PARBOABOA, Jakarta - Dalam tindak pidana, ada dua istilah yang sering didengarkan, yaitu penyelidik dan penyidik.
Di dalam pasal 1 angka 4 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), arti penyelidik adalah pejabat polisi yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penyelidikan.
Sementara itu, penyelidikan merupakan serangkaian tindakan oleh polisi untuk mencari atau menemukan suatu peristiwa yang diduga kuat sebagai perbuatan pidana.
Sehingga, kalau dari penyelidikan ditemukan adanya bukti yang kuat, dapat dilakukan upaya lanjutan yaitu penyidikan menurut cara yang diatur oleh UU.
Penyidik, menurut ketentuan pasal 1 angka 2 KUHAP, adalah pejabat kepolisian atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang oleh UU untuk melakukan penyidikan.
Sebagai proses lanjutan dari penyelidikan, penyidikan berfokus pada pengumpulan alat bukti, yang mana, dengan alat bukti tersebut nantinya dapat membuat terang suatu peristiwa pidana sehingga dapat ditentukan siapa tersangkanya.
Namun begitu, dalam kenyataannya penyelidik maupun penyidik tidak hanya terikat dengan kepolisian. Dalam beberapa kasus tindak pidana misalnya, dua tugas itu dikaitkan juga dengan KPK maupun Kejaksaan.
Lantas, apa perbedaan kepolisian, kejaksaan dan KPK sebagai penyelidik maupun penyidik.
Kepolisian
Kewenangan kepolisian sebagai penyelidik maupun penyidik diatur dalam UU Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Di sana dijelaskan, kepolisian dapat menjadi penyelidik maupun penyidik untuk semua tindak pidana.
Contoh: polisi dapat menjadi penyelidik dan penyidik untuk kasus pencurian, pencemaran nama baik, korupsi dan berbagai tindak pidana lainnya.
Kejaksaan
UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia (UU Kejaksaan) memberi wewenang khusus bagi jaksa untuk menjadi penyidik.
Namun berdasarkan pasal 30 UU a quo, kewenangan ini terbatas pada tindak pidana tertentu berdasarkan UU.
Contoh: jaksa berwenang melakukan penyidikan pengadilan HAM yang dimandatkan oleh UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Selain itu, jaksa juga berwenang melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi sesuai amanat UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Kewenangan jaksa dalam penyidikan pernah digugat ke MK karena dinilai akan menjadi lembaga super power. Namun hal itu ditolak oleh MK.
MK menyatakan, kewenangan tersebut tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD), sekaligus menekankan itu sebagai sesuatu yang wajar sebagaimana pengalaman negara-negara yang maju dalam pemberantasan korupsi.
MK mengangkat beberapa contoh, seperti di Jerman, Jepang dan Amerika Serikat. Di sana selain sebagai penuntut, jaksa juga berwenang melakukan penyidikan.
KPK
Kewenangan KPK melakukan penyelidikan dan penyidikan diatur dalam pasal 6 UU KPK. KPK bahkan diberi tiga kewenangan sekaligus, yaitu selain penyelidikan dan penyidikan juga kewenangan penuntutan.
Namun di pasal 11, tiga kewenangan ini terbatas hanya pada tindak pidana korupsi. Itu berarti lembaga anti rasuah hanya bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan untuk tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi tersebut pun harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain:
- Melibatkan penegak hukum dan penyelenggara negara dan orang lain yang ada kaitannya dengan penegak hukum dan aparat negara
- Kasus korupsi tersebut mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat
- Kasus korupsi dengan kerugian paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)
Jadi, KPK hanya bisa melakukan penyelidikan dan penyidikan dengan syarat-syarat tersebut di atas. Di luar itu ia tidak bisa melakukan dua tugas tersebut.