kebencian yang disamarkan lewat permainan.
Serupa, Brigjen Pol Arif Makhfudiharto, Direktur Identifikasi dan Sosialisasi (Idensos) Densus 88 Antiteror Polri, mendukung langkah BNPT tersebut.
Ia menilai bahwa kolaborasi antarinstansi merupakan kunci untuk memperkuat upaya pencegahan dan mitigasi terhadap radikalisasi digital yang kini semakin kompleks.
Arif menjelaskan bahwa ancaman radikalisasi di dunia maya tidak lagi bersifat lokal, melainkan telah menjadi persoalan global. Ia menyebut adanya pergeseran besar dalam pola perekrutan dan penyebaran ideologi.
Bila dulu proses rekrutmen dilakukan secara langsung melalui pertemuan, baiat, pelatihan, hingga aksi, kini seluruh tahapan tersebut bisa dilakukan secara daring—bahkan baiat dan latihan persiapan pun telah berpindah ke ruang digital.
Kondisi ini menjadi semakin berbahaya karena menyasar kelompok rentan. Arif menekankan bahwa anak-anak yang sedang menghadapi persoalan pribadi atau merasa terasing lebih mudah direkrut oleh jaringan radikal melalui dunia maya.
Menurutnya, radikalisasi digital kini bukan lagi ancaman masa depan, melainkan realitas yang sedang dihadapi bersama dan menuntut penanganan menyeluruh dari berbagai pihak.