PARBOABOA, Jakarta - Penambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Jambi terus memunculkan konflik antara masyarakat dan pemerintah.
Awalnya, konflik terjadi ketika empat penambang ilegal dari Desa Perentak ditangkap oleh kepolisian.
Namun, konflik terbaru melibatkan dua desa, yaitu Desa Perentak di Kecamatan Pangkalan Jambu, Kabupaten Merangin, Jambi, dan Desa Tamiai di Kecamatan Kerinci.
Warga Desa Tamiai mendesak kepolisian untuk melanjutkan proses hukum terhadap para tersangka, karena pelaku-pelaku ini telah melakukan penambangan emas ilegal di wilayah hutan adat mereka.
Konflik terkait tambang ilegal ini mencapai puncaknya pada Selasa (12/9/2023), ketika warga Desa Perentak melakukan pemblokiran jalan sebagai bentuk protes, dengan harapan agar empat penambang tersebut dibebaskan dari tahanan polisi.
Pihak kepolisian dan pemerintah daerah berusaha untuk memediasi konflik ini dengan mengadakan pertemuan antara perwakilan warga dari kedua desa di Desa Tamiai, Kerinci.
Pada akhirnya, pada Kamis (14/9/2023), jalan yang sebelumnya diblokir akhirnya dibuka kembali, memungkinkan lalu lintas untuk kembali lancar.
Namun, rencana pertemuan mediasi lanjutan dijadwalkan akan dilakukan pada Minggu (17/9/2023).
Sementara itu, dalam hal kasus hukum terkait PETI, Kasubbid Penmas Bidang Humas Polda Jambi, Kompol Mas Edy, menyatakan bahwa kasus ini masih dalam tahap penyelidikan (proses sidik).
Kasus PETI Terus Merebak Butuh Solusi
PETI di Jambi menjadi masalah yang kompleks dan memerlukan penyelesaian menyeluruh.
Tidak hanya jumlah pelaku penambangan emas ilegal yang terus meningkat, tetapi juga masalah luasnya wilayah PETI yang tersebar di berbagai titik.
Menurut data KKI Warsi tahun 2022, terdapat total 45.896 hektare lokasi PETI di enam kabupaten di Jambi.
Jumlah ini meningkat jika dibanding tahun 2021 yang mencapai 42.361 hektare, atau naik sebesar 3.535 hektare atau naik 8 persen.
Para penambang bahkan mulai melakukan aktivitas ilegal mereka di dalam kawasan hutan dan lahan masyarakat.
Achmad Nur Hidayat, seorang ekonom dari UPN 'Veteran' Jakarta, mengungkapkan, pertambangan rakyat menjadi salah satu sektor penting bagi perekonomian lokal dalam konteks pembangunan daerah.
Namun, pemerintah daerah nyatanya menghadapi dilema. Mereka harus mempertimbangkan berbagai aspek sebelum mengambil keputusan.
Di satu sisi, perlunya melindungi lingkungan, memprioritaskan keselamatan pekerja, dan mengamankan potensi pendapatan negara dari sektor pertambangan.
Tapi di sisi lain, banyak penduduk Jambi yang sangat bergantung pada penambangan emas ilegal sebagai sumber utama penghasilan mereka.
Bagi mereka, penambangan bukan hanya pekerjaan, tetapi juga kunci kelangsungan hidup.
Maka dari itu, pemerintah daerah harus mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dan inklusif sebelum menerapkan regulasi yang ketat.
Hal ini termasuk melaksanakan program pelatihan dan sosialisasi tentang pentingnya pertambangan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan agar masyarakat lebih terbuka untuk menerima dan mematuhi regulasi.
Setelah pemahaman ini tumbuh, pemerintah daerah dapat memberikan akses ke teknologi pertambangan yang lebih ramah lingkungan bagi penambang, yang dapat mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan meningkatkan produktivitas.
Tindakan lain yang bisa diambil adalah memberikan izin khusus bagi penambang kecil dengan persyaratan yang lebih sederhana agar mereka dapat beroperasi secara legal tanpa birokrasi yang rumit.
Untuk mencapai semua ini, komunikasi yang intens antara pemerintah dan komunitas penambang sangat penting untuk membangun rasa saling percaya dan mencegah potensi konflik.
Aparat keamanan juga harus menjaga pendekatan persuasif dan dialogis terhadap warga, mengingat penambangan ilegal adalah satu-satunya mata pencaharian bagi banyak penduduk.
Dialog dan pendekatan persuasif yang mengedepankan komunikasi dan mediasi harus menjadi prioritas.
Editor: Umaya khusniah