PARBOABOA, Jakarta - Dalam beberapa tahun terakhir, isu narkoba di Indonesia menjadi perhatian serius bagi masyarakat dan penegak hukum.
Pasalnya, penyalahgunaan obat terlarang tersebut yang terus meningkat tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga berimplikasi pada keamanan dan ketertiban masyarakat.
Dalam proses penegakan hukum sendiri, terdapat perbedaan penting antara pemakai dan pengedar narkoba yang sering kali masih belum dipahami oleh masyarakat luas.
Apa saja perbedaannya?
Undang-Undang No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (UU Narkotika) memang tidak secara spesifik mendefinisikan 'pengedar.'
Namun, berdasarkan KBBI, pengedar diartikan sebagai seseorang yang menyampaikan atau membawa sesuatu dari satu orang ke orang lainnya.
Pasal 35 UU Narkotika hanya menjelaskan bahwa peredaran narkotika mencakup aktivitas penyaluran atau penyerahan narkotika, baik untuk tujuan komersial maupun non-komersial, termasuk untuk layanan kesehatan serta penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pengedar adalah individu yang melakukan penyaluran atau penyerahan narkotika dalam berbagai konteks.
Kendati demikian, tidak semua peredaran narkotika juga dikategorikan sebagai tindak pidana.
Hal ini, misalnya berlaku pada peredaran narkotika yang memiliki izin resmi dari Menteri Kesehatan (Pasal 36 UU Narkotika).
Begitu juga penyerahan narkotika kepada pasien melalui resep dokter dan fasilitas kesehatan sesuai Pasal 43 dan 44 UU Narkotika, tidak dianggap melanggar hukum.
Sementara itu, pengguna narkotika menurut UU terbagi menjadi dua kategori:
Pertama, pecandu, yaitu orang yang menggunakan atau menyalahgunakan narkotika dan mengalami ketergantungan baik secara fisik maupun psikis (Pasal 1 angka 13, Pasal 54, Pasal 127).
Kedua, penyalah guna, yaitu orang yang menggunakan narkotika tanpa izin atau melawan hukum (Pasal 1 angka 15, Pasal 54, Pasal 127).
Adapun konsekuensi hukum bagi pelaku peredaran narkotika cukup berat.
Mereka yang terlibat dalam aktivitas seperti mengedarkan, menyalurkan, memiliki, menguasai, menjadi perantara, menyediakan, menjual, atau bahkan mengimpor dan mengekspor narkotika tanpa izin dari pihak berwenang dapat dikenakan sanksi pidana yang beragam, mulai dari hukuman penjara selama 2 hingga 20 tahun, hingga pidana mati atau penjara seumur hidup.
Namun begitu, besarnya hukuman tetap tergantung pada jenis dan jumlah narkotika yang diedarkan. Ketentuan pidana ini diatur dalam Pasal 111 hingga Pasal 126 UU Narkotika.
Di sisi lain, bagi pecandu dan penyalahguna narkotika, hukum mengarahkan pada rehabilitasi. Sesuai Pasal 54 UU Narkotika, "Pecandu Narkotika dan korban penyalahgunaan Narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial."
Hal ini menegaskan adanya pendekatan yang lebih humanis bagi pengguna, dengan tujuan pemulihan kesehatan fisik dan mental mereka.
Ambiguitas Penerapan Pasal-pasal
Meski secara tekstual UU mengatur secara jelas pasal-pasal yang menjerat pemakai dan pengedar narkoba, tetapi di lapangan terjadi kerancuan/ambiguitas.
Praktisi hukum, Eric Manurung mengatakan kerancuan tersebut terjadi karena pasal yang seharusnya dikenakan/diterapkan bagi bandar besar, pengedar, penjual atau kurir, namun dapat dikenakan juga pada korban penyalahguna atau pecandu narkotika.
Akibatnya, kata dia, banyak pengguna narkotika yang justru mendekam di lembaga pemasyarakatan, meskipun UU mengamanatkan rehabilitasi bagi mereka.
Dalam sebuah artikel, ia membagikan pengalaman saat mendampingi dua nelayan di Batam yang terjerat narkoba karena diajak mencoba sabu-sabu oleh seseorang.
Dengan harapan bisa bekerja lebih lama di laut, tulis Eric, mereka akhirnya ketagihan dan membeli sabu 0,5 gram seharga Rp200 ribu untuk konsumsi pribadi.
Namun, anehnya mereka dikenakan pasal berat yang umumnya untuk bandar atau pengedar besar, bukan Pasal 127 yang sesuai dengan kasus mereka sebagai pengguna.
Implikasinya, kedua orang tersebut dijatuhi hukuman penjara empat tahun, meskipun di tingkat kasasi hukuman dikurangi menjadi 1,6 tahun setelah hakim menyatakan keduanya sebagai penyalahguna narkotika.
Eric juga menyoroti ketidakpastian hukum yang dialami penyalahguna, karena seringnya Pasal 111 dan 112 yang berfokus pada peredaran diterapkan pada pengguna, padahal Pasal 127 jelas mengatur rehabilitasi bagi mereka.
Selain itu, ia menilai bahwa penerapan hukum yang terlalu keras pada pengguna berdampak buruk bagi negara.
Rutan dan LP kini, tulisnya menghadapi masalah kapasitas berlebih, di mana sebagian besar isinya adalah pengguna narkoba yang sebenarnya lebih tepat direhabilitasi.
Kondisi ini tidak hanya menambah beban negara tetapi juga sering menyebabkan para penyalahguna justru berubah menjadi pengedar setelah keluar dari penjara.
Eric menggarisbawahi bahwa mengirim pengguna ke penjara bukanlah solusi ideal. Mereka hanya menjadi korban dari pergaulan dan penyalahgunaan hukum yang tidak tepat.
Lantas, ia berharap ke depan, penegakan hukum dapat lebih adil, dengan tetap menjaga kepastian hukum, perlindungan, dan kemanfaatan bagi masyarakat.