PARBOABOA, Jakarta - Peringatan Hari Bhayangkara ke-79 seharusnya menjadi momen refleksi bagi Kepolisian Republik Indonesia.
Namun, di tengah semaraknya perayaan, laporan terbaru KontraS justru membeberkan kenyataan pahit: ratusan kasus kekerasan, penyiksaan, hingga pembunuhan di luar hukum masih menjadi catatan kelam kinerja Polri dalam setahun terakhir.
Tepat pada 1 Juli 2025, saat Kepolisian Negara Republik Indonesia merayakan Hari Bhayangkara ke-79, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) meluncurkan Kertas Kebijakan bertajuk “Kekerasan yang Menjulang di Tengah Penegakan Hukum yang Timpang.”
Laporan ini menjadi sinyal kuat bahwa reformasi sektor keamanan, khususnya di tubuh Polri, masih jauh dari harapan.
KontraS menegaskan bahwa Kertas Kebijakan ini bukan hanya bentuk partisipasi dalam agenda reformasi, tetapi juga dorongan konkret agar Polri segera mengevaluasi institusinya berdasarkan prinsip hak asasi manusia dan demokrasi yang telah lama diperjuangkan pasca-Reformasi 1998.
Potret Kegagalan Profesionalisme Polisi
Dalam periode Juli 2024 hingga Juni 2025, KontraS mencatat 602 peristiwa kekerasan yang melibatkan anggota Polri.
Dari angka tersebut, penembakan menempati porsi tertinggi dengan 411 kasus. Di samping itu, tercatat pula 38 kasus penyiksaan yang menimbulkan 86 korban—10 diantaranya meninggal dunia dan 76 lainnya mengalami luka ringan hingga berat.
Tak kalah mengkhawatirkan, KontraS mendokumentasikan 37 peristiwa extrajudicial killing yang menyebabkan 40 korban jiwa.
Angka-angka ini menggambarkan krisis akuntabilitas dalam tubuh Polri yang belum juga terselesaikan.
KontraS juga mencatat adanya 44 peristiwa salah tangkap, yang mengakibatkan 35 orang terluka dan 8 orang lainnya meninggal dunia.
Dalam kurun waktu yang sama, terjadi pula 89 pelanggaran terhadap kebebasan sipil, termasuk 42 kasus pembubaran paksa aksi demonstrasi di berbagai wilayah.
Data ini menunjukkan bahwa aparat kerap menggunakan pendekatan represif dalam merespons ekspresi publik, alih-alih pendekatan persuasif atau dialogis.
Sementara itu, tercatat sebanyak 1.020 orang menjadi korban pelanggaran—mayoritasnya adalah mahasiswa.
Namun, kelompok lain seperti jurnalis, petani, siswa, masyarakat sipil, hingga paramedis juga ikut terdampak.
Bahkan para pembela HAM dan aktivis juga mengalami tekanan serupa. Tercatat 62 peristiwa penangkapan terhadap aktivis, lima di antaranya mengakibatkan korban luka.
Ini memperlihatkan bahwa ruang aman bagi warga untuk menyampaikan pendapat atau melakukan advokasi masih sangat terbatas di Indonesia.
Kecenderungan penegakan hukum yang timpang juga muncul melalui pola undue delay atau penundaan proses hukum secara berlarut-larut serta praktik kriminalisasi terhadap keterlibatan publik dalam urusan sosial-politik.
Dalam konteks ini, hukum kerap dijadikan alat represi, bukan perlindungan. Fenomena ini memperlihatkan ketidakseimbangan antara wewenang aparat dan perlindungan terhadap hak-hak dasar warga negara.
Reformasi yang Mendesak
Deretan peristiwa kekerasan dan pelanggaran HAM yang melibatkan aparat menegaskan pentingnya reformasi serius dalam tubuh Polri.
Evaluasi menyeluruh perlu dilakukan, termasuk pemberian sanksi etik maupun pidana kepada pelaku kekerasan.
Pengawasan eksternal dan internal harus diperkuat agar Polri tak lagi berada di atas hukum.
Pemerintah juga didesak untuk meninjau kembali berbagai regulasi yang memberikan kewenangan luas kepada Polri, yang selama ini kerap dimanfaatkan secara berlebihan hingga melahirkan pelanggaran hak asasi manusia.
Hari Bhayangkara seharusnya bukan sekadar seremoni, melainkan momen reflektif. Polri harus menunjukkan komitmen nyata untuk berbenah.
Penegakan hukum, ketertiban, dan keamanan tak bisa dijalankan dengan cara-cara kekerasan.
Yang dibutuhkan saat ini bukan sekadar citra, tetapi perubahan struktural agar Polri menjadi institusi yang profesional, transparan, dan menghormati hak asasi manusia.