PARBOABOA, Jakarta - Model pendidikan di Indonesia terus mengalami perkembangan dengan adanya integrasi sastra ke dalam kurikulum.
Upaya ini dinilai sebagai jawaban pemerintah akan pentingnya model pendidikan yang tidak hanya berkutat pada pengembangan intelektual, tetapi juga emosional.
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) diinformasikan akan memasukkan sastra ke dalam Kurikulum Merdeka mulai tahun ajaran baru mendatang.
Kebijakan ini berlaku untuk jenjang Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), dan Sekolah Menengah Atas (SMA).
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, Anindito Aditomo, mengungkapkan bahwa sastra akan dimasukkan dalam pembelajaran sekolah sebagai bagian dari kegiatan kokurikuler.
"Ini akan menjadi bagian dari jam pelajaran kokurikuler, bukan ekstrakurikuler. Banyak mata pelajaran, terutama bahasa Indonesia yang dapat mengimplementasikannya," ujar Anindito saat Media Briefing di Jakarta, Senin (20/05/2024).
Menurutnya, integrasi sastra ke dalam kurikulum pendidikan memiliki kesesuaian dengan adanya Project Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5) yang tengah diterapkan di sekolah-sekolah.
Kemendikbudristek sendiri telah menyiapkan 177 judul buku sastra yang mencakup novel, cerita pendek, puisi, dan non-fiksi untuk mendukung pembelajaran di sekolah.
Buku-buku ini terdiri dari 43 judul untuk jenjang SD, 29 judul untuk jenjang SMP, dan 105 judul untuk jenjang SMA. Semua buku telah melalui proses kurasi selama satu tahun.
Anindito menekankan bahwa 177 buku karya sastra ini hanya dijadikan sebagai panduan bagi guru.
Buku tersebut tidak wajib digunakan sepenuhnya. Para guru bisa mencari karya sastra yang relevan dengan mata pelajaran yang diajarkan.
Ia mencontohkan bagaimana guru sejarah bisa menggunakan karya sastra untuk membuat materi pelajaran lebih menarik dan memantik rasa ingin tahu siswa mengenai isu tertentu.
“Sebagai contoh, untuk periode perang kemerdekaan Indonesia, siswa dapat mengeksplorasi melalui karya sastra, sehingga mereka dapat lebih menikmati dan memahami seperti apa era kolonial. Pendekatan ini lebih menarik dibandingkan dengan hanya menghafal nama-nama tokoh,” jelasnya.
Lebih lanjut, sastrawan Eka Kurniawan selaku kurator pemilihan karya sastra, menambahkan bahwa proses kurasi buku-buku sastra untuk jenjang SD hingga SMA telah dilakukan selama satu tahun terakhir.
"Dengan bantuan para guru, kita dapat mengumpulkan daftar buku berdasarkan tahun, genre, dan tema yang sesuai untuk setiap jenjang pendidikan," kata Eka.
Upaya mengintegrasi sastra ke dalam Kurikulum Merdeka diharapkan dapat memperkaya pembelajaran para siswa.
Selain itu, hal tersebut juga diharapkan mampu mengembangkan minat baca serta pemahaman mereka terhadap berbagai aspek kehidupan melalui karya sastra.
Mengapa Sastra Penting?
Dosen Estetika di Institut Filsafat dan Teknologi Kreatif (IFTK) Ledalero, Felix Baghi dalam sebuah kesempatan seminar mengungkapkan pentingnya sastra bagi seorang individu.
Bagi dia, sastra bukan sekadar hobi, melainkan sarana untuk mengungkap dunia baru yang melatih kepekaan dan nalar kritis individu guna menghadapi berbagai persoalan.
"Teks-teks sastra yang kita baca memiliki kekayaan tersendiri. Seseorang yang rajin membaca sastra akan memiliki sensitivitas yang tinggi," tuturnya.
Dalam sejarah perkembangan dunia, demikian Felix melanjutkan, sastra turut memberikan warna tersendiri bagi kemajuan pengetahuan.
Ia mencontohkan naskah-naskah kuno yang ditulis para filsuf seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles sebagai bentuk epos dengan gaya kesusastraan terbaik.
"Dengan model penulisan yang demikian, karya mereka menjadi terkenal. Banyak orang yang kemudian membacanya," lanjutnya.
Sependapat dengan Felix, penyair Can Setu menyebut bahwa sastra adalah daya dorong yang memampukan individu untuk peka terhadap konteks di luar dirinya.
"Sastra mendorong kita untuk bertindak dan tidak hanya diam di tempat. Ia melatih imajinasi kita untuk berpikir melampaui batas-batas kehidupan," ujar Can kepada PARBOABOA, Selasa (21/05/2024).
Dirinya mengakui, intensitas membaca buku-buku sastra memperkaya imajinasi dan nalar kritis, serta melatih kepekaannya dalam menanggapi realitas.
"Selain itu, perbendaharaan kata akan bertambah banyak. Kita tidak akan sulit ketika menulis dan berbicara dihadapan publik," lanjutnya.
Ia juga mengapresiasi upaya pemerintah dalam mengintegrasikan sastra ke dalam kurikulum pendidikan, sambil berharap agar upaya tersebut berjalan sesuai rencana.
"Ini bagus. Dan semoga pemerintah (Kemendikbudristek) serius untuk mewujudkan rencana ini dengan terus menjalankan fungsi pengawasan," tutup Can.
Editor: Defri Ngo