PARBOABOA, Jakarta - Kasus korupsi Hakim Agung nonaktif, Gazalba Saleh, memasuki babak baru usai KPK tidak menjeratnya dengan pasal suap.
KPK beralasan, kategori suap harus memenuhi paling tidak dua unsur, yakni penyuap dan penerima suap.
Dalam kasus Gazalba Saleh, lembaga anti rasuah tidak dapat mengidentifikasi identitas penyuap, sehingga penerapan pasal suap dinilai kurang tepat.
Gazalba akhirnya hanya dikenai pasal gratifikasi. Namun, alasan KPK tidak bisa diterima begitu saja.
Pasalnya, sejak awal kasus ini mencuat, indikasi dan dugaan penyuapan dikonfirmasi dalam beberapa perkara yang ia tangani di Mahkamah Agung (MA).
Beberapa diantaranya, yaitu: pengondisian kasasi eks Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo, kasasi Rennier Abdul Rahman Latief dan peninjauan kembali (PK) terpidana Jafar Abdul Gaffar.
Melihat kondisi kerancuan hukum yang dibangun KPK, Pengamat Hukum Edi Hardum, mengendus ada yang tidak beres dengan penanganan perkara Gazalba Saleh.
Menurut Edi, ada indikasi kuat, pelaku suap terkait dengan orang-orang tertentu dalam dunia politik, bahkan mungkin terkait dengan lingkungan istana.
Edi mengaitkan kasus ini dengan pernyataan Agus Rahardjo, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang mengaku pernah dimintai Presiden Jokowi agar menghentikan kasus suap yang melibatkan Setya Novanto.
"Kalau saya kaitkan bagaimana Jokowi atas pengakuan Agus Rahardjo, dia meminta agar kasus Novanto dihentikan. Ini saya menduganya ke sana karena KPK tidak mau memakai pasal penyuapan," kata Edi kepada PARBOABOA, Sabtu (2/12/2023).
Edi Hardum lebih lanjut menduga, KPK mungkin melindungi pihak tertentu dalam kasus ini. Dan, jika pasal gratifikasi yang diterapkan, maka pihak yang memberikan suap tidak akan dikejar, yang terkena hukuman hanya pihak yang menerima, seperti hakim Agung yang kini menjadi tersangka.
"Ini tidak bagus dalam penegakan hukum. Harus diseret. Yang memberikan uang harus dimintai pertanggungjawaban. Tidak boleh pandang bulu, KPK harus bekerja tanpa tekanan," tegasnya.
Edi Hardum menegaskan, dalam penegakan hukum, tidak boleh hanya satu pihak yang menjadi korban, seperti yang terjadi pada eks Hakim Agung Gazalba Saleh.
Ia meminta harus ada keadilan dan pertanggungjawaban dari semua pihak yang terlibat, termasuk yang memiliki kaitan dengan kekuatan politik atau istana.
"Pemberian itu tidak mungkin tanpa adanya kesepakatan atau konsensus. Niatnya jelas sekali. Jangan hanya si hakim Agung ini yang menjadi korban. Semua yang terlibat, termasuk yang berhubungan dengan kekuatan Jokowi atau partai politik tertentu, harus dimintai pertanggungjawaban," pungkasnya.
Harus Dijerat dengan Pasal Suap
Melihat titik terang kasus Gazalba Saleh, Edi mengatakan, perkara a quo seharusnya dijerat dengan pasal penyuapan atau pasal suap, bukan gratifikasi.
Menurutnya, motif yang terlihat sangat jelas dalam kasus Gazalba Saleh adalah untuk mengatur perkara yang sedang ditangani, khususnya yang melibatkan Eddy Prabowo.
"Kalau saya melihat perkara ini, ya, perkara yang menjerat Hakim Agung non aktif Gazalba Saleh ini seharusnya dijerat dengan pasal penyuapan atau pasal suap. Mengapa? Karena motifnya sangat jelas, yaitu untuk menangani perkara yang ditangani, salah satunya oleh Eddy Prabowo," ujar Edi Hardum.
Akademisi sekaligus dosen pada salah satu Kampus Swasta di Jakarta ini, menjelaskan perbedaan antara suap dan gratifikasi.
Suap, menurut Edi Hardum, melibatkan pemberian terkait dengan jabatan, yang dalam hal ini adalah jabatan hakim Agung. Selain itu, terdapat kesepakatan atau konsensus antara pemberi dan penerima suap.
"Dalam kasus ini, jelas ada konsensus antara pemberi suap dan Hakim Agung Saleh. Tidak mungkin KPK tidak bisa menemukan siapa pemberi suapnya. Motifnya, atau yang disebut mens rea-nya, adalah untuk mengamankan perkara yang sedang ditangani," katanya.
Edi Hardum menegaskan, ada meeting of mind atau kesepakatan yang terjadi dalam kasus ini, yang menunjukkan adanya konsensus antara pemberi suap dan Hakim Agung Gazalba Saleh. Hal ini, menurutnya, memenuhi unsur suap dalam arti sebenarnya.
"Saya tegaskan bahwa perkara ini adalah suap. Ada meeting of mind, ada konsensus, ada kesepakatan antara pemberi suap dan penerima suap. Hakim Agung terkait pemberian dalam jabatan, yang pasti terkait dengan kasus yang sedang ditanganinya. Ini namanya suap," tutupnya.
Editor: Rian