PARBOABOA, Simalungun – Di antara riuh suara anak-anak sekolah dasar (SD) yang sedang bermain, berdiri sebuah bangunan sederhana dengan cat biru yang menarik perhatian.
"Gudang Bank Sampah Simpatik," tulis keterangan di pintu depan gudang.
Bangunan itu terletak di Nagori Sait Buttu Saribu, Kecamatan Pematang Sidamanik dan diapit oleh dua SD.
Tak banyak yang tahu, di balik bangunan biru tersebut, sekelompok wanita petani kopi tengah berjuang melawan ancaman lingkungan yang semakin nyata, yaitu sampah plastik.
Mereka menamakan diri sebagai kelompok SIMPATIK (Solusi Integral Masalah Polusi Sampah Plastik) yang lahir dari kegelisahan para petani kopi di Pematang Sidamanik.
Pada 20 November 2019 lalu, tujuh petani kopi memberanikan diri dengan mendirikan SIMPATIK sebagai upaya kolektif mengatasi masalah yang mengancam mata pencaharian dan lingkungan mereka.
Di dalam bangunan tersebut, Tivi Riana, seorang wanita paruh baya dengan kaos hitam dan kerudung hijau tua, tampak sibuk memilah tumpukan plastik dan karton bekas.
Ia adalah pendiri sekaligus salah satu pengurus SIMPATIK. Dalam keseharian, ia bahkan bertugas sebagai sopir pengangkut sampah plastik.
“Ini semua berawal dari musim pembibitan bang. Saat itu, banyak sampah plastik berserakan di kebun," pungkasnya kepada PARBOABOA, Sabtu (03/08/2024) lalu.
Tivi lantas mengisahkan proses pengelolaan sampah yang membutuhkan waktu ratusan tahun. Juga, bagaimana pengaruhnya pada kesuburan kopi di daerah.
"Kita sama-sama tahu kalau sampah plastik membutuhkan waktu hingga 100 tahun untuk terurai, dan selama proses itu, kesuburan tanah bisa rusak. Kami tidak ingin kopi sumber penghidupan utama kami terkontaminasi sampah plastik,” tambahnya.
Perjuangan SIMPATIK tidak dilakukan sendirian. Starbucks, sebagai pendukung pertama mereka, membantu dengan menyediakan tong sampah organik dan anorganik. Dengan ini, mereka mulai memilah sampah di rumah-rumah warga.
Sampah organik diolah menjadi pupuk, sementara sampah anorganik diubah menjadi kerajinan tangan, sehingga memberikan nilai tambah pada setiap potongan plastik yang seharusnya menjadi limbah.
“Hubungan kami dengan Starbucks dimulai karena para petani menyuplai kopi kepada mereka. Starbucks juga peduli dengan kelestarian lingkungan dan tidak ingin kopi mereka terkontaminasi oleh pembakaran sampah plastik. Kami bahkan difasilitasi dalam proses pembibitan,” jelas Tivi.
Selain itu, Starbucks juga memberikan bantuan berupa buku tabungan untuk nasabah bank sampah, serta pelatihan dan studi banding ke Serbelawan untuk belajar mengolah sampah plastik menjadi kerajinan tangan.
Kembangkan Konsep Tabungan Bank
Bank sampah SIMPATIK memiliki konsep unik, di mana masyarakat yang disebut "nasabah" menyetor sampah plastik yang telah dipilah.
Sampah tersebut kemudian diolah atau dijual, dan hasilnya ditabung oleh nasabah.
“Konsepnya seperti tabungan. Masyarakat bisa menyimpan hasil penjualan sampah dan mengambilnya saat dibutuhkan. Ini memberikan insentif bagi mereka untuk terus mengumpulkan sampah plastik,” ungkapnya.
Hingga kini, SIMPATIK memiliki 205 nasabah wanita dengan kisaran usia antara 25 hingga 60 tahun. Mayoritas dari mereka adalah petani kopi dan jagung yang berusia 40 hingga 45 tahun.
Tak hanya bertugas mengumpul dan menyetor sampah plastik, para nasabah dan pengurus SIMPATIK juga giat dalam membuat kerajinan tangan dari bahan-bahan bekas yang dikumpulkan.
"Semua nasabah yang ada saat ini wanita, bang. Mereka direkrut melalui kegiatan perwiritan," tambah Tivi dengan semangat.
Meskipun diisi wanita, Tivi tidak membatasi keanggotaan nasabah bank sampah SIMPATIK hanya pada satu gender saja.
“Kami terbuka kok kalau ada bapak-bapak yang ingin bergabung, tapi mungkin merasa sungkan karena mayoritas anggotanya adalah wanita” ujarnya.
Sistem operasional SIMPATIK dijalankan dengan semangat gotong royong. Setiap Senin dan Kamis, mereka mengumpulkan sampah dari masyarakat sekitar dan mengantarkannya ke lokasi pengolahan.
Namun, perjalanan SIMPATIK bukan tanpa tantangan. Mereka pernah diminta pindah oleh pihak desa ketika masih menumpang di KUD dan belum ada Gudang Sampah Simpatik seperti saat ini.
"Itu adalah saat yang sangat sulit bagi kami bang," ujar Tivi, mengenang masa-masa penuh ketidakpastian.
"Waktu itu ya bang, kami punya banyak sampah yang siap diolah atau dijual, tetapi kami kesulitan karena tidak ada tempat untuk menyimpannya. Untungnya, pada akhir tahun 2023, pihak desa akhirnya memberikan lahan untuk membangun bank sampah,” tambahnya.
Proses pembangunan Gudang Bank Sampah juga memiliki kisah unik. Tivi menceritakan bahwa semua nasabah wanita turut membantu dalam pembangunan tersebut.
“Seperti memukul dan meratakan batu ini, semuanya kami lakukan bang. Belum lagi untuk mengambil bahan kayu di hutan itu, kami gotong royong bang,” ucapnya dengan semangat.
Namun dirinya tidak memungkiri ada campur tangan dan peran dari luar untuk membangun Gudang Bank Sampah Simpatik yang berdiri kokoh hingga saat ini.
“Ya kami tetap membutuhkan jasa tukang bang karena mereka yang mempunyai keahlian di bidangnya," pungkas Tivi.
Tantangan lain datang dari mesin pencacah plastik yang sering mengalami masalah teknis.
"Mesin ini sering bermasalah bang. Kami sudah melaporkannya ke pihak USI, dan mereka sudah datang sekali untuk memperbaiki dan memberikan pengarahan."
Namun demikian, lanjut Tivi, pihaknya tidak ingin bergantung terlalu lama dengan pihak USI. Mereka dituntut untuk mandiri dalam menyelesaikan setiap persoalan.
Ibarat Pelangi Sehabis Hujan
Tantangan yang dihadapi SIMPATIK ternyata membuka banyak dukungan lain. Bank Indonesia (BI) akhirnya merapatkan barisan sebagai salah satu pendukung baru bersama Starbucks.
Mereka melihat potensi dan ketekunan SIMPATIK, sehingga memberikan bantuan berupa pembangunan Gudang Bank Sampah, gerobak kendaraan roda tiga, timbangan digital, dan mesin jahit.
“Kami sangat berterima kasih kepada Bank Indonesia atas semua bantuan yang telah diberikan. Kalau ditanya kenapa sampai BI mau memberikan bantuan, saya rasa karena mereka melihat kegigihan dan kepedulian kami terhadap lingkungan tanpa mengharapkan upah tadi saya rasa ya bang,” ungkapnya.
Tak sampai di situ saja, TikTok, melalui program Jalin Nusantara, juga turut membantu dengan menyediakan jaringan Wi-Fi dan papan penunjuk untuk mendukung kegiatan mereka.
Dengan ragam dukungan tersebut, SIMPATIK akhirnya mengembangkan usaha kreatif mereka bukan hanya pada urusan pengelolaan sampah, tetapi edukasi kepada masyarakat dan sekolah tentang pentingnya pengelolaan sampah.
"Kami sering memberikan sosialisasi kepada siswa SD untuk tidak membuang sampah sembarangan dan lebih baik memberikannya kepada kami," jelas Tivi.
Antusiasme para siswa pun mulai tumbuh. Mereka giat mengumpulkan sampah dan menjualnya ke SIMPATIK. Sebagai balasan, sampah-sampah yang mereka kumpulkan dibayar dengan nilai lebih.
"Meskipun sampah yang mereka bawa hanya bernilai 500 rupiah, ya kami berikan aja 2000 rupiah udah senang anak-anak itu bang. Mereka juga semakin termotivasi untuk mengumpulkan sampah plastik tadi,” tambahnya.
Kerja keras dan dedikasi SIMPATIK berbuah manis. Berbagai penghargaan besar telah mereka terima, antara lain Perempuan Berdaya pada Hari Kartini di Medan dan penghargaan dari Bank Indonesia (BI).
“Kalau kami bisa menjadi inspirasi, syukur alhamdulillah bang. Namun harapan terbesar kami adalah lingkungan bisa bebas dari sampah plastik. Itulah tujuan utama Kelompok SIMPATIK ini, bang,” tutup Tivi dengan senyum penuh harap.
Editor: Defri Ngo