Kaleidoskop 2024: Sederet UU dan RUU Bermasalah yang Ditolak Masyarakat Sipil

Ribuan massa melakukan demonstrasi di depan gedung DPR RI menolak revisi UU Pilkada. (Foto: Instagram/@kabarsejuk)

PARBOABOA, Jakarta -  Sepanjang 2024, penolakan terhadap berbagai UU dan RUU bermasalah terus bergema di masyarakat. 

Melalui demonstrasi hingga diskusi publik, masyarakat sipil menyuarakan keberatan mereka terhadap kebijakan yang dianggap tidak memihak kepentingan umum.

Kritik utama muncul pada isu pembatasan kebebasan berpendapat, ancaman terhadap lingkungan, hingga pelemahan KPK. Di sisi lain, proses legislasi yang minim transparansi dan kurang melibatkan publik memicu anggapan bahwa kebijakan yang dibuat hanya menguntungkan segelintir pihak.

Organisasi masyarakat, akademisi, dan tokoh publik tidak tinggal diam membongkar ketidakberesan ini. Mereka aktif membangun kesadaran lewat kajian dan data untuk menunjukkan dampak buruk dari kebijakan-kebijakan tersebut.

Penolakan itu menggambarkan keresahan mereka yang mendalam sekaligus harapan agar kebijakan negara lebih terbuka, transparan, dan berpihak pada kepentingan publik.

Berikut sederet UU dan RUU Bermasalah Sepanjang 2024, versi Parboaboa.

Revisi UU Polri

Di bulan Mei tahun ini, pemerintah bersama DPR mengusulkan revisi UU No.2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia atau UU Kepolisian.

Berdasarkan draf yang beredar, revisi dilakukan  dengan menambah kewenangan pembinaan dan pengawasan ruang siber serta memperluas hak penyadapan dan penggalangan intelijen.

Selain itu, usia pensiun polisi diusulkan naik dari 58 tahun menjadi 60-62 tahun untuk anggota biasa dan 65 tahun bagi pejabat fungsional.

Abdul Hakim, dari Baleg DPR RI menegaskan, revisi ini bertujuan memperkuat institusi Polri, bukan menjadikannya lembaga super power. 

Dukungan juga datang dari Edi Hasibuan, mantan anggota Kompolnas, yang menilai perpanjangan usia pensiun relevan dengan produktivitas anggota Polri di lapangan.

Namun, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai revisi UU a quo tidak memiliki urgensi yang jelas. Revisi ini, kata mereka justru dinilai berpotensi memperburuk persoalan institusional Polri.

Salah satu sorotan utama adalah soal kewenangan pengawasan ruang siber yang dinilai rentan disalahgunakan. Pemblokiran, pemutusan, atau perlambatan akses internet dianggap bisa dilakukan secara sewenang-wenang, seperti yang terjadi pada kasus pembatasan akses internet di Papua tahun 2021. 

Lemahnya regulasi terhadap alat sadap dan intersepsi digital semakin meningkatkan risiko pelanggaran, terutama terhadap kelompok masyarakat kritis seperti aktivis, jurnalis, dan pembela HAM.

"Pemutusan dan perlambatan akses ruang siber dapat dengan mudah dilakukan secara sewenang-wenang dan merugikan masyarakat," kata Koordinator KontraS, Dimas Bagus Arya kepada Parboaboa kala itu.

Dimas juga mengkritik usulan kenaikan usia pensiun anggota Polri menjadi 60-62 tahun dan 65 tahun bagi pejabat fungsional. 

Kebijakan ini dinilai tidak menyelesaikan persoalan regenerasi, bahkan berpotensi memperburuk penumpukan perwira di tingkat menengah dan tinggi. Menurut KontraS, kata dia, yang lebih mendesak adalah evaluasi menyeluruh terhadap sistem rekrutmen dan kaderisasi internal Polri.

Termasuk, demikian ia menambahkan, revisi perlu dipersiapkan dengan lebih matang dan berfokus pada perbaikan struktural yang nyata.

Revisi UU TNI

Selain UU polri, di bulan yang sama, revisi terhadap UU No.34 Tahun 2004 tentang TNI sempat berhembus.

Poin-poin revisi mengacu pada penambahan fungsi TNI sebagai alat keamanan negara, pencabutan kewenangan presiden mengatur TNI dan penambahan Operasi Militer Selain Perang (OMSP).

Organisasi masyarakat sipil yang terdiri dari YLBHI, PBHI, Imparsial, ELSAM, Public Virtue, Centra Initiative dan juga KontraS menolak keras rencana ini dan meminta untuk dibatalkan.

Kepada Parboaboa, sejumlah lembaga di atas menerangkan, kalau revisi tetap dipaksakan, yang terjadi adanya kemunduran demokrasi.

"Sejumlah usulan perubahan memundurkan kembali agenda reformasi TNI," tegas mereka.

Revisi UU Penyiaran

Masih di bulan Mei, DPR RI kembali membahas rencana revisi Undang-Undang Penyiaran. RUU ini pertama kali diusulkan oleh Komisi I DPR RI pada 22 Januari 2020.

Salah satu hal yang mencuat adalah kecenderungan revisi untuk tidak hanya mengatur platform penyiaran, tetapi juga isi kontennya.

Selain itu, RUU ini juga mengusulkan pembatasan terhadap jurnalisme investigatif, yang tidak lagi boleh disiarkan secara eksklusif melalui media penyiaran. 

Usulan tersebut menimbulkan pertanyaan tentang kebebasan pers dan bagaimana aturan itu akan berdampak pada media yang selama ini memainkan peran penting dalam mengungkap isu-isu publik melalui penyiaran.

AJI Indonesia, melalui Ketua Umumnya, Nany Afrida, menolak sejumlah poin revisi tersebut yang dinilainya berpotensi mengancam kebebasan pers. 

Ia mengkritik aturan yang tidak hanya mengatur platform penyiaran, tetapi juga isi kontennya, termasuk larangan jurnalisme investigatif disiarkan secara eksklusif.

“RUU Penyiaran ini cenderung bukan hanya mengurus tentang platform atau wadah di mana penyiaran itu berlangsung. Tetapi juga isi kontennya. Nah, itu yang kami khawatirkan," kata Nany kepada Parboaboa.

Menurut Nany, pengaturan konten harus dipisahkan, dengan KPI mengawasi non-jurnalisme dan Dewan Pers menangani jurnalisme. 

Tak hanya itu, ia juga menyoroti minimnya partisipasi publik dalam pembahasan RUU ini, yang dianggap tidak transparan.

"Kita tidak melihat ada partisipasi di situ. Bahkan, kelompok masyarakat sipil itu mendapatkan drafnya susah sekali," ucapnya.

Sementara itu, Pakar Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, menilai RUU Penyiaran sebagai bentuk pembungkaman terhadap kebebasan pers.

"Klausul pelarangan jurnalisme investigasi dalam RUU Penyiaran itu, jelas adalah upaya untuk membungkam kebebasan pers,” ujarnya kepada Parboaboa. 

Selain itu, dianggap dapat memonopoli pemberitaan, terutama dalam kasus-kasus tertentu yang melibatkan institusi negara seperti kepolisian. 

Hal ini, tegasnya, berpotensi menghalangi publik mendapatkan informasi kritis, termasuk investigasi penting yang mengungkap kasus-kasus besar.

Revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96 Tahun 2021

Di bulan Juni, penerapan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024, membuka peluang bagi organisasi masyarakat (ormas) keagamaan untuk mengelola tambang batu bara selama lima tahun ke depan. 

PP ini, yang merevisi PP Nomor 96 Tahun 2021, memberikan prioritas kepada badan usaha milik ormas keagamaan dalam penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) di wilayah tambang yang telah berproduksi.

Anggota Komisi VII DPR RI, Mulyanto, menyatakan keraguan terhadap manfaat pemberian Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada ormas keagamaan.

Ia menilai, kebijakan ini berpotensi memperburuk tata kelola pertambangan di Indonesia, yang sudah menghadapi masalah serius seperti tambang ilegal dan dugaan perlindungan dari oknum aparat, sehingga banyak kasus mandek penyelesaiannya.

"Masalah tambang ilegal seperti benang kusut. Adanya dukungan dari aparat tinggi membuat berbagai kasus tidak terselesaikan," pungkasnya.

Mulyanto menilai, kebijakan pemberian IUPK kepada ormas keagamaan lebih berorientasi pada pembagian keuntungan ekonomi daripada upaya serius memperbaiki tata kelola tambang. 

Menurutnya, yang dibutuhkan kedepan adalah penguatan pengawasan pengelolaan tambang, bukan sekadar membagikan izin.

Memang, secara administratif, kata dia, revisi PP Minerba masih sesuai dengan UU Minerba, tetapi dari sudut pandang politik, "kebijakan ini dianggap sebagai bentuk transaksi ekonomi." 

Ia juga meragukan efektivitas badan usaha penerima izin dalam menjalankan tugas secara profesional dan transparan, serta pesimis bahwa izin tersebut tidak akan jatuh ke tangan pemain lama.

Sementara itu, JATAM menilai PP No 25 Tahun 2024 mencerminkan keserakahan pemerintahan Jokowi dalam mengelola sumber daya alam. PP ini, kata mereka, merupakan bagian dari kebijakan sistematis untuk mengobral kekayaan alam demi kepentingan bisnis tambang.

JATAM juga menuding pemerintah sengaja merekayasa regulasi agar kebijakan tersebut terkesan legal, sekaligus memberikan perlindungan hukum bagi para pengusaha tambang.

"Pola licik ini sering terjadi, dua di antaranya terkait revisi UU Minerba dan pengesahan UU Cipta Kerja, dua regulasi yang memberikan karpet merah bagi pebisnis tambang," kata JATAM dalam keterangan tertulis kepada Parboaboa.

JATAM menyebut, klaim bahwa tambang dapat meningkatkan kesejahteraan ormas keagamaan adalah ilusi belaka. Pertambangan, yang padat modal dan teknologi, kata mereka, tidak berkelanjutan serta dapat merusak lingkungan karena eksploitasi tanah dan air secara masif.

Itulah sebabnya, lembaga itu mendesak ormas keagamaan menolak konsesi tambang yang ditawarkan pemerintah. Langkah yang lebih mendesak adalah evaluasi menyeluruh terhadap dampak sosial-ekologis tambang, pemulihan lingkungan, serta penegakan hukum atas kejahatan yang dilakukan oleh korporasi tambang.

Revisi UU Pilkada

Pada Kamis, (22/8/2024), sejumlah elemen masyarakat sipil, termasuk buruh dan mahasiswa, menggelar aksi di berbagai wilayah Indonesia menentang Revisi UU Pilkada. 

Demonstrasi ini dipicu oleh keputusan DPR yang dianggap mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait syarat pencalonan kepala daerah, serta mempercepat pengesahan revisi dalam waktu singkat.

Aksi penolakan terjadi serentak di Jakarta, Yogyakarta, Sumatera Barat, Jawa Barat, dan sejumlah kota lainnya. 

Massa menuntut DPR mengikuti putusan MK, terutama terkait ambang batas pencalonan dan batas usia calon kepala daerah, sembari mengancam boikot Pilkada 2024 jika revisi tetap disahkan. 

Pantauan Parboaboa di Lokasi saat itu, demonstrasi berlangsung ricuh dengan aksi saling dorong antara massa dan aparat keamanan.

Presiden Jokowi disebut sebagai salah satu aktor politik dibalik kebijakan tersebut. Jokowi diduga berupaya membuka jalan bagi putra bungsunya, Kaesang Pangarep, untuk maju dalam Pilkada 2024, meski Kaesang masih terkendala syarat usia.

Hal itu disampaikan secara gamblang oleh Direktur Amnesty International Indonesia, Usman Hamid saat demonstrasi di depan Gedung DPR RI.

“Hidup demokrasi, turunkan dinasti!” seru Usman, diikuti oleh massa aksi. "Untuk presiden ke-7, mari kita sampaikan tujuh dosa Jokowi," ujarnya dengan penuh semangat.

Usman menilai Jokowi telah merusak ruang publik untuk kritik, melemahkan oposisi di parlemen, mempersempit peran lembaga penegak hukum, dan memperlemah media massa. 

Selain itu, Jokowi disebut menggunakan politik polarisasi yang memecah belah masyarakat.

Usul Penghapusan OTT KPK

Menjelang akhir tahun 2024, tepatnya pada 19 November, calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Johanis Tanak, mengajukan wacana penghapusan Operasi Tangkap Tangan (OTT), sebuah instrumen penting yang selama ini menjadi andalan lembaga anti rasuah dalam mengungkap kasus korupsi besar.

Hal itu ia ungkapkan saat uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) di hadapan Komisi III DPR RI. Menurutnya, pelaksanaan OTT selama ini dianggap tidak sejalan dengan definisi yang termuat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

"Saya akan tutup atau close, karena OTT itu tidak sesuai dengan pengertian yang dimaksud dalam KUHAP," ujarnya dengan tegas.

Ia menjelaskan bahwa istilah 'operasi' secara umum, seperti dalam dunia medis, merujuk pada tindakan yang direncanakan dengan cermat. Namun, konsep 'tertangkap tangan' dalam KUHAP berbeda, karena merujuk pada peristiwa spontan di mana seseorang tertangkap saat sedang melakukan tindak pidana tanpa adanya rencana sebelumnya.

Namun, Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai usulan penghapusan operasi tangkap tangan (OTT) sebagai sesuatu yang menyesatkan. 

Peneliti lembaga itu, Diky Anandya menyebut pandangan Tanak tidak berdasar dan diduga hanya untuk menarik dukungan DPR dalam seleksi.

"Padahal yang disampaikan jelas tidak berdasar dan menyesatkan," kata Diky.

Ia menjelaskan, OTT oleh KPK dilakukan secara sistematis, dimulai dari penyadapan yang diatur undang-undang, hingga penangkapan pelaku saat beraksi. 

Proses ini, tegasnya, legal dan sesuai konsep 'tertangkap tangan' dalam KUHAP. Ia menegaskan, OTT menjadi strategi penting dalam mengungkap kasus besar yang melibatkan pejabat tinggi.

Menghapus OTT, menurut Diky, akan melemahkan efektivitas KPK. Karena itu ia mengingatkan, calon pimpinan KPK harus dipilih berdasarkan komitmen kuat terhadap pemberantasan korupsi, bukan pandangan yang merugikan kerja lembaga ini.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS