PARBOABOA, Jakarta – Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan agar pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 di setiap Tempat Pemungutan Suara (TPS) dibatasi hanya 300 pemilih.
Terkait hal itu, ketua Badan pengawas Pemilu (Bawaslu) Rahmat Bagja menilai rencana KPU tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dalam UU tersebut tertulis, jumlah pemilih tiap TPS maksimal 500 orang.
"Terhadap rancangan PKPU penyusunan daftar pemilih dalam penyelenggaraan pemilu, Bagja mengungkapkan ada dua pasal yang dinilai Bawaslu tidak sesuai dengan ketentuan dalam Undang Undang 7/2017 tentang Pemilu, yakni Pasal 15 dan 86. Pasal 350 ayat (1) UU Pemilu mengatur jumlah pemilih untuk setiap Daftar Pemilih Sementara (DPS) paling banyak 500 orang, sedangkan pasal 15 ayat (3) Rancangan PKPU mengatur jumlah pemilih setiap TPS paling banyak 300 orang," ucap Bagja dalam keterangannya, Selasa (4/10/2022).
"Ketentuan pasal 15 ayat (3) Rancangan PKPU tidak sesuai dengan ketentuan pasal 350 Ayat (1) UU Pemilu," sambungnya.
Bagja juga menyoroti Pasal 86 ayat (3) yang berbunyi 'salinan DPT yang diberikan tidak menampilkan informasi NIK, nomor KK, nomor Paspor, dan/atau nomor SPLP secara utuh'. Menurutnya, pasal tersebut harus dikecualikan terhadap pengawas Pemilu.
"Ini karena pengawas Pemilu bagian dari penyelenggara Pemilu yang mempunyai satu kesatuan fungsi dengan KPU," katanya.
Bagja juga menyoroti rancangan PKPU terkait pencalonan perseorangan peserta Pemilu anggota DPD. Ia menilai ketentuan Pasal 15 Pasal 15 ayat (3) Rancangan PKPU tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 182 huruf (g) Undang-Undang Pemilu.
“Bahwa ketentuan Pasal 15 ayat (3) huruf c disamakan pengaturannya dengan Pasal 15 ayat (3) huruf b, sepanjang yang bersangkutan mengemukakan secara jujur dan terbuka kepada publik maka yang bersangkutan dapat menjadi peserta Pemilu,” katanya.
Bagja mengatakan, ada tiga pasal dalam rancangan PKPU tentang Pastisipasi Masyarakat (Parmas) dalam pemilu dan pilkada yang tidak sesuai dengan UU Pemilu, yakni Pasal 6, Pasal 10, dan Pasal 29.
Menurutunya, Pasal 6 rancangan PKPU itu menyebut partai politik (parpol) bisa meningkatkan partisipasi masyarakat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun dalam pasal 448 UU Pemilu, katanya, tidak memberikan hak kepada parpol untuk berperan dalam peningkatan partisipasi masyarakat karena parpol adalah peserta pemilu.
“Hal ini sesungguhnya untuk mencegah konflik kepentingan dan untuk mewujudkan pemilu yang jujur. Dengan demikian Pasal 6 rancangan PKPU tersebut, tidak sesuai dengan prinsip pemilu dan pemilihan yang jujur dan tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 448 UU Pemilu,” ujarnya.
Masih terkait rancangan PKPU Parmas, Bagja mengatakan, Pasal 448 ayat (2) UU Pemilu telah membatasi empat bentuk parmas, yakni sosialisasi Pemilu, pendidikan politik bagi pemilih, survey atau jajak pendapat tentang Pemilu dan penghitungan cepat hasil Pemilu.
Bagja mengatakan bahwa Pasal 10 huruf (d) dan ketentuan Pasal 29 ancangan PKPU tentang Parmas tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 448 ayat (2) Undang-Undang Pemilu.