PARBOABOA, Medan – Banyaknya akronim (singkatan) dari beberapa program pemerintah di Indonesia yang menggunakan kata-kata berbau seksisme dinilai menjadi bukti rendahnya pemahaman akan isu gender.
Misalnya, yang belakangan ini dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon yang mengeluarkan akronim SiPEPEK yang berarti Sistem Pelayanan Program Penanggulangan Kemiskinan dan Jaminan Kesehatan.
Akronim ini di beberapa daerah, khususnya Sumatera Utara, berarti kemaluan perempuan.
Namun ternyata, akronim seperti ini tidak hanya digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Cirebon saja.
Pemerintah Kota Semarang juga memiliki program dengan akronim yang dinilai seksisme dan tidak edukatif yaitu SITHOLE.
SITHOLE merupakan akronim dari Sistem Informasi Konsultasi Hukum Online Pengadilan Negeri Semarang.
Dalam bahasa Inggris, akronim ini sangat identik dengan kata yang berarti anus. Sedangkan dalam bahasa Jawa, akronim ini berarti kemaluan laki-laki.
Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan juga memiliki akronomi SISKA KU INTIP. Arti dari akronim ini adalah Sistem Integrasi Kelapa Sawit-Sapi Berbasis Kemitraan Usaha Ternak Inti Plasma.
Sementara itu akronim lainnya adalah SIMONTOK yang dikeluarkan oleh pemerintah Kota Surakarta. SIMONTOK merupakan kepanjangan dari Sistem Monitoring dan Kebutuhan Pangan Pokok.
Begitu juga dengan pemerintah Kabupaten Pemalang yang menggunakan akronim SISEMOK yang merupakan kepanjangan dari Sistem Informasi Organisasi Kemasyarakatan.
Beberapa akronim lainnya adalah SICANTIK dari pemerintah Kabupaten Bogor yaitu Sistem Informasi Kehadiran dan Kinerja.
SIGANTENG dari pemerintah Provinsi Jawa Tengah yaitu SIstem Informasi Ketenagalistrikan Jawa Tengah.
SIPEDO dari Kabupaten Sumedang yang merupakan kepanjangan dari Sistem Pelatihan Berbasis Database Online.
Mas Dedi Memang Jantan yang dikeluarkan pemerintah Kota Tegal dan BPJS Ketenagakerjaan. Sebagai info tambahan, nama Bupati Tegal adalah Dedy Yon Supriyono.
Ada juga i-Pubers Petani yaitu Aplikasi Menebus Pupuk. Akronim ini digunakan oleh instansi di pemerintah Kabupaten Demak.
Kemudian adalah JEBOL YA MAS yang merupakan kepanjangan dari Program Inovasi Puskesmas Anggut Atas dari instansi di pemerintah Kota Bengkulu.
Berbagai akronim yang digunakan oleh pemerintah ini seolah menempatkan gender, khususnya perempuan untuk dihina.
Lusty Ro Manna Malau, pendiri Komunitas Perempuan Hari ini mengatakan akronim yang sekarang ini viral di media sosial adalah hal yang seksis.
Seolah-olah, pemerintah atau instansi pemerintahan tidak bisa menggunakan akronim yang lebih kreatif dan edukatif dibandingkan yang seksisme.
Hal ini membuktikan oknum di pemerintahan minim akan kreatifitas serta pemaknaan terhadap hal-hal yang lebih baik.
“Banyak yang bisa dibuat ketimbang membuat akronim yang lebih kreatif dan tidak mengacu pada organ tertentu atau bahasa yang selama ini tabu di masyarakat,” ujar Lusty Ro Manna Malau kepada PARBOABOA, Rabu (10/09/2024).
Lusty juga mengatakan bahwa ia tidak sepakat dengan adanya kategori seksualitas dengan bahasa yang menjadi istilah. Misalnya, kata vagina yang berarti alat kelamin perempuan diganti dengan bahasa pepek atau memek.
Hal ini cenderung menjadi ejekan atau bahkan hinaan kepada alat kelamin perempuan.
“Akhirnya masyarakat menggunakan bahasa-bahasa itu sebagai candaan, ejekan, dan bahkan dianggap bahasa yang sebenarnya. Padahal tidak,” tambahnya.
Pemerintah juga seharusnya melakukan edukasi ke masyarakat agar tidak menggunakan kata pepek atau kata lainnya yang identik dengan organ kemaluan baik wanita maupun laki-laki.
Diakui Lusty, akronim yang digunakan pemerintah yang sangat identik dengan seksisme itu bukanlah kejahatan gender karena tidak ada unsur pidana.
Namun, akronim yang dikeluarkan itu bisa dikatakan sebagai seksisme atau pelecehan terhadap perempuan dan seksualitas.
Menurutnya, budaya akronim yang cenderung melecehkan gender itu muncul karena budaya patriarki di Indonesia.
Walaupun selama ini pemerintah selalu mengusung kesetaraan gender dan sudah memahami tentang itu, namun kenyataannya itu semua hanya sekadar teori anggaran.
Pasalnya, dari pola pikir, pengetahuan, tutur, perilaku dan sikap sangat jauh dari kesetaraan gender.
“Kenapa harus begitu kalimatnya. Kenapa nggak melihat bahwa ada kalimat lain yang lebih informatif. Hal ini memberi kesan pemerintah tidak punya perspektif yang valid soal kesetaraan,” jelasnya.
Dampak dari minimnya perspektif pemerintah soal kesetaraan gender ini mengakibatkan perempuan menjadi bahan lelucon.
“Karena memang mereka tidak punya perspektif. Tapi secara implementasi sesederhana itu membuat akronim seksis,” tegas Lusty Ro Manna Malau.
Seorang warga Medan yang juga guru di salah satu sekolah dasar swasta, Tati Haryati mengaku kecewa dengan banyaknya akronim seksisme yang dikeluarkan oleh pemerintah di Indonesia.
Menurutnya, sebagai guru di sekolah dasar, memberikan edukasi terbaik adalah hal yang sangat penting bagi keberlangsungan generasi mendatang, khususnya dalam hal tata bahasa.
Bahasa dalam pergaulan sehari-hari menunjukkan tingkat edukasi seseorang dan etika yang dimiliki.
“Bayangkan saja kalau akronim-akronim seperti itu terus berkembang di pemerintahan Indonesia, apa yang mau kita ajarkan kepada anak-anak sekolah dasar yang baru mengenal tata bahasa,” jelasnya.
Bahasa itu adalah hal mendasar yang harus digunakan dengan baik. “Masa mereka nggak bisa menggunakan akronim yang lebih edukatif sih. Berarti waktu membuat akronim-akronim itu pemikirannya ya memang sampai di sana aja, seksis,” tegasnya.
Penggunaan bahasa Indonesia yang lebih sopan dan beretika menurut Tati sangat penting. Apalagi bagi anak-anak yang masih berada di sekolah dasar.
Dari generasi itulah mereka akan mengembangkan bahasa yang sopan dan baik juga. Namun, bila pemerintah atau orang yang lebih dewasa tidak menggunakan bahasa dengan santun dan edukatif, maka jangan salahkan generasi mendatang pemikirannya rendah.
Editor: Fika