PARBOABOA, Jakarta - Obat disfungsi ereksi atau yang dikenal sebagai obat kuat, kerap dijadikan alternatif bagi lelaki yang ingin memiliki stamina hebat di ranjang, tanpa mengetahui risiko kesehatan yang mengintai mereka.
Kemudahan untuk menemukan obat tersebut, menjadi salah satu alasan mengapa arus peredaran obat kuat ilegal menjadi tak terkontrol.
Berdasarkan temuan Parboaboa, puluhan jenis dan merk obat kuat ilegal banyak beredar di kawasan kecamatan Taman Sari, Jakarta Barat.
Berbagai obat kuat yang didominasi oleh produk luar negeri tersebut dijual secara terang-terangan di muka umum.
Sejumlah pedagang kaki lima obat kuat yang diwawancarai mengakui, mayoritas barang dagangan mereka tidak memiliki izin edar dan tidak terdaftar di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
“Ini rata-rata banyak yang ilegal,” ungkap salah seorang pedagang inisial AG (18) kepada Parboaboa beberapa waktu lalu.
Meskipun demikian, mereka tetap berjualan lantaran kebutuhan ekonomi.
Parboaboa juga telah memberikan sejumlah nama dan foto produk ke BPOM untuk konfirmasi dan meminta keterangan terkait temuan tersebut.
Namun, hingga berita ini ditulis, pihak BPOM tak kunjung memberikan keterangan yang sebelumnya dijanjikan akan rampung pada Rabu (09/11/2022) lalu.
Di sisi lain, ratusan obat kuat juga marak beredar di sejumlah marketplace. Parboaboa telah mencoba mengecek nomor registrasi dari beberapa produk-produk obat kuat tersebut di laman cek BPOM. Hasilnya, kebanyakan dari produk tersebut dinyatakan tidak terdaftar.
Kegiatan tersebut diduga merupakan pelanggaran tindak pidana kejahatan obat dan makanan dengan melakukan peredaran obat tanpa izin edar. Hal ini telah diatur dalam Pasal 98 dan Pasal 106 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, serta Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2020 tentang Pengawasan Obat dan Makanan yang Diedarkan Secara Daring.
Peredaran obat kuat ilegal dikhawatirkan meningkatkan potensi penggunaan yang tidak sesuai dengan ketentuan akibat ketidaktahuan masyarakat mengenai kandungan, dosis, dan efek sampingnya.
Seperti yang diungkapkan oleh dr. Sepriani di Klik Dokter, sejumlah efek samping dari penggunaan obat kuat yang terlalu sering harus tetap diwaspadai seperti sakit kepala, gangguan pencernaan, gangguan pendengaran, gangguan penglihatan, meningkatkan risiko serangan jantung, hingga kematian.
Dari data yang dihimpun Parboaboa, sepanjang tahun 2022, sedikitnya ada 17 kasus kematian akibat konsumsi obat kuat. Para korban terdiri atas pria berusia 25 tahun ke atas.
Berdasarkan keterangan kepolisian dan petugas medis, menyatakan bahwa mayoritas korban meninggal akibat serangan jantung.
Sementara itu, menurut sebuah studi yang diterbitkan Departemen Urologi, Pusat Medis Universitas Negeri Ohio, Amerika Serikat, mengungkapkan jika tiga jenis utama obat kuat yakni Sildenafil (Viagra), Tadalafil (Cialis), dan Vardenafil (Levitra) ikut terlibat atas kematian 2.181 orang akibat serangan jantung dalam kurun waktu 1998 hingga 2007.
Sebagaimana diketahui, ketiga jenis obat kuat tersebut merupakan obat yang paling umum digunakan oleh pria Indonesia dengan masalah vitalitas.
Menyoroti Lemahnya Pengawasan BPOM
Sebelumnya, anggota Komisi IX DPR RI Elva Hartati menilai peran Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dalam melakukan pengawasan obat bersifat pasif.
Hal itu diungkapkannya dalam Rapat Kerja Komisi IX Menkes RI, dan Rapat Dengar Pendapat dengan Kepala BPOM, Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Gabungan Perusahaan Farmasi Indonesia, serta International Pharmaceutical Manufacturers Group (IPMG) pada Rabu (02/11/2022) lalu di Gedung Nusantara III, Senayan, Jakarta.
“Disebutkan pemilik izin obat wajib melakukan pemantauan khasiat, keamanan dan mutu obat selama obat diedarkan dan melaporkan hasil kepada Badan. Kami melihat bahwa dalam hal ini posisi Badan POM dalam melakukan pengawasan obat secara garis besar bersifat pasif,” ucapnya dalam rapat.
Hal senada juga dikatakan Wakil Ketua Komisi XI DPR Nihayatul Wafirah secara terpisah. Nihayatul menyatakan, komisi yang dipimpinnya menjadi pengusul Rancangan Undang Undang Pengawasan Obat dan Makanan.
Menurutnya, BPOM masih lemah dalam hal pengawasan obat dan makanan.
“Pengawasan dilakukan tidak hanya terhadap produk obat dan makanan, tetapi juga dilakukan terhadap fasilitas produksi, distribusi, dan pelayanan dan atau penyerahan, yang dalam hal ini pengawasan tersebut dilakukan oleh tenaga pengawas,” kata Nihayatul di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (08/11/2022) lalu.
RUU Pengawasan Obat dan Makanan sendiri telah masuk ke dalam Program Legislasi Nasional 2019-2024. Namun, hingga kini pembahasannya masih dilakukan secara internal oleh DPR.