Pentingnya Gen Z Melihat Keberpihakan Cawapres Dari Debat Kedua

Dosen Komunikasi Politik Universitas Paramadina Erik Ardiyanto. (Foto: Dokumen pribadi)

PARBOABOA, Jakarta-Generasi Z perlu mengetahui karakteristik tiga calon wakil presiden (cawapres) sebagai strategi untuk menangi Pilpres 2024.

Pengamat Komunikasi Politik Universitas Paramadina Erik Ardiyanto menyebut, debat Cawapres 2024 pertama pada Jumat (22/12/2023) malam telah memperlihatkan karakteristik ketiganya.

"Penting untuk Gen Z melihat keberpihakan dan rekam jejak calon wakil presiden, ini penting untuk membandingkan dengan apa yang sudah ucapkan, karena apa yang sudah dilakukan calon biasanya lebih bisa menjawab apa yang menjadi keresaahan generasi ini," ujar Erik kepada PARBOABOA, Senin (25/12/2023).

Erik memaparkan, bahwa Cawapres nomor urut 2, Gibran Rakabuming Raka tampil dengan gaya menyerang dengan memfokuskan hilirisasi digital. Gibran lebih menekankan ekonomi digital dalam menyambut Indonesia Emas 2024 seperti mulai dari kegunaan ahli artifical intelligence, robotik, crypto, hingga blockchain.

Sementara itu cawapres nomor  3, Mahfud MD lebih memfokuskan pemberantasan korupsi di berbagai lembaga yang menyebabkan kemiskinan. Menurut Mahfud, hal itu bisa diatasi dengan penegakan hukum.

"Karena banyak yang mau investasi di Indonesia kemudian dijadikan alat peras. Di sisi lain, dia ingin kekayaan tidak hanya beredar di orang kaya saja, tapi semua rakyat menikmatinya," papar Erik Sementara itu cawapres nomor urut 1 Muhaimin Iskandar alias Cak Imin, lebih menekankan termenologi 'slepet' dengan sebagai slogan yang menekankan perubahan dan keadilan.

Cak Imin melihat, 100 orang terkaya dengan harta di atas 100 juta penduduk Indonesia adalah sebuah ketidakadilan.

"Kemudian dia (Cak Imin) ingin pajakin 100 orang terkaya, dengan menurunkan pajak kelas menengah," tuturnya.

Kesamaan Pandangan Mahfud dan Cak Imin

Erik melihat, pada pembukan debat Mahfud  MD dan Cak Imin  memiliki kesamaan persepsi, yakni ingin adanya pemerataan ekonomi di Indonesia. Sedangkan Gibran erlihat normatif dan lebih mengawang-awang dengan visi misinya.

Termasuk ketika dalam sesi tanya jawab, Gibran juga lebih berkomunikasi dengan istilah-istilah canggih seperti Carbon Capture and Storage (CCS), State of the Global (SGIE), dan Incremental Capital Output Ratio (ICOR).

"Ingin tampil mengesankan dalam debat, tetapi justrul bomerang karena banyak orang awam  yang tidak tahu," sambung Erik.

Erik menekankan, apa yang disampaikan Gibran sangat terkesan menghafal ketimbang sungguh-sunggu mengerti makna dari singkatan yang disampaikannya sendiri.

"Gibran bertanya kepada Cak Imin terkait SGIE atau State of the Global Islamic Economy tetapi dengan mengunakan enjaan bahasa Indonesia yang terkesan hafalan," sambung dia.

Lanjut Erik, Gibran lebih berupaya keras mendelegitimasi lawan debatnya, namun Gibran lupa bahwa debat juga ditonton masyarakat secara heterogen. Dalam hal ini yang mendergarkan debatnya bukan hanya pendukungnya saja.

Berbeda dengan Mahfud MD yang menurut Erik, berkomunikasi dengan tenang dengan penjelasan yang runtun dan mudah di pahami orang awam.

Seperti  ketika menjawab pertanyaan Gibran tentang regulasi Carbon Capture and Storage, Mahfud MD menjawab lebih pada pokok logika. Seperti menjelaskan mulai dari prosedur pembuatan undang-undang hingga ke sistem pengawasan keuangan perencanan, pelaksanaan dan evaluasi (SIPD).

"Walaupun pertanyaan sebenarnya diluar topik debat," papar Erik.

Terdapat juga kesamaan pandangan persoalan lahan tanah antara Mahfud MD dan Cak Imin terkait pesoalan lahan tanah. Di mana hanya 1 persen penduduk menguasai 75 persen lahan, dan 99 persennya penduduk berebut 20  persen lahan tersisa.

Banyak lahan yang di peroleh melalui kolusi bahkan banyak yang diberi pengampunan pajak. Keduanya kemudian bersepakat adanya political will dan penegakan hukum lahan tanah demi melawan kolusi melalui program land reform atau redistribusi tanah.

"Ini menurut saya bagus kalau dapat direalisasikan karena problem generasi Generasi Z hari ini banyak yang terancam tidak punya rumah karena adanya persolaan mahalnya harga tanah yang hanya dimiliki segelelitir orang dengan cara yang tidak benar atau kolusi," sambung dia.

Editor: Aprilia Rahapit
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS