Potret Kemiskinan di Indonesia: Beda Angka Antara Bank Dunia dan BPS

Beberapa Rumah Warga Yang Berbaris di Sepanjang Bantaran Sungai. (Foto: Website Inside Indonesia)

PARBOABOA, Jakarta - Gambaran tentang jumlah penduduk miskin di Indonesia menunjukkan kontras yang mencolok dari sumber data yang digunakan. 

Bank Dunia (World Bank) dan Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat data yang berbeda, meskipun keduanya merujuk pada tahun yang sama, yaitu 2024. 

Perbedaan ini disebut sejumlah ekonom sebagai penyebab dari standar dan pendekatan yang tidak seragam dalam mendefinisikan garis kemiskinan.

Menurut laporan "Macro Poverty Outlook" edisi April 2025 yang dirilis Bank Dunia, sebanyak 60,3% penduduk Indonesia pada tahun 2024 masih dikategorikan sebagai miskin. 

Angka ini setara dengan sekitar 171,91 juta jiwa dari total populasi Indonesia yang mencapai 285,1 juta orang. 

Penetapan status ini mengacu pada garis kemiskinan untuk negara berpendapatan menengah ke atas (upper middle income country), yakni US$ 6,85 per kapita per hari atau setara Rp115.080 per orang per hari (dengan kurs Rp16.800 per US$).

Meski demikian, angka ini menunjukkan penurunan dibanding tahun sebelumnya yang berada pada angka 61,8%. 

Bank Dunia juga memperkirakan tren penurunan akan terus berlanjut, dengan estimasi kemiskinan mencapai 58,7% pada 2025, 57,2% pada 2026, dan 55,5% pada 2027.

“Meskipun permintaan yang kuat telah mendukung kinerja ekonomi yang stabil dan menurunkan angka kemiskinan, percepatan pertumbuhan memerlukan penerapan reformasi struktural untuk meningkatkan potensi pertumbuhan negara dan mengurangi risiko overheating,” tulis laporan tersebut.

Bank Dunia juga menghitung kemiskinan Indonesia berdasarkan standar global lainnya. Jika menggunakan "international poverty rate" sebesar US$ 2,15 per kapita per hari, jumlah penduduk miskin hanya sekitar 1,3% atau 3,7 juta orang. 

Sementara itu, dengan acuan "lower middle income poverty rate" sebesar US$ 3,65 per kapita per hari, maka jumlah penduduk miskin mencapai 44,47 juta orang atau sekitar 15,6%.

Penting untuk dicatat bahwa Indonesia telah masuk dalam kategori negara berpendapatan menengah ke atas sejak 2023, setelah pendapatan nasional bruto (GNI) mencapai US$ 4.580 per kapita. 

Dengan status tersebut, maka indikator kemiskinan yang digunakan oleh Bank Dunia disesuaikan ke angka US$ 6,85 per kapita per hari.

Jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara, angka kemiskinan versi Bank Dunia menempatkan Indonesia di urutan kedua tertinggi setelah Laos (68,5%). 

Sementara itu, Malaysia hanya mencatat angka kemiskinan 1,3%, Thailand 7,1%, Vietnam 18,2%, dan Filipina 50,6%.

Di pihak lain, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka yang jauh lebih rendah. Per September 2024, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 24,06 juta orang atau sekitar 8,57% dari total populasi. 

Angka ini menjadi yang terendah sejak BPS pertama kali merilis data kemiskinan pada tahun 1960.

“Kemiskinan September 2024 sebesar 8,57%, ini menjadi capaian terendah di Indonesia sejak pertama kali angka kemiskinan diumumkan oleh BPS pada 1960,” ungkap Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (15/01/2025).

Amalia menjelaskan bahwa garis kemiskinan yang digunakan BPS pada September 2024 adalah sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, meningkat 2,21% dari Rp583.932 per kapita per bulan pada Maret 2024.

Beda Pendekatan, Beda Angka

Perbedaan signifikan antara data Bank Dunia dan BPS terletak pada metode dan ambang batas pengeluaran yang digunakan untuk menetapkan status kemiskinan. 

Bank Dunia menetapkan ambang minimum di kisaran Rp977.393 per kapita per bulan (berdasarkan US$ 6,85 per hari), sedangkan BPS menggunakan standar nasional sebesar Rp595.242 per kapita per bulan.

Perbedaan standar inilah yang menghasilkan kesenjangan data yang cukup besar. Bank Dunia menyoroti kebutuhan akan reformasi struktural untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi dan menurunkan tingkat kemiskinan secara lebih signifikan. 

Di sisi lain, capaian BPS menunjukkan hasil positif dari berbagai program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah.

Meski berbeda pendekatan, keduanya sama-sama menyoroti pentingnya kebijakan yang berkelanjutan dan inklusif agar kesejahteraan masyarakat benar-benar dapat dirasakan oleh seluruh lapisan, bukan hanya secara statistik semata.

Editor: Defri Ngo
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS