PARBOABOA, Jakarta - Festival musik Pestapora 2025 yang seharusnya menjadi ajang perayaan tahunan penuh keriuhan justru diwarnai gejolak besar.
Sejak hari kedua hingga ketiga, puluhan musisi dan band memutuskan mundur dari panggung sebagai bentuk protes terhadap kerja sama penyelenggara dengan perusahaan tambang PT Freeport Indonesia.
Nama-nama besar yang memutuskan batal tampil antara lain Hindia, .Feast, Banda Neira, The Panturas, Petra Sihombing, Navicula, Rebellion Rose, Sukatani, Silampukau, Cloudburst, hingga Kelelawar Malam.
Langkah kolektif ini menjadi bentuk protes terhadap keterlibatan perusahaan tambang dalam festival musik yang selama ini dikenal dekat dengan semangat independensi dan idealisme.
Banda Neira, kelompok musik dari Bandung, misalnya membatalkan penampilan mereka di hari kedua karena beranggapan bahwa semangat Pestapora telah melenceng dari idealisme awal.
“Kami ingin sikap dan perbuatan kami sehari-hari sesuai dengan apa yang kami lantangkan di panggung,” tulis mereka sebagaimana dikutip di akun Instagram @_berjalanlebihjauh, Sabtu (6/9/2025).
Bagi mereka, musik serupa janji pada diri sendiri, agar apa yang dilakukan sejalan dengan nurani, dan selalu memikirkan yang tersisih dan terpinggirkan.
"Afiliasi secara langsung maupun tak langsung dengan PT Freeport Indonesia tak sejalan dengan nilai-nilai yang kami percaya, oleh sebab itu kami memutuskan mundur," tegas band yang dinakhodai Ananda Badudu dan Sasha itu.
Sementara itu, Rebellion Rose memutuskan naik ke panggung sekadar menghormati penonton, lalu mengembalikan seluruh pembayaran dan biaya transportasi.
Usai itu, mereka bernyanyi secara unplugged bersama siapa saja yang hadir. Di sisi lain, Kelelawar Malam tegas menuliskan “Pestapora Cancel” sebagai sikap solidaritas untuk rakyat Papua.
Band metalcore Ornament juga menyuarakan alasan serupa, menekankan solidaritas untuk mereka yang tertindas, baik di Papua, Palestina, maupun di jalanan.
Permintaan Maaf dan Klarifikasi
Di tengah gelombang kekecewaan, Direktur Festival Pestapora, Kiki Aulia Ucup, akhirnya buka suara. Ia menyampaikan permintaan maaf melalui akun Instagram resmi Pestapora.
“Kami memastikan tak ada sepeser pun aliran dana yang kami terima dari PT Freeport Indonesia,” ujarnya pada Sabtu (6/9/2025).
Ia mengakui kelalaiannya karena sempat menjalin kerja sama, tetapi menegaskan bahwa kontrak dengan Freeport telah diputus sejak Jumat (5/9/2025) malam.
“Kami juga memastikan tak ada kehadiran PT Freeport Indonesia di Pestapora 2025,” tambahnya.
Menurut Kiki Ucup, segala konsekuensi dari keputusan tersebut akan menjadi tanggung jawab penuh pihak penyelenggara.
Pestapora 2025 tetap berjalan dengan perubahan line-up besar-besaran. Kiki menekankan bahwa akan menjadikan pengalaman ini sebagai pelajaran berharga untuk lebih berhati-hati dan mendengar masukan publik.
Infrastruktur Ekonomi-Politik Festival
Amos Ursia, peneliti independen yang kerap melakukan kajian soal kolonialisme menyebut bahwa apa yang terjadi dalam Pestapora 2025 bukan hanya tentang Freeport dan band-band politis yang tampil.
"Lebih jauh, ini soal bagaimana infrastruktur ekonomi-politik dari sebuah festival atau perayaan seni, jarang dilihat sebagai satu hal yang serius bagi seniman, kurator, kreator, dan pegiat seni-budaya hari ini," ujarnya dalam keterangan yang diterima PARBOABOA, Senin (8/9/2025).
Anggota Kolektif Arungkala itu menerangkan, Pestapora 2025 bisa membawa urgensi baru bahwa para seniman atau bahkan penonton perlu melakukan telaah terkait siapa para pendonor dalam perhelatan kebudayaan di sekitar.
"Kita bisa melakukan pemboikotan produk pro-Zionis dan langkah sama perlu diterapkan pada festival seni di sekitar kita," pungkas Amos.
Lebih lanjut, ia bilang bahwa dalam ekosistem musik di Indonesia, percakapan mengenai ekonomi-politik dan suprastruktur di balik satu perhelatan kesenian cukup terbatas.
Bahkan, lanjutnya, percakapan atau kajian arus utama hanya terjebak pada penguatan musik sebagai ekonomi kreatif dan festival musik sebagai peluang bagi turisme berbasis budaya.
Karena itu, terang Amos, posisi politik kebudayaan yang tegas jadi penting dalam kerja-kerja seni hari ini. Di lain pihak, kritik pada apropriasi gestur-gestur resistensi juga sangat penting.
"Jika tak hati-hati, komodifikasi estetika politis itu akan terus menjebak gerakan warga," pungkasnya.
Apa itu Pestapora?
Pestapora adalah salah satu festival musik terbesar di Indonesia yang pertama kali digelar pada tahun 2022 di Jakarta.
Mengutip laman resmi Pestapora, festival ini digagas oleh promotor Boss Creator dan sejak awal dikenal sebagai perayaan musik lintas genre, lintas generasi, dan lintas komunitas.
Nama “Pestapora” sendiri berasal dari gabungan kata “pesta pora,” yang mencerminkan semangat selebrasi musik dalam suasana meriah dan inklusif.
Berbeda dengan festival musik lain yang kerap menonjolkan satu genre tertentu, Pestapora menghadirkan ragam penampil mulai dari pop, rock, indie, folk, hip hop, reggae, hingga musik tradisional.
Festival ini berlangsung selama tiga hari penuh dengan puluhan panggung yang tersebar di area acara.
Sejak edisi perdananya, Pestapora langsung mencuri perhatian karena menghadirkan ratusan musisi, mulai dari nama-nama besar seperti Sheila on 7, Tulus, dan Dewa 19, hingga musisi independen yang sedang merintis karier.
Selain pertunjukan musik, Pestapora juga menghadirkan program interaktif berupa pasar komunitas, instalasi seni, hingga ruang temu kreatif yang memungkinkan penonton berinteraksi lebih dekat dengan budaya populer dan subkultur anak muda.
Dengan visinya sebagai “pesta musik untuk semua orang,” Pestapora kini telah menjelma menjadi salah satu festival musik tahunan yang paling ditunggu-tunggu penikmat musik Indonesia.