Kepastian Hukum Jadi Solusi Premanisme di Ibu Kota

Oprasi Penangkapan Kelompok Preman. (Foto:Instagram/@sekitargarut)

PARBOABOA, Jakarta - Perilaku premanisme, yang erat dengan aksi kekerasan, pemerasan, dan penguasaan lahan sengketa, bukanlah fenomena baru di Indonesia.

Tradisi ini bahkan telah berakar sebelum masa penjajahan. Dalam berbagai periode sejarah, premanisme bertransformasi dan tetap relevan, meski dalam bentuk yang berbeda. 

Penelitian Ian Douglas Wilson mengungkapkan bahwa benih-benih premanisme di Indonesia sudah ada sejak masa pra-penjajahan.

Kala itu, para preman dikenal sebagai  jagoan yang menguasai ilmu bela diri dan memiliki kekuatan fisik luar biasa. Sosok mereka dihormati dan ditakuti dalam komunitas lokal. 

Ketika Belanda mulai berkuasa, peluang preman untuk terlibat dalam percaturan politik semakin terbuka.

Para jagoan ini menjadi tokoh penting dalam dinamika politik lokal di Batavia, berperan dalam mengendalikan massa dan mendukung kepentingan tertentu. 

Robert Cribb, dalam penelitiannya, juga menyoroti keterlibatan preman dalam urusan ekonomi.

Ia mencatat bagaimana para preman bekerja bersama pengusaha dan pedagang kaya, termasuk dari kalangan Arab dan Tionghoa.

Mereka berfungsi sebagai pengatur buruh dan pemimpin kelompok perampok demi menjaga bisnis para pengusaha tersebut. 

Hingga hari ini, meskipun pola premanisme telah mengalami perubahan, afiliasi mereka dengan pengusaha dan politisi tetap terlihat jelas.

Investigasi dari Parboaboa  yang bertajuk, “Preman-preman Timur di Jantung Ibu Kota”,pada Senin (21/10/2024) memperkuat hal tersebut.

Eten, seorang pria asal Ambon, membeberkan keterlibatan preman dalam berbagai kegiatan politik. 

Menurut Eten, sebagian besar kelompok preman tidak terikat dengan elit politik tertentu. Mereka bersifat fleksibel dan bergerak sesuai kebutuhan.

Ketika ada kepentingan politik, para elit akan menghubungi koordinator di wilayah Jabodetabek untuk menggerakkan massa.

Negosiasi biaya biasanya dilakukan antara koordinator dan elit politik, sementara para eksekutor lapangan jarang mengetahui detail kesepakatan. 

“Orang-orang di bawah nggak tahu dapat berapa. Semua diatur ketua wilayah. Kita sudah saling mengerti saja,” ungkap Eten. 

Fenomena premanisme ini sering muncul dalam bentuk aksi pengerahan massa, seperti yang terlihat belum lama ini dalam pembubaran paksa acara diskusi Forum Tanah Air (FTA) di Kemang, Jakarta Selatan.

Sekelompok orang tiba-tiba menyerbu acara dan memaksa kegiatan dihentikan tanpa alasan jelas. Mereka juga menurunkan spanduk yang terpasang di lokasi acara. 

Banyak yang menduga bahwa aksi seperti ini dilakukan untuk melayani kepentingan elit politik tertentu. Namun, hingga kini, dugaan tersebut belum dapat dibuktikan.

Selain itu, kelompok-kelompok preman ini sering terlihat sebagai penagih dan penjaga lahan sengketa di wilayah Jakarta, memperlihatkan pola kerja yang sama dengan masa lalu. 

Pakar psikologi forensik, Reza Indragiri Amriel, menilai bahwa suburnya premanisme di Indonesia mencerminkan broken window theory atau teori jendela pecah.

Teori ini menyatakan bahwa ketika tanda-tanda ketidakteraturan dan ketiadaan penegakan hukum dibiarkan, masyarakat akan cenderung mengikuti pola perilaku destruktif. 

Ketika di suatu wilayah jelasnya, ada simbol-simbol tidak hadirnya hukum dan keteraturan, “maka orang baik pun bisa berubah menjadi perusuh," kata Reza di Jakarta. 

Ia menambahkan bahwa lingkungan yang buruk dapat mendorong tindakan kriminal semakin parah.

Tanpa intervensi tegas, premanisme akan terus berkembang, menciptakan siklus kekerasan dan ketidakaturan dalam masyarakat. 

Reza menyarankan bahwa penanganan premanisme harus dilakukan secara komprehensif, mencakup pendekatan preemtif, preventif, represif, rehabilitasi, dan reintegrasi.

Namun, proses ini membutuhkan waktu yang lama. Untuk hasil cepat, ia merekomendasikan langkah represif dengan fokus pada penindakan langsung terhadap pelaku dan ekspos media. 

“Ekspos pelaku ke publik. Dengan begitu, tindakan negatif seperti ini bisa dicegah berkembang lebih jauh,” ujarnya. 

Ia mencontohkan kekerasan terkait premanisme yang terjadi pada 31 Desember 2023, ketika petugas Satpol PP diserang sekelompok orang tak dikenal di depan Plaza Indonesia, Menteng.

Insiden ini mempertegas perlunya penanganan cepat terhadap aksi-aksi brutal yang sering terjadi di ruang publik. 

Perlu diakui, premanisme tidak hanya meresahkan masyarakat, tetapi juga menantang penegakan hukum di Indonesia.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia memberikan kewenangan kepada aparat untuk menindak segala bentuk kekerasan dan pemerasan.

Selain itu, Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur ancaman pidana bagi pelaku pemerasan dan kekerasan. 

Namun, tanpa koordinasi yang kuat antara aparat penegak hukum dan pemerintah daerah, sulit untuk memberantas premanisme secara efektif.

Penegakan hukum yang konsisten dan transparansi dalam proses hukum sangat diperlukan untuk memutus hubungan antara preman dan elit politik. 

Editor: Norben Syukur
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS