PARBOABOA, Jakarta - Seorang pengelola kafe di kawasan Tebet, Jakarta Selatan, tak menyangka usahanya didatangi petugas yang mengaku berasal dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN).
Petugas itu memberikan dua dokumen yang berisi surat sosialisasi pembayaran royalti musik dan formulir pembayaran yang harus diisi.
Pengelola, yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengungkapkan bahwa dokumen tersebut pertama kali diterima pada Mei 2025.
Ia diminta mengisi formulir dan mengembalikannya, tanpa batas waktu yang jelas, hanya diingatkan secara berkala oleh petugas.
Menurut keterangan yang diterimanya saat itu, penarikan royalti dilakukan oleh LMKN. Namun, pengelola mengaku tidak memperoleh penjelasan detail mengenai ketentuan royalti musik di ruang usaha, termasuk besaran tarif maupun klasifikasi usahanya.
Ia mencontohkan, informasi yang disampaikan hanya sebatas angka, misalnya Rp120.000 per kursi tanpa penjelasan apakah usaha berskala kecil atau UMKM memiliki tarif berbeda.
Meski tidak menolak adanya kewajiban membayar royalti, ia merasa sosialisasi yang minim membuat pelaku usaha rentan salah langkah.
Kekhawatiran itu semakin besar setelah muncul kasus hukum terhadap salah satu manajemen Mie Gacoan di Bali.
Kasus tersebut membuatnya memilih untuk menghentikan pemutaran lagu di kafenya sementara waktu, meski sebenarnya berniat membayar royalti.
Setelah menerima surat dari petugas, ia sempat diberikan nomor kontak untuk berkonsultasi. Namun, ketika mencoba meminta penjelasan lebih detail soal klasifikasi dan perhitungan tarif, dirinya diminta datang langsung ke kantor LMKN.
Hingga lebih dari dua bulan berlalu, ia masih menunggu perkembangan sambil memutuskan untuk tidak memutar musik sama sekali, termasuk meniadakan pertunjukan live music yang biasanya rutin diadakan.
Akar Polemik
Persoalan royalti musik di ruang usaha kembali menjadi sorotan setelah penetapan tersangka terhadap IAS, Direktur PT Mitra Bali Sukses yang mengelola Mie Gacoan di Bali.
Pada 24 Juni 2025, Polda Bali menilai pihak manajemen melanggar hak cipta dengan memutar lagu berlisensi tanpa izin untuk tujuan komersial.
Kasus tersebut membuat banyak pelaku usaha khawatir mengalami masalah serupa. Tak sedikit yang akhirnya memilih berhenti memutar musik demi menghindari risiko hukum.
Kewajiban pembayaran royalti musik diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2021.
LMKN menjadi pihak yang mengelola pengumpulan dan distribusi royalti, bekerja sama dengan sejumlah Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sektoral seperti WAMI, KCI, dan RAI.
Tarif royalti bervariasi tergantung jenis usaha dan kapasitas tempat. Untuk kafe dan restoran, tarif umum adalah Rp60.000 per kursi per tahun.
Sementara untuk usaha berskala besar atau waralaba ternama, tarif dapat mencapai Rp120.000 per kursi per tahun. Walau aturan jelas, penerapannya di lapangan kerap memunculkan masalah.
Banyak pemilik usaha mengaku tak pernah mendapat penjelasan memadai soal prosedur pembayaran, daftar lagu yang termasuk wajib royalti, hingga apakah musik dari platform seperti YouTube dan Spotify juga dikenai biaya.
Pendekatan yang terkesan represif, seperti penahanan pihak Mie Gacoan, justru menambah ketakutan.
Pelaku usaha kecil merasa disodori kewajiban tanpa pemahaman yang cukup, sehingga lebih memilih untuk menghentikan pemutaran musik daripada berisiko terjerat masalah hukum.