PARBOABOA, Parapat – Kapal-kapal kayu di dermaga bergoyang-goyang dipermainkan gelombang datang. Diriku sedang sibuk kemarin siang mengabadikannya tatkala seorang lelaki jangkung, gondrong, beroblong-berswiter, bercelana pendek, dan bersepatu kets menghampiri.
“Where are you from...are you going to Samosir?” ucapnya dengan suara lantang.
Tak segera kujawab sebab sebuah kapal yang sedang merapat ke dermaga hendak kujepret.
Orang itu gigih. Pertanyaan ulangan “where do you come from,” kusahuti setelah mengabadikan beberapa kali kapal datang.
“Siburakburak,” jawabku.
“What do you mean...excuse me.”
“Parsiburakburak do ahu.” [Aku orang Siburakburak].”
“Really? I think you are foreigner [Betul? Saya kira Anda orang asing].”
“Parhuta on do ahu...[Aku orang kampung ini].”
Ia memandang dengan gaya menyelidik. Setelah memelototi dari atas bawah, ditanyanya rumahku di Siburakburak. Juga, siapa saja yang kukenal di sana.
Ia menggeleng ketika kukatakan “ Di sebelah rumah SS....Ompu Simon Sinaga. Kami sedinding”
“Atau...di depan rumah Guru Godang Sirait,” lanjutku saat ia tampak berpikir keras.
Untuk seterusnya kami bercakap dalam bahasa Batak Toba.
“Aku nggak kenal Guru Godang. Sirait di Siburakburak yang kutahu Adi Belso. Kami pernah bertemu di Jakarta. Aku pernah tinggal di Cawang.”
Merasa geli diriku. Soalnya, Guru Godang tak lain dari ayah kandung Adi Belso Sirait. Seorang periang dan pemurah yang sangat gemar membantu siapa saja, Adi Belso. Pegawai Angkasa Pura di Bandara Soekarno-Hatta, sudah dua periode dia menjadi ketua IKBPAS, perhimpunan orang Parapat-Ajibata dan sekitarnya di Jakarta.
Begitu merasa sudah nyambung, pria gondrong yang ternyata bernama Pungu Sialoho mengajak diriku ke kedai yang tak jauh dari pelabuhan. “Itu kedai kita. Di situ aku nongkrong sehari-hari.”
Seusai menjepreti dari kejauhan dengan kamera henpon dan DJI kawasan Kekebu-Ujung yang berada di bawah Istana Presiden—Passanggrahan Bung Karno, Parapat—barulah aku merapat ke warung dimaksud.
Kopi hitam kupesan dari Kedai Me Beatrice Napitupulu tersebut. Kami berdua lantas meneruskan pembicaraan. Pungu Sialoho ternyata paraman [keponakan] kawanku semasa di SMP Parapat, Oslin Sialoho. Ayahnya juga seniorku di sekolah tersebut. Tentu saja kukenal, Osgin namanya.
Dibawa pacarnya yang orang Bule, Pungu berpaling dari Tigaraja-Parapat. Di Bali ia kemudian bermukim bertahun-tahun. Ia tak merasa tercerabut dari akar sebab di sana terbilang banyak orang Parapat-Ajibata hingga sekarang.
Dari Bali ia lantas beralih ke sejumlah kota termasuk Bandung dan Jakarta untuk mencari sumber penghidupan. Merasa lelah merantau, menjelang pandemi Covid-19 mendera dunia ia akhirnya memutuskan pulang kampung.
Di Pelabuhan Tigaraja ia kemudian menjadi pemandu wisata. Modal pentingnya adalah bahasa Inggris yang fasih (tentu saja karena ia lama pacaran dengan perempuan bule), puspa pengalaman sebagai anak rantau, dan keramahan yang alami. Seperti yang kusaksikan saat kebersamaan sekitar 1,5 jam kemarin siang, ia selalu rajin menjambangi setiap yang berpotongan turis yang mendekat ke Pelabuhan Tigaraja.
Tukang ngomong bersemangat ini beberapa kali minta diri untuk menghampiri turis datang. Ada kalanya ia menggiring mereka ke warung kopi sebelah atau mengajak berbelanja buah di pasar sambil menunggu kendaraan.
Pungu Sialoho kemarin siang sedang galau. Pasalnya, kapal-kapal tertahan di Pulau Samosir akibat cuaca yang sedang tidak bersahabat. Jadwal tetamunya berantakan, jadinya.
Sempat juga ia curhat. Perhatian pemerintah yang minim terhadap layanan untuk pelancong di Tigaraja dan belahan lain Parapat serta kurangnya kerja sama di antara sesama pelayan wisata termasuk tour guide antara lain yang dikeluhkannya.
“Beginilah keadaan di sini: pusat informasi saja tidak ada. Kami juga saling jalan sendiri. Sude marsibahen na binotona [semua saling menjelankan apa yang diketahuinya],” ucapnya sebelum menghubungi lewat telepon genggam seseorang di Pulau Samosir untuk berkoordinasi.
Tampak bahwa lelaki jangkung yang rantaunya panjang tak jenak berpangku tangan.
PERINTIS JALAN
Saat diriku asyik bercakap dengan Pungu Sialoho ihwal Tigaraja yang kini cenderung menjadi tempat transit semata, seorang perempuan muncul di Kedai Me Beatrice Napitupulu. Ia melemparkan senyuman ke arahku setelah meneguk kopi susu. Wajahnya tak asing bagiku. Sebuah nama lantas muncul di benakku. Tapi, aku ragu kalau itu dia sebab setahuku ia berdomisili di Bali.
“Ada bagusnya Abang bercakap dengan Kak Malum tadi kalau mau tahu lebih banyak perkembangan Tigaraja,” kata Pungu.
“Oh, orang yang tadi Malum...Bukannya ia tinggal di Bali?”
“Sejak sekitar enam bulan terakhir Kakak itu sudah tinggal di sini. Warungnya di sebelah.”
Setelah membayar kopi hitam segelas aku mendekati warung sebelah. Ingin rasanya bertukar kata dengan kenalan lama.
Erika Malum Munthe, namanya. Putri Namboru Nan Janna boru Napitupulu ini adik kelasku di SD dan SMP. Abangnya, Alben, yang seletting [setingkat] dengan aku di sekolah. Sedangkan Surung, dia seniorku.
Begitupun, Erika Malum tak asing bagiku sebab dulu pernah sama-sama berjualan di Pelabuhan Tigaraja. Mereka berwarung nasi sedangkan kami berdagang BBM (minyak tanah, premium, solar, dan pelumas). Hanya saja, selepas SMP kami tak pernah bersua lagi. Untung saja ada Facebook sehingga dalam beberapa tahun terakhir kami bertaut lagi lewat perkawanan. Dari aplikasi inilah diriku tahu keluarganya bertempat tinggal di surga wisata dunia bersebutan Pulau Wewata.
Di gerainya yang mungil, Erika Malum sedang menggoreng ayam potong yang dibeli orang secara ‘take-away’ [dibawa pergi]. Kuhampiri dia di siang yang sangat terik.
Begitu bermuka-muka kami kontan bercakap tanpa berhenti. Sinar mentari yang langsung menerpa tubuh tak membuatku beringsut. Ia pun demikian: panas api kompor dan sempitnya ruang gerak di tempatnya berbisnis tak menjadi perintang.
Suaminya telah berpulang belum lama. Anaknya dua dan telah bekerja di luar Pulau Dewata. Si bungsu, perempuan, berada di Canberra, Australia.
Tinggal sendiri saja di kediamannya yang tak jauh dari patung raksasa bernama Garuda Wisnu Kencana (GWK)—di Ungasan, Kuta Selatan—ternyata membuat pikiran Erika Malum berubah kemudian. Hasrat melakukan sesuatu untuk tanah kelahiran yang sudah sangat lama ditinggalkan pun berpuncak. Klimaksnya, Bali akhirnya ia tinggalkan entah untuk berapa lama.
Erika Malum menjadi warga Provinsi Bali sejak 1987. Ia diminta datang oleh abang kandungnya, Warisan (Aris) Munthe, yang sudah menetap di sana sejak beberapa tahun sebelumnya.
Waktu itu Malum sedah lulus dari program diploma Universitas Nommensen Pematang Siantar, jurusan bahasa Inggris. Di Bali ia meneruskan pendidikan di Universitas Saraswati. Gelar sarjana strata satu (S-1) diraihnya di sana.
Ada catatan menarik ihwal Aris. Cas-cis-cus berbahasa Inggris, tadinya ia pemandu wisata asing di Parapat. Di jalan raya Siburakburak yang lengang, dulu sering ia kulihat menapak dengan para tetamu bule menuju travel Andilo di Parapat Kota. Dia juga bergabung dengan vokal grup penghibur turis-turis asing yang meramaikan hotel-hotel di kitaran Danau Toba.
Ternyata, Parapat yang sekian lama menjadi daerah tujuan wisata utama di Sumatra Utara dan tiga besar Indonesia—bersama Bali dan Yogyakarta—mengalami masa surut sejak paruh kedua 1980-an.
Merasa tak punya masa depan lagi, Aris pun berpaling ke Bali. Di sana ia bersama Sumanggak Hutajulu—'amanguda’ [paman] kandung biduan jebolan ajang X-Factor Indonesia, Alex Rudiart Hutajulu, dan seorang anak Parapat lainnya membentuk vokal grup di sana pada 1980-an. Dengan begitu, merekalah perintis jalan musisi-penyanyi asal Parapat-Ajibata-Pulau Samosir yang berkiprah di negeri dewa-dewa.
Adalah Aris Munthe yang meminta lae [ipar; anak tulang] kandungnya, Sopan Napitupulu, untuk mengadu nasib di Bali. Sopan bersama sesama anak Parapat: Aman Manurung, Octo Panjaitan, Ranav Samosir, dan yang lain membentuk grup untuk menghibur tetamu di kafe-kafe dan hotel-hotel di negeri pura.
“Ito Aris dan kedua temannya yang memulai. Kalau tak salah, Ranap dan kawan-kawannya angkatan kedua. Yang lain, termasuk Tongam, kemudian berdatangan sampai sekarang,” Eria Malum menjelaskan.
PANGGUNG TERAPUNG
Entah suaranya bagus seperti sang abang Aris Munthe atau tidak, tak tahu diriku. Yang pasti, si bungsu Erika Malum tidak menjadi penyanyi di Bali. Selulus dari Universitas Saraswati ia berkiprah di dunia pariwisata. Ia pernah bekerja di perusahaan travel, yacht, dan hotel. Dari yang terakhir inilah ia pensiun.
Sebagai orang yang kenyang merasakan asam-garam dunia pariwisatalah Malum pulang ke Tigaraja, Parapat, sekitar 6 bulan silam. Wajar kalau ia sangat berhasrat melakukan sesuatu untuk memperbaiki tanah kelahiran yang telah lama kehilangan pamor.
Pelabuhan Tigaraja yang jauh dari bersih yang paling mengusik dirinya di awal pulang. Jeroan ikan dan ayam serta runtah lain acap menumpuk di sana sehingga menerbitkan bau busuk serta mengundang lalat coklat dan hijau. Padahal, letaknya tak jauh dari pelabuhan yang menjadi tempat transit turis yang hendak pergi ke atau pulang dari Pulau Samosir.
Truk sampah sekali saja datang dalam seminggu sementara hari pokkan [pekan 3 kali: Selasa, Kamis, dan Sabtu. Memunguti plastik, sayur busuk, dan yang lain terkadang ia lakukan. Tapi, seberapa banyak yang bisa dihimpunnya bila sendirian?
Ia lantas mengontak kenalannya yang di Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) Jakarta, Menjalankan arahan sang kawan, ia pun menghubungi Dinas KLH Simalungun. Jawabannya ternyata tak memuaskan. Birokrasi yang panjang antara lain yang digarisbawahi. Malah disarankan menghubungi sejumlah instansi termasuk pemerintah setempat. Nyaris frustasi juga dia. Soalnya, niatnya bukan cari duit melainkan mengembalikan harkat tanah kelahiran.
Ternyata, angin segar akhirnya berhembus.
“Entah karena pengaruh kawan saya yang di KLH pusat itu, aku nggak tahu. Yang pasti sejak Maret 2025 Pelabuhan Tigaraja sudah rutin dibersihkan petugas negara. Truk sampahnya bukan satu lagi melainkan empat,” kata Malum dengan senyum sumringah. Tentu, lumayan malum [sembuh] hatinya.
Setelah masalah sampah teratasi, Erika Malum Munthe kini memikirkan perkara yang jauh lebih besar yakni menggeliatkan kembali pariwisata di Parapat, terlebih di Kelurahan Tigaraja.
“Seperti di Bali, kita nggak cukup kalau hanya menjual alam. Pertunjukan rutin juga harus ada,” tuturnya sembari membalik daging ayam a la ‘kentucky’ yang di penggorengan.
Panggung terapunglah yang ada di pikirannya sekarang. Penampil di sana adalah musisi dan penyanyi yang serba memikat. Di kitaran Parapat-Ajibata bibitnya banyak sedari ‘baheula’. “Aku sudah pernah sounding ide ini ke beberapa orang termasuk Tongam dan Paroma. “
Tongan Sirait adalah biduan-komponis veteran Bali yang sangat populer di kalangan kaum muda Batak termasuk yang berdiaspora. Putra Tuan Bos Sirait ini bermukim di Pelabuhan Tigaraja sejak beberapa tahun silam.
Adapun Paroma Panjaitan, ia menjadi pegiat sanggar tari di Dolok Sipiak, Parapat, setelah pensiun dini dari Indosat, Jakarta. Pernah menetap di Laguboti, anak Sosor Mangadar, Tigaraja ini sekarang sibuk mengurusi pariwisata dan budaya.
“Memulai dari langkah-langkah kecil dulu dengan melibatkan orang-orang se-visi. Itu yang sedang kulakukan,” ungkapnya.
Begitu kukatakan itu ide menarik, ia kontan melontarkan ajakan.
“’Ito’ juga kan sangat mencintai tanah kelahiran kita ini. Marilah kita bahu-membahu. Gunakanlah jaringan yang ada itu,” lanjutnya sembari mencoba meyakinkan lewat tatapan dan senyuman.
Sebuah ajakan yang tentu saja kusahuti dengan hangat. Dalam hati aku mengiyakan bahwa bagaimanapun harus si empunyalah yang lebih bertanggung jawab terhadap kampung halamannya sendiri. Kalau mereka saja tak peduli apa lagi orang lain. Bukankah begitu kawan sekalian yang budiman?
Marilah kita urusi kampung sendiri! Lebih baik terlambat daripada tidak.
Penulis: P. Hasudungan Sirait
Editor: Rin Hindryati