Kritik Keras Erich Langobelen terhadap Penyelesaian Kasus Agraria di Nangahale

Erich Langobelen, Direktur Eksekutif Tena Pulo Research. (Foto: Dokumen Parboaboa)

PARBOABOA, Jakarta – Direktur Eksekutif Tena Pulo Research, Erich Langobelen, menyampaikan kritik tajam terhadap penyelesaian kasus agraria di Nangahale yang hingga kini tak kunjung menemukan titik terang. 

Menurutnya, ketidakseimbangan kekuatan antara masyarakat adat dan pihak yang lebih dominan, termasuk PT Krisrama yang membawa nama gereja, menjadi penghambat utama dalam perjuangan masyarakat adat mendapatkan hak mereka.

Langobelen menilai bahwa PT Krisrama terlalu mendasarkan argumentasinya pada aspek legalistik semata tanpa mempertimbangkan aspek keadilan substantif. Sementara itu, di sisi masyarakat adat, terjadi perpecahan internal yang menyebabkan perjuangan mereka semakin sulit. 

“Selalu saja ada individu yang menjadi ‘pengkhianat’ dalam perjuangan ini, sehingga jalan menuju keadilan semakin berliku,” ungkapnya dalam diskusi "Jalan Tengah Konflik HGU Nangahale: Mungkinkah?" di Wisma NTT, Tebet, Jaksel, belum lama ini.

Lebih lanjut, ia menyoroti kesulitan dalam mengkritisi sejarah kolonialisme di Flores, termasuk peran gereja sebagai agen kolonialisme. 

“Dalam berbagai dokumen gereja, bahkan Paus Fransiskus sendiri mengakui bahwa dalam satu dan lain cara, gereja turut berperan dalam proses kolonialisasi,” tegasnya. 

Menurutnya, pemahaman sejarah yang hanya bertumpu pada tahun 1912, saat Belanda mulai menguasai tanah tersebut, mengabaikan fakta bahwa masyarakat telah mendiami wilayah itu jauh sebelumnya.

Langobelen juga menekankan bahwa masyarakat Nangahale merupakan kelompok subaltern yang tidak memiliki akses dalam pengambilan keputusan. Oleh karena itu, peran fasilitator menjadi sangat penting untuk menjembatani kepentingan mereka. 

“Pemerintah dan gereja, yang seharusnya menjadi fasilitator, justru nyaris menghilang dari perannya,” kritiknya. 

Ia juga mengungkap bahwa diskursus yang berkembang saat ini terlalu berpusat pada aspek legal-formal tanpa melihat bagaimana hukum berfungsi secara nyata di masyarakat. 

“Hukum sering kali memenangkan pihak yang lebih kuat, sehingga keputusan yang diambil sering kali tidak mencerminkan keadilan yang sesungguhnya,” tambahnya.

Menurutnya, dominasi ekonomi dan penguasaan lahan yang timpang menjadi akar permasalahan konflik agraria ini. 

“Gereja melalui PT Chris Rama menguasai sekitar 800 hektar tanah, sementara masyarakat hanya memiliki lahan yang jauh lebih kecil. Bahkan, terdapat anggota DPR dan individu lain yang menguasai hingga 10 hektar tanah di wilayah tersebut,” ungkapnya. 

Hal ini, menurutnya, menunjukkan adanya ketimpangan struktural yang perlu diselesaikan secara adil dan berkeadilan sosial.

Menutup pernyataannya, Langobelen menegaskan bahwa penyelesaian kasus Nangahale harus dilakukan dengan pendekatan yang lebih rendah hati, terbuka, dan memberikan akses lebih besar bagi kelompok rentan. 

“Jika ini bisa dilakukan dengan baik, maka kasus Nangahale dapat menjadi preseden positif bagi penyelesaian konflik agraria di seluruh Indonesia,” pungkasnya.

Sebagai informasi, Tena Pulo Research adalah lembaga riset independen yang berfokus pada isu-isu sosial, agraria, dan hak masyarakat adat di Nusa Tenggara Timur. 

Lembaga ini didirikan oleh Erich Langobelen dan kawan-kawan di Lembata, NTT serta aktif dalam advokasi kebijakan yang berpihak pada kelompok marginal dan terus mendorong keadilan sosial melalui berbagai kajian akademik dan gerakan masyarakat. 

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS