PARBOABOA, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkap asal-muasal uang hampir Rp100 miliar yang telah disita dalam penyidikan kasus dugaan korupsi kuota haji tambahan untuk penyelenggaraan ibadah haji tahun 2024.
Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan bahwa uang tersebut berasal dari berbagai sumber dengan beragam modus.
Ada yang berkaitan dengan permintaan percepatan proses tertentu, dan ada pula yang berupa “setoran” atau pungutan kepada sejumlah pihak di lingkungan Kementerian Agama.
Semua dana tersebut, menurut Budi, kini telah diamankan sebagai bagian dari proses pembuktian perkara. Uang yang disita itu diketahui berasal dari beberapa Penyelenggara Ibadah Haji Khusus (PIHK).
Sejumlah biro perjalanan haji yang tergabung dalam Aliansi Silaturahmi Penyelenggara Haji dan Umrah Azhari Indonesia (Asphuri), Himpunan Penyelenggara Umrah dan Haji (HIMPUH), serta pemilik PT Zahra Oto Mandiri (Uhud Tour), Khalid Zeed Abdullah Basalamah, disebut telah mengembalikan sejumlah dana ke KPK.
Budi menegaskan bahwa langkah penyitaan ini merupakan bagian penting dari upaya pembuktian penyidik dalam menelusuri aliran dana yang berkaitan dengan perkara tersebut.
Ia menambahkan, semua temuan akan digunakan untuk memperkuat konstruksi hukum yang sedang disusun oleh KPK.
Sebelumnya, Ketua KPK Setyo Budiyanto mengungkapkan bahwa total uang yang telah disita mendekati Rp100 miliar. Meski belum mencapai ratusan miliar, jumlahnya sudah mencapai puluhan miliar rupiah dan masih terus bertambah.
Ia menuturkan, penanganan kasus ini membutuhkan waktu cukup panjang karena diduga melibatkan lebih dari 400 biro perjalanan haji dengan aliran dana ke banyak pihak.
KPK juga masih menelusuri individu yang berperan sebagai penyimpan uang hasil dugaan korupsi tersebut. Dalam proses pelacakan aliran dana, lembaga antirasuah ini bekerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Dari hasil perhitungan awal, KPK memperkirakan kerugian negara akibat kasus kuota haji tambahan tahun 2023–2024 mencapai lebih dari Rp1 triliun. Temuan ini akan dikonfirmasi dan dikoordinasikan lebih lanjut dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sebagai langkah hukum, KPK telah mencegah tiga orang bepergian ke luar negeri selama enam bulan. Mereka adalah mantan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas, staf khususnya Ishfah Abidal Aziz, serta pemilik agen perjalanan Maktour Travel, Fuad Hasan Masyhur.
Selain itu, penyidik juga melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi yang diduga berkaitan dengan perkara ini.
Beberapa tempat yang telah diperiksa antara lain rumah kediaman Yaqut di Condet, Jakarta Timur; kantor biro perjalanan haji dan umrah di Jakarta; rumah salah satu ASN Kementerian Agama di Depok; serta ruang Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (PHU) di Kementerian Agama.
Dari penggeledahan tersebut, KPK menyita sejumlah barang bukti penting, seperti dokumen, barang bukti elektronik, kendaraan, dan beberapa aset properti yang diduga kuat memiliki keterkaitan dengan kasus korupsi kuota haji tambahan ini.
Kronologi Singkat
Penyelidikan atas kasus dana haji sejatinya telah menjadi sorotan sejak DPR membentuk Panitia Khusus Hak Angket Haji pada 2024 untuk menyelidiki kebijakan penetapan kuota tambahan dari Pemerintah Arab Saudi.
Namun, masa kerja DPR periode 2019–2024 yang berakhir membuat pansus tersebut tidak tuntas. Meski begitu, hasil penyelidikannya tetap membuka jalan bagi aparat penegak hukum untuk menelusuri potensi praktik korupsi di balik kebijakan itu.
Dalam penyelidikan, KPK memanggil sejumlah pihak dari kalangan biro perjalanan haji hingga pejabat Kemenag. Salah satu yang dimintai keterangan adalah Yaqut Cholil Qoumas.
Ia mengakui telah memberikan klarifikasi terkait alasan pembagian kuota tambahan haji tahun 2024, meskipun enggan menjelaskan isi pemeriksaan secara rinci.
Pembagian kuota ini sebelumnya menuai pertanyaan publik karena adanya kebijakan pembagian 50:50 antara haji reguler dan haji khusus.
Hanya sehari setelah pemeriksaan Yaqut, tepatnya pada 9 Agustus 2025, KPK resmi meningkatkan status perkara ini ke tahap penyidikan.
Deputi Penindakan KPK, Asep Guntur, menyebut penyidik telah menemukan indikasi kuat adanya tindak pidana korupsi dalam proses penentuan dan pengelolaan kuota haji.
Langkah ini ditandai dengan diterbitkannya Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) umum yang mengacu pada Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. UU Nomor 20 Tahun 2021, serta Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sprindik ini menandakan dimulainya penyidikan tanpa mengungkap identitas tersangka.
Dua hari kemudian, pada 11 Agustus 2025, KPK mengeluarkan surat pencegahan bepergian ke luar negeri terhadap tiga orang yang diduga memiliki kaitan dengan perkara tersebut, yakni Yaqut Cholil Qoumas, staf khususnya Ishfah Abidal Aziz, serta pemilik Maktour Travel, Fuad Hasan Masyhur.
Juru bicara KPK, Budi Prasetyo, menjelaskan langkah ini diambil untuk memastikan ketiganya tetap berada di Indonesia selama proses penyidikan yang berlaku untuk enam bulan ke depan.
Sepekan setelahnya, KPK melakukan penggeledahan di sejumlah lokasi penting, termasuk kantor Kementerian Agama, rumah pribadi sejumlah pejabat, dan kantor biro perjalanan haji.
Dari hasil penggeledahan di Maktour Travel di Jakarta, penyidik menemukan indikasi adanya upaya penghilangan barang bukti. KPK pun mempertimbangkan penerapan pasal obstruction of justice terhadap pihak swasta yang mencoba menghambat penyidikan.
Selain itu, penyidik juga menyita berbagai barang bukti dari beberapa lokasi, seperti dokumen penting, barang bukti elektronik, aset properti, serta satu unit kendaraan roda empat.
Pada 15 Agustus 2025, penggeledahan berlanjut ke rumah seorang ASN di Depok dan kediaman Yaqut di Jakarta Timur.
Meski KPK belum mengungkap secara rinci hasil dari penggeledahan rumah Yaqut, langkah tersebut menandai eskalasi serius dalam upaya penegakan hukum terhadap dugaan korupsi di sektor penyelenggaraan haji.