PARBOABOA, Jakarta - Dunia pendidikan di Indonesia tengah mendapat sorotan luas akibat berbagai persoalan yang terjadi.
Setidaknya terdapat dua persoalan besar yang belakangan menyedot perhatian publik, yakni insiden kecelakaan bus pelajar di Subang dan isu kenaikan uang kuliah tunggal (UKT).
Terkait persoalan pertama, empat orang pelajar tewas, tujuh mengalami luka berat, dan tiga belas lainnya menderita luka ringan.
Sementara untuk persoalan kedua, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) akhirnya menunda sementara pengesahan UKT.
Kebijakan untuk menaikkan biaya pendidikan itu dinilai kontroversial dan mencekik golongan pelajar yang orang tuanya berpenghasilan menengah ke bawah.
Dua persoalan tersebut tentu membawa keprihatinan tersendiri. Berbagai elemen masyarakat dan pemerhati pendidikan pun angkat bicara.
Direktur Center for Education Regulations and Development Analysis (Cerdas), Indra Charismiadji memberi pendapat yang tegas dan menohok.
Baginya, sistem pendidikan di Indonesia cenderung komersial. Ia memotret gambaran tentang sejumlah aktivitas yang memiliki keserupaan dengan dinamika kerja pasar.
"Pendidikan saat ini banyak menggunakan mekanisme pasar. Seperti wisuda dan study tour dikomersialisasi untuk keuntungan," ucapnya saat diskusi di Jakarta, Rabu (29/05/2024).
Ia memberi contoh soal uang kuliah tunggal (UKT) hingga transformasi perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) yang dinilai salah kelola.
"Lembaga PTNBH, misalnya sama seperti menjadikan kampus sebagai ladang bagi kebanyakan pebisnis untuk mencari uang," ujarnya.
Jika dibandingkan dengan Amerika sebagai negara kapitalis, lanjut Indra, pengelolaan pendidikannya justru masih lebih baik dari Indonesia.
"Amerika justru nggak gini banget, nggak kapitalis seperti Indonesia," pungkasnya memberi tambahan.
Ia paham bahwa operasional institusi pendidikan butuh budget. Namun, bukan berarti hal tersebut mendorong komersialisasi yang malah memberi beban lebih untuk orang tua.
Semakin mahalnya biaya pendidikan, tentu akan memberi tekanan tersendiri untuk ekonomi keluarga. Situasi tersebut tentu menyulitkan orang tua maupun mahasiswa.
"Jika cara memperlakukan pendidikan hanya sebagai tempat mencari uang, maka yang terdampak bukan hanya keluarga dari kategori ekonomi rendah, tapi juga keluarga dengan ekonomi menengah," tuturnya.
Selaras dengan Indra, Menteri ESDM 2014-2016, Sudirman Said menilai situasi pendidikan tinggi saat ini memberikan tekanan ekonomi yang berlebihan kepada orang tua.
"Banyak ibu yang akhirnya memendam keinginan pribadi untuk memenuhi dana pendidikan anak. Oleh karena itu, kita berharap UKT tidak hanya ditunda, tapi juga tidak boleh ditetapkan," ungkapnya dalam kesempatan diskusi yang sama.
Lebih lanjut, Mantan Pjs. Rektor Universitas Paramadina itu menegaskan bahwa pendidikan bukan ladang komersial untuk mencari uang. Sebaliknya, pendidikan harus berorientasi pada upaya mencerdaskan bangsa.
"Kita ingat pembukaan konstitusi yang menegaskan bahwa dari empat tujuan negara, salah satunya adalah untuk mencerdaskan bangsa," ungkapnya.
Bertolak dari mandat konstitusional tersebut, ia menegaskan pentingnya perhatian pemerintah terhadap dunia pendidikan.
Perhatian yang intens akan membawah perubahan yang besar bagi bangsa Indonesia di masa yang akan datang.
Harapan untuk Prabowo-Gibran
Berhadapan dengan ragam persoalan yang terjadi atas pendidikan di Indonesia, baik Indra maupun Sudirman memiliki harapan penuh terhadap kerja pemerintah.
Sudirman mengingatkan pemerintah untuk bersikap adil dalam mengatur dinamika pendidikan agar seluruh warga mempunyai akses yang baik.
Sementara Indra menyebut pentingnya kesadaran para pejabat terkait esensi pendidikan sebagai jalan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
"Jadi kalau ada pejabat yang mengatakan pendidikan sebagai kebutuhan tersier yang bisa dipenuhi kalau punya duit saja, itu artinya mereka tidak sadar akan amanat konstitusional," ungkap Indra.
Ia menitip pesan kepada pemerintahan Prabowo-Gibran agar menunjuk menteri pendidikan yang memiliki nalar untuk mencerdaskan bangsa dan mensejahterakan rakyat.
"Jangan memilih menteri pendidikan yang bermental pedagang. Tapi pilih orang yang bisa mengelola lembaga pendidikan dengan benar sesuai tujuan," ungkapnya.
Hal tersebut bermaksud untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan sebaliknya “mencari keuntungan seperti yang dijalankan menteri pendidikan sekarang”.
Ia menyinggung perlunya perbaikan bersama dalam sistem pendidikan di Indonesia mengingat kualitasnya masih sangat rendah dan pengelolaannya kacau balau.
"Lucu kalau PTN lebih mahal daripada PTS, padahal kan PTN itu dosennya digaji pemerintah dan masih dapat dana operasional, kok biayanya bisa lebih tinggi dari PTS?"
Dengan semua pertimbangan demikian, ia berharap agar presiden dan wakil presiden terpilih mampu menaruh perhatian serius terhadap perbaikan pendidikan di Indonesia.
Hanya dengan cara demikian, maka persoalan-persoalan seperti kemiskinan dan pengangguran akan berkurang dan masa depan bangsa akan lebih cerah.