PARBOABOA, Jakarta - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) terus berinovasi dalam mengawasi dan mengatur sektor keuangan di Indonesia, salah satunya melalui pendekatan baru dalam penilaian kredit.
Selama ini, peran OJK sangat penting dalam melindungi konsumen serta menjaga stabilitas sistem keuangan dengan mengawasi berbagai entitas seperti perbankan, asuransi, pasar modal, dan lembaga keuangan lainnya.
Kini, OJK memperkenalkan metode penilaian kredit berbasis data media sosial dan tagihan listrik, sebuah langkah inovatif yang diharapkan mampu meningkatkan inklusivitas dalam akses keuangan.
Penilaian kredit selama ini menjadi proses penting bagi lembaga keuangan untuk menentukan kelayakan kredit seseorang.
Skor kredit biasanya didasarkan pada riwayat kredit calon peminjam, seperti catatan pinjaman atau kartu kredit, total utang, serta jangka waktu penggunaan kredit.
Namun, metode tradisional ini seringkali tidak mampu mengakomodasi kelompok masyarakat tanpa riwayat kredit atau yang dikenal sebagai unbanked. Situasi ini mengakibatkan mereka kesulitan untuk mengakses layanan keuangan.
Seiring perkembangan teknologi, pendekatan baru mulai diterapkan. Dengan menggunakan data non-tradisional seperti aktivitas di media sosial dan riwayat pembayaran tagihan listrik, lembaga keuangan dapat mengevaluasi kelayakan kredit seseorang dengan lebih inklusif.
OJK melihat potensi besar dalam penggunaan metode ini untuk membantu kelompok unbanked dan underbanked mendapatkan akses kredit yang lebih mudah.
Pada era digital, data dari media sosial dan konsumsi harian seperti tagihan listrik menjadi indikator yang relevan untuk menilai stabilitas finansial seseorang.
Perilaku di media sosial juga dapat memberikan gambaran tentang pola hidup individu, seperti frekuensi perjalanan, pembelian barang, atau interaksi dengan layanan keuangan.
Sementara itu, tagihan listrik yang stabil menunjukkan pola konsumsi yang konsisten, serta dapat mengindikasikan kestabilan finansial.
Kepala Eksekutif Pengawas Inovasi Teknologi Sektor Keuangan, Aset Keuangan Digital, dan Aset Kripto OJK, Hasan Fawzi, menjelaskan bahwa pendekatan ini, yang dikenal sebagai Alternative Credit Scoring (ACS), memanfaatkan data-data di luar historis kredit, seperti kebiasaan di media sosial, riwayat utilitas listrik, telepon, dan aktivitas di e-commerce.
Dalam acara Kick Off Bulan Fintech Nasional (BFN) di tahun 2024, Hasan menyampaikan, “Kredit skor kita akan segera keluar.”
Meskipun menjanjikan, metode ini pun juga menghadirkan tantangan besar terkait privasi dan keamanan data.
Data aktivitas media sosial dan tagihan listrik merupakan informasi sensitif yang memerlukan perlindungan ketat.
Konsumen berhak mengetahui bagaimana data mereka digunakan, siapa yang mengaksesnya, dan sejauh mana data tersebut diproses.
Regulasi yang tegas menjadi kebutuhan utama dalam implementasi metode ini. OJK bekerja sama dengan lembaga keuangan untuk mengembangkan standar keamanan data yang memadai, sehingga masyarakat dapat merasa aman menggunakan layanan ini.
Dengan regulasi yang tepat, kepercayaan masyarakat terhadap metode penilaian kredit berbasis data non-tradisional dapat meningkat.
Inovasi Melalui Big Data dan Machine Learning
OJK saat ini sedang menyusun Rancangan Peraturan OJK (RPOJK) terkait Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA).
Sistem ini memanfaatkan teknologi Big Data dan Machine Learning untuk menganalisis kemampuan membayar calon debitur secara lebih dinamis.
Dengan demikian, ICS (Innovative Credit Scoring) tidak hanya menjadi pelengkap Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) tetapi juga memberikan jangkauan yang lebih luas.
Hasan menjelaskan bahwa ICS akan memasukkan indikator dari berbagai sumber, seperti data telekomunikasi, utilitas, hingga kebiasaan bertransaksi di e-commerce.
“Kita maunya sebulan dari sekarang paling lambat. Jadi per akhir tahun ini ya,” pungkasnya.
Dengan adanya sistem ini, diharapkan analisis yang lebih komprehensif terhadap data alternatif dan perilaku keuangan individu dapat tercapai.
Selain itu, ICS juga membuka peluang untuk inovasi produk keuangan yang lebih relevan dengan kebutuhan pasar.
Dampak bagi Masyarakat dan Sektor Keuangan
PKA, sebagai salah satu bentuk ICS, menawarkan banyak manfaat. Kehadiran sistem ini memungkinkan kelompok unbanked mendapatkan akses ke layanan keuangan.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, menegaskan bahwa dengan PKA, informasi dari berbagai sumber dapat dimanfaatkan untuk menilai kelayakan kredit. “Makanya hati-hati, ya,” tambahnya sambil bercanda.
Selain itu, PKA memberikan fleksibilitas lebih besar bagi lembaga keuangan dalam menyalurkan kredit, khususnya kepada segmen pasar yang belum terlayani.
Hal ini diyakini akan mencegah potensi gagal bayar sekaligus meningkatkan kualitas kredit lembaga keuangan.
Dukungan dari Industri Perbankan
Industri perbankan, seperti PT Bank Central Asia Tbk (BCA), menyambut baik inisiatif ini.
EVP Corporate Communication & Social Responsibility BCA, Hera F, menyatakan bahwa perbankan akan mendukung kebijakan pemerintah dan berkoordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan untuk implementasi regulasi ini.
Penggunaan data alternatif seperti aktivitas media sosial dan tagihan listrik juga dapat dimanfaatkan pada sektor lain, termasuk dalam pemasaran.
Regulasi yang sedang dirancang OJK akan mengatur seluruh aspek penyelenggaraan PKA, mulai dari prinsip dasar, perizinan usaha, hingga tata kelola dan pengawasan.
Dengan kehadiran PKA dan ICS, OJK menciptakan solusi inovatif untuk memperluas akses layanan keuangan bagi masyarakat unbanked dan underbanked.
Langkah ini tidak hanya menjawab kebutuhan masyarakat tetapi juga memberikan peluang baru bagi lembaga keuangan untuk memperluas pasar.
Implementasi yang tepat, dengan dukungan regulasi dan teknologi, diharapkan mampu mendorong inklusivitas keuangan yang lebih besar di Indonesia.