Parboaboa, Jakarta – Pencabutan Jabatan Hakim Konstitusi (HK) Aswanto oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) telah melanggar Undang-undang dan independensi hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
“Pencopotan Hakim Konstitusi, Aswanto, dari jabatan sebagai Hakim Konstitusi oleh DPR adalah peragaan politik kekuasaan yang melanggar UU dan merusak independensi hakim dan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani kepada wartawan, Sabtu (01/10/2022).
Hasani menjelaskan, aturan untuk pemberhentian jabatan HK diatur sendiri oleh DPR dalam revisi ketiga UUD MK. Pemberhentian dapat dilakukan saat masa jabatan yang bersangkutan telah habis atau telah mencapai usia 70 tahun. Sedangkan pemberhentian ditengah jabatan hanya bisa dilakukan jika hakim konstitusi tersandung pelanggaran etik atau melakukan tindak pidana.
“Jika pun pemberhentian itu dilakukan di tengah masa jabatan, karena tersandung pelanggaran atau melakukan tindak pidana, maka pemberhentian hanya bisa dilakukan melalui Keputusan Dewan Etik Mahkamah Konstitusi,” katanya.
Selain itu Hasani menilai, Argumen ini bukan haya keliru tetapi mempunyai daya rusak bagi insitusi MK. DPR menganggap tiga orang hakim MK jalur DPR adalah wakilnya, yang harus berkomitmen mengamankan produk kerja DPR, yakni tidak membatalkan UU yang dibentuk oleh DPR dan presiden.
Sementara itu, Hasani menjelaskan aturan pengisian jabatan hakim MK dari tiga cabang kekuasaan, yaitu DPR, Presiden dan MA, bukan ditunjuk untuk mewakili kepentingan institusi tersebut tetapi untuk memastikan independensi, integritas, dan kontrol berlapis bagi keberadaan MK.
"Pencopotan Aswanto jelas menggambarkan penggunaan nalar kekuasaan yang membabi buta. Peragaan nalar sebagaimana diadopsi DPR akan membonsai kelembagaan dan hakim-hakim MK, khususnya yang berasal dari jalur DPR dan Presiden, karena posisi DPR dan Presiden sebagai pembentuk UU," ujarnya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR RI Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul membeberkan soal pencabutan Aswanto sebagai hakim konstitusi di MK merupakan keputusan politik dan tindakannya dalam memutuskan perkara tidak sejalan dengan kehendak DPR, sebagai pembentuk UU.