PARBOABOA, Jakarta - Sejumlah pakar mengingatkan bahaya dari fenomena dinasti politik yang berasal dari kultur politik yang datang dari elite partai, bukan dari bawah atau masyarakat.
Menurut pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti cara berpolitik seperti itu membuat masyarakat tidak memiliki suara untuk menentukan pilihannya sendiri. Misalnya saat pemilihan calon legislatif, calon presiden atau kepala daerah. Belum lagi, kata dia, benturan ambang batas parlemen atau parliamentary threshold.
"Ada narasi lesser evil. Tapi bukankah ini ironi. Sebuah ironi karena kita dipaksa memilih tiga capres. Ada sedikit partai yang punya tiket eksklusif," katanya saat menjadi narasumber dalam diskusi Demokrasi Dalam Pusaran Kekuasaan Politik Dinasti yang dipantau PARBOABOA, Selasa (3/10/2023).
Lesser evil merupakan konsep yang mengacu pada situasi pemilih harus memilih pilihan yang sama-sama tidak ideal, tidak sesuai preferensi, atau bahkan bermasalah.
Bivitri juga menilai, partai politik gagal memainkan peran konstruktif dalam politik Indonesia. Ia mencontohkan beberapa kasus pencalonan eks koruptor menjadi caleg serta partai yang tidak melakukan pendidikan politik terhadap pemilih.
"Kemudian kekuasaan absolut suatu jabatan. Kalau untuk kepala daerah, gubernur akan absolut sekali. Sehingga akan dimanfaatkan turun temurun," jelas Bivitri.
Ia menambahkan, dinasti politik bisa menyebabkan lemahnya kontrol terhadap kekuasaan.
"Bahkan, ada potensi pembajakan demokrasi yang dilakukan secara prosedural," imbuh Bivitri.
Sementara pakar politik lainnya, Ray Rangkuti mengatakan, dinasti politik memiliki corak hubungan kekeluargaan dan kekerabatan dan ada kekuasaan yang sedang dijabat.
"Darimana Gibran (Wali Kota Solo) mendaku (mengeklaim, red) popularitas? Dari ayahnya (Presiden Jokowi) dan itu tidak fair. Asas pemilu itu harus fair. Karena dia enggak kerja apa-apa dapat itu, saya yang harus habis-habisan kerja apa-apa, enggak dapat segitu. Itu loh! Meskipun tentu secara natural, enggak mungkin kita membuatnya juga dengan semua mulai dari nol," ungkapnya kala menjadi narasumber di acara yang sama.
Rangkuti yang juga Direktur Lingkar Madani Indonesia ini mengatakan, keberadaan dinasti politik beriringan dengan kepentingan modal. Bahkan, semua proses dijalankan lewat institusi pemerintahan resmi.
"Kekuasaan yang dikuasai segelintir keluarga itulah yang dinegosiasikan dengan para pemilik modal untuk menciptakan kebijakan yang berhubungan dengan hayat publik. Itu yang disebut dengan kolusi. Yang sekarang dibahasakan sebagai oligarki," jelasnya.
Tidak hanya itu, kata dia, proses dinasti politik ini juga mengabaikan tujuan berdirinya negara serta kepentingan publik.
Rangkuti mencontohkan, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja yang menjadi salah satu hasil dari kondisi itu.
“Tidak perlu tahunan untuk membuktikan itu. Salah satunya Peristiwa Rempang dimana semua perizinan, kehendak, kemauan dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah itu jadi centeng aja, alat pengaman. Ini akan terus menerus kita melihat ini," tambahnya.
PARBOABOA berupaya menghubungi Staf Ahli Presiden bidang Politik, Sukardi Rinakit untuk mengonfirmasi terkait politik dinasti. Namun hingga berita diterbitkan, belum ada jawaban dari yang bersangkutan.