PARBOABOA, Jakarta - Tarlen Handayani (47) sedang merapikan beberapa buku yang baru selesai dikerjakan.
Beberapa lain masih tergeletak di lantai. Sisanya adalah buku-buku tua yang baru saja diperbaiki sampulnya.
Ia tak seorang diri. Bersamanya, ada dua perempuan muda yang turut bekerja dan membantu urusan-urusan penjilidan.
Sudah empat tahun ini, mereka intens mengerjakan penjilidan arsip dan dokumen sejarah. Dengan modal seadanya, mereka menyewa sebuah kontrakan sempit berlantai dua di Kecamatan Mantrijeron, Kota Yogyakarta.
Sebelum berpindah ke Yogyakarta, pendiri Tobucil & Klabs itu sempat menetap di Bandung, kota di mana ia lahir dan menghabiskan masa kecil.
Tarlen sendiri melihat Bandung sebagai kota yang istimewa karena perjalanannya sebagai konservator buku dimulai dari sana.
"Lewat Bandung dan Tobucil & Klabs, saya belajar untuk memahami budaya membaca dan menulis masyarakat," ujarnya saat ditemui PARBOABOA, Rabu (08/05/2024).
Seperti Bandung, saat berada di Yogyakarta, ia menghabiskan banyak waktu untuk membuat konservasi buku-buku tua, catatan peninggalan, kitab keagamaan, dan arsip bersejarah.
Minat ini sebenarnya telah lahir sejak masa kecil. Ia sendiri memotret gambaran tentang sulitnya mendapatkan arsip dan dokumen sejarah berisi catatan masa lalu.
"Sulit sekali akses arsip sejarah masa lalu. Kita seperti kehilangan jejak pada apa yang sebenarnya berguna sekali," ungkapnya.
Bertolak dari keresahan ini, ia kemudian memulai keseluruhan ide dengan mencatatkan kronik hidup ke dalam buku harian. Catatan-catatan lepas itu dikumpulkan kembali dan dijilid menjadi sebuah antologi yang menarik.
Ketertarikan menjilid buku menggerakan Tarlen untuk membuat suatu praktik lain, yakni menjahit buku. Teknik ini dinamakan book binding.
Ia menjelaskan bahwa aktivitas book binding tidak melulu bersifat ekonomis, tetapi terarah pada misi untuk membangun literasi lokal.
"Book binding itu punya misi penting untuk menghidupkan gerakan literasi keseharian, melalui lingkar belajar yang diadakan secara rutin," ujarnya.
Berkat ketekunan dan dijiwai semangat yang besar, maka pada 2008 silam, ia memperoleh beasiswa dari Asian Cultural Council untuk mempelajari praktik kesenian dan kebudayaan internasional.
Sembilan tahun berselang, tepatnya pada Februari 2017, ia kembali diberi kesempatan untuk berdialog dan mempelajari book binding di Finlandia.
Kesempatan itu ia manfaatkan secara khusus untuk mempelajari teknik dan konsep tentang dunia penjilidan buku tradisional.
"Di sana, saya akhirnya sadar kalau teknik penjilidan buku secara tradisional itu beda sekali dengan apa yang saya bayangkan sebelumnya."
Tarlen bercerita, saat mempelajari teknik penjilidan, ia juga diminta untuk mempelajari bentuk buku, isi, dan konteks yang melahirkan buku tersebut.
"Kita tidak bisa sembarangan membuat jilid buku. Pemilihan sampulnya saja harus disesuaikan dengan makna atau isi buku itu."
Proses belajar yang ketat justru membuatnya keranjingan untuk terus mempelajari segala hal berkaitan dengan penjilidan.
Buktinya, setelah kembali dari Finlandia, ia melanjutkan proses belajar di Kanada. Di sana, ia bergabung dalam program Bookbinding Intensive 2 bertempat di Canadian Bookbinders and Book Artists Guild.
Penjelajahan intelektual yang melelahkan membuatnya semakin yakin untuk menentukan sikap dan memilih menjadi seorang konservator buku.
"Saya belajar banyak hal tentang book binding. Dan ketika kembali ke Indonesia, saya putuskan untuk mengabdikan diri untuk intens terlibat dalam pekerjaan tersebut," ujarnya dengan senyum.
Bagi dia, pekerjaan untuk menjilid buku selalu berkaitan dengan konservasi buku. Hal itu berarti "ada upaya untuk merawat buku, arsip, dan segala catatan lama yang dipandang kuno dan tidak berguna."
Tarlen mengafirmasi, tugas sebagai penjilid atau konservator buku sangat penting karena berkaitan erat dengan kekuasaan (power). Baginya, kolonialisme yang menjajah Indonesia berpuluh tahun silam adalah gambaran otentik dari praktik ini.
"Lihat, kolonial itu menjajah kita karena mereka sudah punya segala catatan tentang bangsa kita. Mereka tahu sejarah dan kebudayaan kita sehingga dengan mudah mengkooptasi semuanya."
Ia lantas menegaskan bahwa pekerjaan sebagai penjilid buku adalah sebuah pengabdian. Model pengabdian itu terarah baik kepada bangsa, maupun pada ruang domestik lainnya seperti keluarga.
"Saya anggap ini pengabdian. Siapa pun bisa belajar tentang proses konservasi buku di tempat ini. Ya, alasannya supaya mereka punya pegangan tentang sejarah."
Posisi dan Keberpihakan
Bermula dari ketertarikannya untuk membuat penjilidan buku harian, Tarlen kemudian menjadikan kebiasaan tersebut sebagai pekerjaan.
Semangat yang ia tumbuhkan adalah ‘yang penting mulai dulu saja’. Sebab, jelasnya banyak hal yang ia temukan ketika melakukan kegiatan-kegiatan kreatif bersama sejumlah teman.
Ia sendiri optimis, kebutuhan akan arsip dan dokumentasi sejarah merupakan hal yang mendesak.
"Masyarakat pasti butuh dokumen-dokumen sejarah. Mereka akan membaca kenangan, juga menjadikannya sebagai pengetahuan."
Tarlen mengerjakan seluruh proses penjilidan dalam satu kesatuan dengan upaya untuk mengajarkan pengetahuan kepada masyarakat di mana ia berada.
Baginya, book binding lebih dari sekedar keahlian untuk menyatukan kertas dan menjadikannya dalam bentuk buku.
"Book binding itu sesungguhnya merepresentasikan situasi di mana pengetahuan, sejarah, dan literasi pada sebuah peradaban ditampilkan kembali," ujarnya.
Ia menjelaskan, model perbaikan buku dengan teknik yang tidak tepat akan menghilangkan sebagian pengetahuan. Alasannya karena ada konteks yang turut berubah sebagai akibat dari perubahan bentuk.
Fasilitator Asana Bina Seni Yogyakarta, Amos (27) turut memberikan informasi menarik terkait proses kreatif yang dikerjakan Tarlen.
Baginya, perempuan kelahiran Bandung itu telah memilih 'jalan lain' yang tak banyak dilalui sebagian seniman dan peneliti.
"Kerja yang ibu (Tarlen) lakukan ini istimewa. Dalam konteks sejarah, pekerjaan yang demikian berkait kelindan dengan upaya mewariskan pengetahuan," ungkapnya saat ditemui PARBOABOA di Yogyakarta, Rabu (08/05/2024).
Sebagai lulusan sejarah yang kerap berkecimpung dalam dunia arsip dan kesenian, ia menilai pekerjaan yang dibuat Tarlen adalah gebrakan baru.
Wanita kelahiran Bandung itu menunjukkan posisinya yang jelas dan berbeda dengan kebanyakan pekerja kebudayaan lain.
Dalam keterangan terpisah, seniman asal Pakistan, Hazra Waheed (44) saat ditemui di Cemeti Institute Yogyakarta, Senin (06/05/2024) menekankan pentingnya posisi seorang seniman ketika berhadapan dengan realitas.
"Seniman harus mampu menentukan sikapnya di hadapan situasi sosial, politik, ekonomi dan budaya yang mencekam. Dia harus mempunyai sikap yang jelas," ungkap Hazra.
Sikap tersebut, lanjut Hazra menjadi kontribusi seniman yang hidup di tengah masyarakat, dengan konteks persoalan yang plural.
Mirip dengannya, Perupa FX Harsono menegaskan pentingnya kejelasan sikap seniman. Hal itu diafirmasinya sebagai sebuah bentuk panggilan.
"Ia (seniman) harus memiliki posisi yang jelas, teristimewa kalau berhadapan dengan suatu persoalan," ungkapnya saat ditemui PARBOABOA di Yogyakarta, Selasa (07/05/2024).
Bedah Pendekatan Konteks: Tantangan Berkarya
Meski memiliki posisi di tengah masyarakat, pekerjaan untuk mengkonservasi buku memiliki tantangan tersendiri. Tarlen mengakui hal tersebut.
Sejak awal bekerja, ia mengalami kesulitan untuk mencari bahan, tukang cetak dan lokasi produksi yang terkonsentrasi di suatu tempat. Harga barang dan jasa di Yogyakarta juga terbilang mahal.
"Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan itu, saya bahkan membelinya di Bandung dan mengirimkannya ke sini," ungkap Tarlen.
Di samping itu, kemampuan bertahan dan bertumbuh di tengah pengaruh teknologi menjadi persoalan tersendiri.
Selain menyoal hal-hal tersebut, ia juga mengakui ketidaksesuaian visi kerja pemerintah dengan ideal yang hendak ia kembangkan.
"Bedah pendekatan soal konteks. Kalau pemerintah maunya fumigasi. Tapi justru kalau fumigasi itu dibuat terus menerus maka akan merusak barang (buku) yang hendak dikonservasi," ujarnya
Sebagai informasi, fumigasi adalah istilah dalam dunia pertanian yang merujuk pada metode pengendalian hama menggunakan obat pestisida.
Pihaknya telah membuat pendekatan ke pemerintah untuk membicarakan secara serius program konservasi buku, tetapi belum beroleh jawaban yang jelas.
"Kita sudah tawarkan untuk buat workshop soal konservasi buku, tapi pemerintah berkeberatan. Agaknya abai," sentilnya dengan nada serius.
Perbedaan soal pendekatan membuat Tarlen akhirnya memilih untuk bekerja dengan teman-teman dibanding melibatkan peran serta pemerintah.
Mereka menerima tawaran kerja sama dengan individu atau komunitas lain guna menopang rumah tangga kolektif sambil terus mengajarkan pentingnya konservasi buku ke khalayak ramai.
Tujuannya tetap sama, sejarah dikenang luas dan dijadikan pengetahuan oleh seluruh masyarakat.