Kontroversi Mayor Teddy Indra Wijaya jadi Seskab

Mayor Teddy Indra Wijaya bersama Presiden Prabowo Subianto. (Foto: Instagram/@mayorteddy_)

PARBOABOA, Jakarta - Pengangkatan Teddy Indra Wijaya atau Mayor Teddy sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) menuai kontroversi.

Banyak pihak menilai, penunjukkan tersebut memperlihatkan noda awal di tubuh TNI karena dilakukan dengan menabrak Undang-Undang.

Diketahui, dalam UU TNI, seseorang diperbolehkan menduduki jabatan sipil, termasuk menjadi menteri hanya kalau yang bersangkutan telah pensiun atau menyatakan pensiun dini.

Adapun Teddy saat ini, masih berstatus sebagai tentara aktif dengan pangkat Mayor, setara dengan Komisaris Polisi di Kepolisian Republik Indonesia (Polri).

Pihak istana, melalui Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Hasbi merespons polemik ini dengan mengatakan, posisi Teddy tidak setara dengan menteri.

Tak hanya itu, Hasan juga menyampaikan Presiden Prabowo Subianto telah mengubah nomenklatur Seskab menjadi seperti Sekretaris Militer dan Sekretaris Pribadi.

Itu artinya, kata dia, Mayor Teddy nantinya akan bekerja di bawah Kementerian Sekretariat Negara bukan bekerja sebagai menteri.

"Itu kemungkinan besar ada di bawah Kementerian Sekretariat Negara, kata Hasan Hasbi belum lama ini.

Apa yang disampaikan Hasan diperkuat oleh Politikus Partai Gerindra, Sufmi Dasco Ahmad. Menurutnya, Teddy tidak perlu mengundurkan diri karena Prabowo telah mengubah nomenklatur pejabat-pejabatnya.

Itulah sebabnya Teddy tetap legal mengisi jabatan-jabatan-jabatan lainnya seperti Sekretaris Militer dan Sekretaris Pribadi.

Dasco menambahkan batasan paling tinggi setingkat yang diduduki Teddy saat ini adalah berpangkat Brigadir Jenderal atau setara eselon dua.

Dengan demikian tegasnya, "saudara Teddy tanpa harus pensiun dari TNI karena bukan setingkat menteri."

Dalam keterangan terpisah, Anggota DPR dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin mengatakan Mayor Teddy tidak memenuhi kualifikasi sebagai Seskab.

Hal itu karena posisi Seskab berada di luar 10 lembaga yang diatur oleh UU untuk ditempati Prajurit TNI aktif. 

Persoalannya kata Hasanuddin, bukan soal apakah Seskab setara dengan menteri atau tidak, tetapi penempatan prajurit TNI aktif hanya diperbolehkan di 10 lembaga/kementerian (KL) tersebut.

Untuk menghindari pelanggaran terhadap UU, Hasanuddin menyarankan Mayor Teddy "mengundurkan diri dari TNI setelah dilantik."

Atau, kalau tidak UU-nya harus direvisi terlebih dahulu untuk menyesuaikannya dengan posisi Mayor Teddy saat ini.

Adapun 10 KL yang diperbolehkan untuk ditempati TNI aktif adalah Kementerian Pertahanan, BIN, BNN, BSSN, Sesmilpers, Polhukam, MA, SAR, Wantanas dan Lemhanas.

Sementara itu, Peneliti SETARA Institute, Ikhsan Yosarie mengatakan, dalil istana yang menyebut Seskab berada di bawah Kementerian Sekretariat Negara untuk membenarkan posisi Mayor Teddy tidak nyambung dan tidak masuk akal.

Menurutnya hal itu tidak relevan dan tidak menjawab persoalan regresi reformasi TNI. Selain tidak sesuai aturan, ia menyebutnya, sebagai "noda awal di pemerintahan Prabowo terhadap semangat reformasi TNI."

Untuk diketahui, penempatan anggota aktif TNI dalam jabatan sipil, seperti pengangkatan Mayor Teddy sebagai Seskab, bukanlah kasus pertama yang memicu perdebatan publik.

Berdasarkan data KontraS, praktik serupa telah berlangsung antara 2018 hingga 2021, dengan sedikitnya sepuluh perwira menengah dan tinggi TNI menduduki berbagai jabatan sipil. Kebanyakan dari mereka diangkat sebagai komisaris BUMN, sementara lainnya ditempatkan di kementerian atau sebagai staf khusus menteri.

Salah satu contohnya terjadi pada tahun 2019, ketika Letnan Jenderal TNI Doni Monardo ditunjuk sebagai Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Penunjukan Doni memicu kritik karena BNPB tidak termasuk dalam daftar lembaga yang boleh dipimpin oleh prajurit aktif, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang TNI. 

Namun, sehari sebelum Doni dilantik, Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 1 Tahun 2019. Aturan tersebut membuka peluang bagi jabatan Kepala BNPB untuk diisi oleh PNS, prajurit TNI, anggota Polri, atau tenaga profesional, dengan hak keuangan dan administrasi setara menteri. Sejak saat itu, anggota aktif TNI dapat menduduki jabatan tersebut hingga kini.

Kasus-kasus seperti ini menimbulkan kekhawatiran karena dianggap melangkahi aturan dan mengaburkan batas peran antara militer dan sipil, yang menjadi fokus reformasi TNI setelah 1998. Selain itu, dinilai dapat memperlemah profesionalisme militer karena membuka peluang bagi prajurit aktif untuk berperan dalam pemerintahan sipil.

Ikhsan mengungkapkan, terhambatnya reformasi TNI sebagaimana terjadi di atas sering kali tidak hanya disebabkan oleh internal TNI, tetapi juga oleh peran pejabat sipil. Menurutnya, pejabat sipil justru seringkali membuka ruang bagi prajurit aktif untuk terlibat dalam peran atau jabatan yang tidak sesuai dengan fungsi pertahanan.

Ia juga menekankan bahwa presiden, meskipun berlatar belakang militer seperti Prabowo Subianto, tetap harus berpegang pada prinsip supremasi sipil. Setelah beralih menjadi warga sipil, presiden wajib mengikuti mekanisme dan aturan demokrasi yang berlaku, di mana hukum dan sistem demokrasi menjadi acuan utama dalam menjalankan pemerintahan. 

Hal ini berarti, setiap kebijakan yang melibatkan militer harus tetap berada dalam kerangka aturan demokrasi dan tunduk pada rule of law yang berlaku.

"Sipil artinya dia harus tunduk kepada mekanisme dan sistem demokrasi yang berlaku. Rule of law-nya adalah demokrasi sekarang," kata Ikhsan.

Reformasi 1998 memang memiliki tujuan untuk mengakhiri doktrin Dwifungsi ABRI, yaitu konsep yang membuat Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (TNI pada era Orde Baru) berperan ganda. Selain menjaga pertahanan dan keamanan, mereka juga terlibat aktif dalam sektor politik dan sosial. Pada masa itu, para perwira militer menduduki berbagai jabatan sipil, mulai dari bupati, gubernur, hingga menteri.

Para aktivis menilai bahwa peran ganda ini dimanfaatkan oleh penguasa Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan dengan cara otoriter, yang pada akhirnya melemahkan sistem demokrasi.

Konsep Dwifungsi ini pertama kali diperkenalkan oleh Jenderal Abdul Haris Nasution dalam pidatonya pada peringatan ulang tahun Akademi Militer Nasional, November 1958. Saat itu, ia menyebutnya sebagai 'Jalan Tengah,' dengan maksud agar militer tidak hanya bertugas dalam pertahanan dan keamanan, tetapi juga berperan dalam aspek ideologi, politik, ekonomi, dan sosial masyarakat.

Di era pemerintahan Suharto, konsep ini ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 82 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan dan Keamanan Negara. UU tersebut mengatur bahwa militer memiliki hak untuk terlibat dalam pengambilan keputusan politik dan pemerintahan serta berperan dalam pembangunan nasional. Hal ini membuat militer menduduki berbagai posisi sipil, mulai dari ketua rukun tetangga hingga menteri.

Setelah reformasi, konsep Dwifungsi dihapus, dan TNI mulai menjalani reformasi untuk memisahkan peran militer dari urusan sipil. Langkah ini diambil untuk memperkuat demokrasi dan memastikan profesionalisme TNI dalam menjaga pertahanan dan keamanan negara tanpa campur tangan dalam urusan politik dan pemerintahan.

Editor: Gregorius Agung
TAG :
Baca Juga
LIPUTAN KHUSUS