PARBOABOA, Jakarta - Fenomena kawin kontrak di Indonesia, terutama daerah Jawa telah menyita perhatian besar, baik dari masyarakat maupun pemerintah.
Reinal bukan nama sebenarnya dalam Laporan Khusus Parboaboa, Senin (30/09/2024), mengakui, praktik kawin kontrak di Puncak Bogor adalah cerita usang dengan pola permainan yang cukup terstruktur.
Reinal pernah menjadi perantara kawin kontrak dari tahun 2006 hingga 2012. Pada masa itu, ia bekerja sebagai sopir bagi turis Timur Tengah yang berlibur ke daerah Puncak.
Para tamu sering memintanya untuk mencarikan perempuan lokal yang mau melakukan kawin kontrak.
“Kadang juga saya nawarin ke mereka, kang,” ucapnya.
Kenyataannya, praktik ini tidak hanya mengusik norma sosial, tetapi juga menyinggung aspek hukum dan agama.
Dua konsep yang sering dikaitkan dengan praktik kawin kontrak adalah, nikah mut'ah dan nikah misyar.
Lalu, apa sebenarnya dua konsep ini, dan bagaimana praktik tersebut yang banyak terjadi di Cianjur?
Istilah nikah mut'ah berasal dari bahasa Arab, yang secara harfiah berarti "kesenangan sementara." Praktik ini merujuk pada bentuk pernikahan sementara yang populer di kalangan penganut Syiah.
Konsep ini membolehkan pernikahan tanpa perlu adanya wali atau saksi, di mana seorang wanita dapat menikahkan dirinya sendiri kepada laki-laki dengan mahar yang disepakati bersama.
Durasi pernikahan pun bervariasi, mulai dari hitungan tahun hingga hitungan jam, tergantung kesepakatan kedua belah pihak.
Para ulama Syiah, seperti Sayyad Milani, mengklaim bahwa nikah mut'ah sesuai dengan Al-Quran dan ajaran Nabi.
Namun, klaim ini dibantah keras oleh penganut Sunni, seperti Khola Hassan dari Dewan Syariah Islam Inggris, yang menegaskan bahwa dalam pandangan Sunni, nikah mut'ah tidak pernah dianggap sebagai pernikahan yang sah.
Dalam konteks hukum di Indonesia, pernikahan yang tidak memenuhi syarat sah menurut undang-undang dapat dianggap sebagai pelanggaran.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatur bahwa perkawinan harus dilakukan dengan memenuhi rukun Islam, termasuk adanya wali dan saksi yang sah.
Berbeda dengan nikah mut'ah, nikah misyar adalah bentuk pernikahan yang memiliki rukun yang sah secara Islam, termasuk adanya saksi dan wali.
Namun, konsep ini memperbolehkan pernikahan di mana laki-laki tidak diwajibkan memenuhi seluruh hak istri, seperti memberikan nafkah atau tinggal bersama.
Istri dalam pernikahan ini tidak tinggal dengan suaminya, karena biasanya ini adalah pernikahan kedua atau lebih bagi sang suami.
Menurut Yusuf al-Qardhawi, ulama kontemporer asal Mesir, nikah misyar adalah sah secara syariat.
Fenomena ini banyak terjadi di negara-negara Timur Tengah seperti Arab Saudi, Mesir, dan Qatar, di mana budaya mewajibkan laki-laki memiliki rumah sebelum menikah menyebabkan banyak laki-laki menunda pernikahan hingga usia lanjut.
Sebagai solusinya, banyak yang menikahi wanita dari negara lain dengan cara ini.
Meskipun terlihat lebih sah dibandingkan nikah mut'ah, nikah misyar tetap mengandung masalah.
Berdasarkan penelitian dalam jurnal "Problematika Nikah Misyar dalam Tinjauan Sosiologis dan Psikologis" (2019), pernikahan jenis ini cenderung menghasilkan hubungan yang tidak stabil dan mudah berakhir.
Di atas kertas, tidak ada batas waktu dalam pernikahan ini, tetapi sering kali pernikahan tersebut bersifat sementara.
Meski dua konsep tersebut memiliki dasar yang kuat di negara-negara Timur Tengah, praktik kawin kontrak di Cianjur cenderung lebih mengarah pada prostitusi berkedok pernikahan.
Karena itu, kawin kontrak bertentangan dengan ajaran Islam. Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cianjur, KH Abdul Rauf, menegaskan bahwa kawin kontrak dianggap tidak sah dan haram.
Pernyataan tersebut merujuk pada fatwa MUI yang telah dikeluarkan sejak 25 Oktober 1977, yang menyatakan bahwa praktik kawin kontrak bertentangan dengan tujuan syariat dalam akad nikah.
Menurutnya, tujuan utama pernikahan adalah untuk membangun keluarga sejahtera dan melahirkan keturunan yang sah.
"Pernikahan harus berlangsung tanpa batasan waktu, sesuai dengan ketentuan agama," tegas Rauf kepada Parboaboa, Selasa (25/9/2024) lalu.
Bahkan, kawin kontrak di Cianjur seringkali melibatkan sindikat yang menyediakan "pernikahan" dengan penghulu, wali perempuan, dan saksi palsu.
Pernikahan ini hanya sah secara agama, tanpa memenuhi syarat legal yang diatur oleh negara.
Banyak perempuan yang terjebak dalam praktik ini, di mana mereka dinikahi untuk jangka waktu tertentu dengan imbalan uang.
Setelah kontrak habis, mereka diceraikan, dan laki-laki tersebut kembali ke negaranya atau mencari perempuan lain.
Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, tindakan seperti ini dapat dianggap sebagai bentuk eksploitasi terhadap perempuan.
Pernikahan yang tidak diakui secara hukum dan hanya bertujuan untuk memuaskan hasrat sementara merugikan perempuan secara fisik dan psikologis, serta melanggar hak-hak mereka sebagai manusia.
Pemerintah sebenarnya telah mengambil sejumlah langkah untuk mengatasi praktik kawin kontrak di Indonesia.
Dalam beberapa tahun terakhir, pihak kepolisian telah membongkar sindikat kawin kontrak di beberapa wilayah. Selain itu, penegakan hukum terkait Undang-Undang Perkawinan juga semakin diperketat.
Namun, tantangan yang dihadapi tidak hanya soal penegakan hukum, tetapi juga soal sosialisasi kepada masyarakat tentang pentingnya pernikahan yang sah secara hukum.
Masyarakat perlu lebih memahami bahwa pernikahan bukan sekadar kontrak sementara, melainkan ikatan yang dilindungi oleh undang-undang demi kesejahteraan bersama.
Dengan penegakan hukum yang lebih tegas dan peningkatan kesadaran masyarakat, diharapkan praktik kawin kontrak yang merugikan perempuan ini bisa diminimalisir.
Selain itu, regulasi yang lebih ketat terkait perkawinan antar warga negara juga perlu diperkuat, mengingat banyak pelaku kawin kontrak adalah wisatawan asing.
Editor: Norben Syukur