PARBOABOA, Jakarta – Menanggapi penipuan daring atau online yang marak terjadi belakangan ini, ekonom Shanti Shamdasani mengingatkan, instrumen hukum perlindungan bagi korban penipuan online ada dan jelas, tinggal bagaimana masyarakat memahami haknya.
Baru-baru ini terjadi penipuan online yang dilakukan si kembar, Rihana dan Rihani yang merugikan konsumen hingga Rp35 miliar. Saat ini si kembar dalam pencarian polisi.
Ekonom Shanti menjelaskan, perlindungan terhadap korban penipuan online dimuat dalam beberapa aturan.
Di antaranya Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam pasal tersebut disebutkan sejumlah hak konsumen saat berbelanja online; hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan jasa; hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan pengganti, apabila barang dan jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
Kemudian Pasal 8 UU Konsumen yang menyebut pelaku usaha juga dilarang menjual barang atau jasa yang tidak sesuai dengan janji yang dinyatakan dalam label, tiket, keterangan, iklan atau promosi penjualan.
“Pelaku usaha yang melanggar akan dipidana dengan penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar,” kata Shanti kepada Parboaboa.
Instrumen hukum lainya untuk perlindungan korban penipuan online yaitu Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
“Ada di Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang ITE. Tinggal konsumen memahami haknya dan menerapkan sikap teliti dalam melakukan kegiatan transaksi online,” ucap Shanti kepada Parboaboa.
Pasal 28 ayat (1) UU ITE berbunyi setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam transaksi elektronik dipidana penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Shanti juga mengingatkan, korban penipuan online pada dasarnya sama dengan korban penipuan konvensional yang diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
“Jadi kami imbau agar konsumen memahami haknya dan menerapkan sikap teliti dalam melakukan transaksi online,” katanya.
Beberapa bentuk penipuan online di antaranya barang yang diterima tidak sesuai dengan yang dipesan, barang adalah produk tiruan alias palsu, identitas pelaku usaha atau konsumen fiktif, penipuan harga diskon terhadap produk yang ditawarkan, produk yang diterima bekas, tidak layak pakai, bahkan tidak dikirimkan.
Sebelumnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mencatat ada 1.730 konten penipuan online selama Agustus 2018 hingga 16 Februari 2023. Kerugian akibat penipuan tersebut mencapai Rp18,7 triliun selama 2017 hingga 2021.
Bahkan menurut Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, penipuan online mengalami meningkat selama pandemi COVID-19.
“Kejahatan dan penipuan yang mempergunakan sarana dan fasilitas aplikasi maupun platform online kini meningkat sangat tajam sejak pandemi COVID yang memaksa masyarakat melakukan berbagai kegiatannya secara online yang sekaligus membuka mereka menjadi sasaran empuk pelaku kejahatan yang mempergunakan sarana online sebagai medium,” jelas Ardi kepada Parboaboa.
Kominfo Sebut Masyarakat Paling Banyak Laporkan Penipuan Online
Kominfo mengaku telah menerima 486.000 laporan terkait penipuan selama 2017 hingga 2022.
Dari 486 ribu laporan tersebut, jenis penipuan yang mendominasi adalah transaksi daring dengan jumlah 405 ribu laporan, diikuti penipuan investasi fiktif yakni sebanyak 19 ribu laporan dan penipuan jual-beli daring sebesar 12 ribu laporan.
Direktorat Pengendalian Aplikasi Informatika Kominfo, Syamsul Arifin mengingatkan masyarakat untuk melaporkan nomor rekening yang diduga melakukan tindak pidana alias penipuan ke situs resmi Kominfo, CekRekening.id.
Syamsul mengatakan, nantinya laporan yang masuk pada CekRekening.id akan diverifikasi admin.
“Laporan yang terverifikasi akan diproses oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) dengan mengirimkan surat rekomendasi blokir nomor rekening ke bank yang bersangkutan. Dengan cara ini, diharapkan tindak pidana informasi dan transaksi elektronik yang mengancam masyarakat dapat ditekan,” kata Syamsul.
Tak hanya itu, masyarakat juga bisa mengambil langkah preventif dengan cara mengecek nomor rekening tujuan transaksi pada layanan CekRekening.id.
Tujuannya, lanjut Syamsul, masyarakat bisa mengetahui apakah rekening tersebut pernah dilaporkan sebelumnya atau tidak.
“Apabila nomor rekening tersebut pernah dilaporkan, maka sebaiknya masyarakat berhati-hati untuk melanjutkan transaksi,” tegasnya.
Selain langkah preventif, korban penipuan online bisa mengambil langkah hukum dengan melaporkan kasusnya ke Kepolisian.
“Korban datang ke kantor polisi terdekat, baik itu Polsek, Polres, maupun Polda. Di sana, korban akan dimintai keterangan ihwal kronologis peristiwa oleh petugas Kepolisian,” pungkas Syamsul Arifin.
Editor: Kurnia